Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU-satunya yang bercahaya di atas panggung adalah layar dengan dua baris tulisan berhuruf besar-besar. ”Apa Alasanmu Sekarang? Daging adalah Pembunuhan”. Layar menampilkan kalimat itu selama beberapa menit.
Sebelum layar menampilkan tulisan itu, rangkaian video menyeramkan dan berdarah-darah diputar. Video pembantaian hewan. Ada kambing tercekik, domba digorok, atau sapi yang dicap kulitnya dengan pelat membara dan terlihat jelas kesakitan. Gambar itu diputar berulang-ulang dan diperbesar maksimal. Morrissey, aktor utama di panggung malam itu, dengan serius berorasi kepada penonton. ”Please don’t kill anything. Enough slaughter for your sake, for animal sake, for planet sake. Enough, enough, enough!” kata penyanyi bernama lengkap Steven Patrick Morrissey itu.
Lagu Meat is Murder yang termaktub dalam album kedua The Smiths pun dibawakan pria 57 tahun itu. Ini jadi lagu ke-19 yang dia nyanyikan dalam pergelaran Morrissey Live in Jakarta di GBK Sports Complex Senayan, Rabu malam pekan lalu. Konser itu, sesuai dengan order Morrissey, bebas dari minuman dan makanan apa pun yang mengandung daging.
Morrissey mendeklarasikan diri sebagai vegetarian sejak berumur 11 tahun. Selama menjadi pentolan The Smiths hingga berkarier solo pun ia lantang menyuarakan hak-hak binatang dengan cukup radikal. Morrissey tak segan membatalkan pertunjukan bila mengetahui ada perusahaan pemburu hewan yang turut terlibat. Yang paling diingat tentu pada 2009, saat Morrissey melenggang pergi dari panggung utama Coachella Festival karena mencium aroma daging bakar di area konser.
Tampil di lapangan terbuka yang becek dan berlumpur seusai hujan, Morrissey membuka konser dengan sapaan yang membuat penonton terharu. ”My heart, my heart, my heart, Jakarta,” ucapnya. Ia lalu membawakan nomor-nomor wahid dari album solonya, seperti Suedehead, Alma Matters, Everyday is Like Sunday, You’re the One for Me Fatty, dan First of the Gang to Die. Daftar lagu ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan yang ia bawakan saat tampil di Tennis Indoor Senayan, empat tahun lalu. Padahal sebelumnya dijanjikan bahwa Morrissey akan tampil membawakan lagu-lagu dari album terbarunya, World Peace is None of Your Business, yang rilis pada 2014. Toh, penggemarnya tak keberatan.
Malah banyak penonton yang berteriak-teriak minta Morrissey menyanyikan lagu lawas The Smiths, seperti There is a Light that Never Goes Out dan Heaven Knows I’m Miserable Now. Permintaan itu ditanggapi Morrissey dengan kocak. ”Nah, nay, no!” ujarnya.
Morrissey mendirikan The Smiths pada 1982 di Manchester bersama gitaris Johnny Marr, basis Andy Rourke, dan drumer Mike Joyce. Band ini menjadi tonggak penting dalam sejarah musik Britpop, juga dunia. Mereka disebut sebagai penggagas gerakan musik independen yang meluncurkan albumnya di bawah bendera perusahaan rekaman indie, Rough Trade.
Setelah The Smiths bubar lima tahun kemudian, Morrissey lanjut berkarier solo. Ia merilis 49 lagu dan 12 album solo, menabalkan diri sebagai musikus yang menulis lirik-lirik kritis hingga menjadi obyek studi akademis. Album terakhirnya mendapat julukan the most critically acclaimed records of the year.
Teriakan histeris bergema saat Morrissey akhirnya menampilkan lagu The Smiths, How Soon is Now. Soundtrack serial televisi Charmed itu memancing kor otomatis dari penonton. ”Enggak nyangka Moz bawain lagu ini juga. Ini kan bukan lagu solo dia,” kata Aprilia Safitri Ramdhani, 25 tahun, salah seorang penonton.
Aprilia, yang mengenal Morrissey lewat The Smiths, puas sekali terhadap penampilan idolanya malam itu. Menonton konser Moz—panggilan Morrissey—disebutnya sebagai pengalaman naik haji, yang telah dua kali dia lakukan, yakni di Hong Kong dan kali ini di Jakarta. April juga hafal betul kelakuan idolanya yang suka ngambek saat tampil dan pergi dari panggung begitu saja. ”Sewaktu di Hong Kong, dia ngambek karena sound-nya jelek,” ucapnya.
Malam itu Morrissey lagi-lagi pergi tanpa pesan. Seusai lagu Meat is Murder, ia hilang dari panggung. Tak ada salam perpisahan, tak ada lambaian tangan. Penonton yang mengira masih akan ada penampilan encore bersorak-sorak memanggil Morrissey. Harapan itu pupus setelah beberapa menit Moz tak kunjung kembali. Malah lampu-lampu dimatikan dan pengeras suara dirapikan panitia. Konser satu setengah jam itu berakhir tiba-tiba dan hanya menyisakan teriakan menggantung, ”We want more!” MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo