Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tangan Iwan Gunawan, gamelan tak lagi mengeluarkan suara yang mendayu, selaras harmonis. Gamelan menjadi seperangkat alat musik yang menghadirkan sensasi yang mendobrak telinga. Sebelas karya dan aransemennya meriuhkan Galeri Salihara, Jakarta, 11 Oktober lalu. Malam itu, dia dan Ensemble Kyai Fatahillah memperlihatkan estetika gamelan dan notasi musik Barat yang saling memperkaya serta melengkapi.
Bersama 19 pengrawit dan vokalis, Iwan menghadirkan komposisi gamelan yang tak biasa di pentas musik Gamelan Anyar dalam rangkaian Salihara International Performing Arts Festival. Ensemble Kyai Fatahillah, demikian nama grup yang dibentuk pada 2004 itu, mengentak Galeri Salihara dengan repertoar yang bersemangat dalam komposisi dua menit, Waled Kreasi. Repertoar karawitan Sunda yang sigrak ritmenya itu pernah mengiringi pentas LeineRoebana, grup tari asal Belanda, dalam pentas Light di Salihara tahun ini.
Komposisi Iwan ”mengacaukan” nada. Setelah mengentak dengan Waled Kreasi, komposisi dengan laras pelog dan slendro secara bersamaan dimainkan dan dentingan bunyi piano dari organ menyelip di antara gamelan. Laras slendro yang menggambarkan suasana yang ramai dan menyenangkan ditutup dengan bunyi mendenging pada karya Gamelan Soundscapes. Demikian juga pada Minutes, yang mengembangkan pola melodi sederhana dari laras pelog dan slendro diubah menjadi melodi baru yang repetitif. Gong dan jenglong menutup komposisi yang menyuguhkan tabuhan gamelan yang pelan itu.
Iwan, yang menjadi konduktor, kemudian memimpin para penabuh menyajikan repertoar Cycle and Variation, yang digunakan mengiringi koreografi Ghost Track, yang memadukan gerak koreografi berbasis balet dan tarian LeineRoebana pada 2012. Diawali teriakan para penabuh, pukulan kendang, bonang, dan gender yang ditabuh dengan cepat menghasilkan irama yang cepat untuk mengiringi adegan peperangan ataupun tarian klana atau cakilan yang lincah.
Tiba-tiba repertoar diinterupsi dengan bunyi yang aneh, denting piano, pukulan kenong, bunyi kleneng-kleneng, tabuhan bonang, bunyi gender yang cepat, dan nyanyian pendek. Lalu kembali pada laras pelog yang ramai, selingan synthesizer yang menciptakan dengung, pukulan satu-satu pada saron, dan gesekan rebab atau pukulan gong dengan tabuh kayu atau pukulan kayu pada penampang gamelan. Sajian irama yang rancak dan repetitif.
Six Marimbas for Gamelan menjadi instrumen yang enak dinikmati, dengan nada dari bonang, gender, dan peking pada nada yang hampir monoton dan repetitif tapi dimainkan ritmenya. Komposisi ini merupakan karya Steve Reich pada 1986 yang mulanya dimainkan dengan marimba, tapi diubah aransemennya oleh Iwan dengan ketukan gamelan menjadi komposisi yang mengasyikkan. Penonton terlihat menggoyangkan kepala dan kaki menikmati aransemen dalam gamelan ini. Aransemen ini pernah dimainkan di Festival Gamelan Internasional di Amsterdam pada 2010 dan dipuji sebagai perpaduan sempurna musikus Indonesia dan internasional.
Karya Dieter Mack, Crosscurrents, yang berdurasi panjang dan kompleks, pun tak luput disajikan pasukan Kyai Fatahillah. Tiupan suling yang pelan lalu melengking memilin berpadu dengan entakan kendang dan gamelan pada satu pukulan. Iwan mengubah teknik menabuh gong dan jenglong dari karakteristik degung menjadi karakter yang berbeda. Suling menjadi pemandu komposisi yang kemudian membawa entakan kendang dan bonang yang cepat, lalu menjadi pelan. Komposisi ini terdengar rumit dan butuh energi untuk mencerna bunyinya.
Komposisi panjang yang juga disajikan adalah Cantus Firmus, yang terinspirasi musik elektronik Yannis Kyriakides, komponis asal Yunani. Iwan mengkombinasikan dalam bunyi organis dan sintetis yang diolah secara komputerisasi yang disinergikan dengan gamelan.
Ansambel yang pernah berkolaborasi dengan beberapa ansambel di Jerman, Belanda, dan Swiss ini juga menyajikan komposisi menggunakan instrumen gamelan pelog dan slendro, harpa, serta piano. Karya itu disusun melodinya untuk penyanyi opera, Ekaterina Lental, serta konsep melodi dengan sistem nada modal, tonal, dan atonal. Ia dimainkan dengan teknik sprechgesang.
Ada pula Kulu-kulu 2010, gubahan komposisi pada 1997 dan 2004, yang menjadi benang merah perjalanan musik Iwan. Komposisi ini mengolah irama dari tiga nada yang diatur ritmenya dari pelan lalu mengeras dengan berbagai birama. Komposisi ini pernah dimainkan bersama Ensemble Gending dari Belanda, enam tahun lalu.
Menutup pentas, ansambel ini menyajikan repertoar yang terinspirasi fenomena bunyi sistem dodekafon dalam musik Barat dan karakteristik Prepared Piano karya John Cage. Lalu perpaduan melodi dari laras pelog dan pengolahan gamelan yang perkusif yang cepat dalam karya Noname and Nothing. Repertoar ini meriah dengan selipan kotekan pemukul gamelan pada kayu garangan gamelan. DIAN YULIASTUTI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo