Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Salam Tempel Penguji Kapal

Polisi membongkar praktek pungutan liar dalam pengurusan izin kapal di Kementerian Perhubungan. Menggurita selama bertahun-tahun.

17 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Perhubungan Budi Karya Sumadi tetap meneruskan rapat setelah Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menelepon dia, Selasa pekan lalu. Padahal panggilan telepon Tito itu terbilang ”gawat”. Kepala Polri memberi tahu Budi bahwa polisi sedang menggerebek ruang Pelayanan Terpadu Satu Atap Gedung Karya Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Budi Karya baru mendatangi ruang pelayanan terpadu itu setelah Tito kembali menghubunginya dan memberitahukan bahwa Presiden Joko Widodo juga akan datang ke lokasi. ”Saya tidak kaget karena sudah tahu hari itu pasti tiba,” kata Budi Karya, Rabu pekan lalu. ”Saya yang lapor ke polisi soal penyimpangan di sana”.

Budi bercerita, beberapa hari setelah Presiden Jokowi melantiknya menjadi menteri pada akhir Juli lalu, ada sejumlah pengusaha yang melaporkan praktek kutipan liar di Gedung Karya. Budi kemudian meminta pengusaha itu membawa bukti awal untuk dilaporkan ke polisi. Sejak September lalu, polisi merisik pusat pelayanan terpadu itu.

Selasa sore pekan lalu, tim gabungan dari Markas Besar Polri dan Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap tiga pegawai Kementerian Perhubungan. Mereka adalah ahli ukur Direktorat Pengukuran Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal, Endang Sudarmono; Kepala Seksi Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal Meizy Syelfia; dan pegawai negeri golongan 2D, Abdu Rasyid.

Ketiga pegawai negeri itu ketahuan memungut uang ”tambahan” dari pengusaha yang mengurus izin kapal. Polisi sudah menetapkan mereka sebagai tersangka. Polisi juga sempat menahan tiga pengusaha yang kedapatan memberi uang. Namun, hingga akhir pekan lalu, pengusaha itu masih berstatus saksi.

Menurut Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Iriawan, pungutan liar yang terbongkar berkaitan dengan permohonan surat ukur permanen yang diajukan pengusaha kapal. Seharusnya dokumen tersebut diurus secara online. Petugas dan pengusaha tak perlu ketemu dan bertransaksi langsung. ”Tapi masih ada yang main belakang,” kata Iriawan.

Polisi menangkap Endang ketika menerima uang Rp 4,5 juta dari pengusaha yang mengurus sertifikat pengukuran kapal di lantai enam Gedung Karya. Si pengusaha membayar lebih mahal. Tarif resmi pengurusan dokumen itu paling tinggi hanya Rp 2,5 juta, termasuk untuk biaya pengukuran dan penerbitan sertifikat. Tarif sebesar itu untuk kapal berbobot di atas 3.000 gross tonnage. Adapun untuk kapal dengan bobot lebih ringan, tarifnya lebih rendah. Tarif resmi dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak di Kementerian Perhubungan (lihat tabel).

Setelah menangkap Endang, polisi naik ke lantai 12. Di meja Meizy—atasan Endang—polisi menemukan uang Rp 68 juta serta beberapa buku tabungan dengan akumulasi saldo Rp 1 miliar. Kemudian polisi kembali menggeledah ruang pelayanan di lantai enam. Polisi menyita uang Rp 17,270 juta dari tangan Abdu Rasyid, yang mengurus buku pelaut.

Menurut Budi Karya, ia tidak spesifik merujuk ke Direktorat Jenderal Perhubungan Laut ketika melaporkan dugaan pungutan liar ke polisi. Sebab, laporan pengusaha pun menyebutkan pungutan liar terjadi di hampir semua unit layanan. Di Gedung Karya, ada tiga direktorat yang membuka pelayanan, yakni Direktorat Perhubungan Laut, Direktorat Perhubungan Darat, dan Direktorat Perhubungan Udara. ”Kebetulan saja yang tertangkap di Direktorat Laut,” kata Budi karya.

Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono—atasan ketiga tersangka—tidak banyak berkomentar. ”Kami serahkan sepenuhnya kepada polisi,” katanya.

Kepada Tempo, beberapa pengusaha dan pemilik kapal menuturkan aneka pungutan liar menghadang begitu sebuah bahtera selesai dibangun. Sebelum diizinkan melaut, kapal harus melewati prosedur berbelit yang rawan kutipan ilegal. Termasuk yang rawan pungli adalah pengurusan sertifikat uji coba stabilitas kapal serta pemeriksaan perlengkapan keselamatan.

Kepada Tempo, seorang pengusaha kapal asal Singapura bercerita pernah dipalak sampai Rp 1,5 juta untuk mengurus sertifikat uji coba stabilitas kapal. Padahal tarif resminya hanya Rp 500 ribu. Tak mau keluar uang lebih banyak, si pengusaha mencoba mencari ”jalan pintas” untuk mengurus sertifikat lainnya. Ternyata banyak petugas pelayanan terpadu menawarkan sistem borongan. ”Harganya bisa lebih murah daripada tarif resmi,” kata si pengusaha.

Pengusaha kapal lain menuturkan, perpanjangan masa berlaku berbagai sertifikat pun rawan pungutan liar. Sertifikat keselamatan pengawakan minimum, misalnya. Di Indonesia, dokumen tersebut memiliki umur tidak lebih dari satu tahun. Di banyak negara, masa berlaku sertifikat itu bisa bertahun-tahun. Bahkan ada negara yang tidak memberi batas kedaluwarsa.

Di Kementerian Perhubungan, tarif resmi perpanjangan sertifikat keselamatan pengawakan minimum untuk kapal di atas 175 gross tonnage adalah Rp 170 ribu. Faktanya, saban tahun si pengusaha harus membayar Rp 1,5 juta. Imbalannya, pengusaha bisa memanfaatkan ”jalan tol” ketika mengurus perpanjangan. ”Katanya dibuat rutin demi keselamatan penumpang. Faktanya, pemeriksaan hanya sekilas,” ujar si pengusaha.

Perpanjangan sertifikat garis muat kapal pun tak luput dari pungli. Di Indonesia, masa berlaku sertifikat ini lima tahun, sama dengan standar internasional. Namun Kementerian Perhubungan mengharuskan pengecekan setiap tahun. Biaya resminya paling mahal Rp 1,25 juta. ”Tarif tidak resminya bisa sampai Rp 2,5 juta,” kata seorang pemilik kapal asal Jakarta.

Uang pelicin tak melulu berhubungan dengan urusan fisik kapal. Seorang kapten kapal, Paulus, mengaku selalu diminta uang ”salam tempel” setiap kali mengurus buku pelaut (seaman book). Dari biaya resmi Rp 100 ribu, petugas Direktorat Perhubungan Laut biasanya mengutip tambahan Rp 50-100 ribu per buku. ”Kelihatannya kecil,” kata Paulus. ”Tapi dalam sehari bisa ratusan orang mengurus buku itu.”

Pengusaha yang mengurus izin tak selalu menyerahkan uang ”salam tempel” langsung kepada pegawai pelayanan terpadu. Ada beberapa pegawai Kementerian yang biasa meminta uang tambahan dititipkan kepada pekerja lepas yang keluar-masuk ruang pelayanan. ”Bisa dititipkan ke office boy yang lagi beli makanan,” kata seorang pengusaha mencontohkan.

Menurut Budi Karya, pungutan liar di Kementerian Perhubungan sepintas tidak terlihat besar. ”Sepertinya recehan. Tapi, kalau dikumpulkan, bisa menggunung,” kata Budi. Selama ini, menurut dia, praktek pungutan liar itu terkesan dibiarkan. Karena itu, Budi tak banyak berharap kepada pengawas internal di Kementerian Perhubungan. ”Saya laporkan ke polisi agar memberi efek jera,” ucap Budi.

Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan Cris Kuntadi mengakui pengawasan di lingkungan Kementerian belum menyentuh praktek pungutan liar. ”Selama ini kami berfokus pada penyelamatan uang negara, belum sampai ke kinerja pegawai,” kata Cris, Kamis pekan lalu. Namun, menurut Cris, maraknya pungutan liar bukan karena lemahnya pengawasan internal. Selama ini tak pernah ada pengusaha yang melapor ke inspektorat. ”Pengusaha juga mau urusannya jadi gampang dan cepat selesai,” ujar Cris.

Syailendra Persada, Putri Adityowati, Praga Utama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus