BALAI Budaya, di Jalan Gereja Theresia, Jakarta punya warna yang
lebih meriah dalam urusan pameran seni rupa -- ketimbang Taman
Ismail Marzuki. Sebetulnya aneh, karena pameran di Balai Budaya
tanpa rapat dan konsep: tak ada dewan kesenian seperti di TIM.
Pameran gambar Ipe Ma'roef di Balai Budaya baru-baru ini adalah
bukti. Tanggal 28 Mei -- 2 Juni ia muncul dengan seorang
pelukis, Soemartono, adik pelukis dan pengarang almarhum Trisno
Soemardjo. Memang tidak gambar saja yang dipamerkan Ipe -- ia
juga menampilkan lukisan. Tapi Ipe lebih pas dijuluki
penggambar. Selain gambar adalah media utama ekspresinya, ia
juga bekerja sebagai ilustrator di berbagai majalah.
Julukan penggambar bagi Ipe mestinya kita tulis dalam huruf
besar, dalam arti tidak lebih rendah daripada pelukis Maklum
orang masih suka memandang mutu cuma pada lukisan. Padahal seni
rupa bukah cuma seni lukis -- yang karena usianya yang paling
tua, sudah hampir kehabisan kemungkinan.
Ipe rupanya tak dapat kesukaran dengan medianya, walaupun sayang
ia agak goyang. Enth karena dipengaruhi pendapat umum, ia ragu
menampilkan gambar-gambarnya: konon ia masih beranggapan
prestasinya sebagai "seniman" mesti tampil dalam lukisan.
Padahal ia nyata-nyata sudah punya prestasi sebagai senirupawan,
dan unggul. Bahwa ia tak diminta berpameran di Taman Ismail
Marzuki, tak dapat dijadikan patokan.
Jiwa Gambar
Juga Ipe tak menemukan apa-apa dalam lukisannya. Ia kehilangan
garis daIam pemandangan alam, yang dibuatnya dengan teknik cat
minyak. Terang saja menyapukan kuas memaksanya mewarnai lebih
banyak daripada menarik garis. Dan yang didapatnya cuma
penyederhanaan bentuk untuk mengeluarkan sebuah komposisi
warna--sebuah konsep yang terlalu biasa dan terlalu sering.
Untung tak banyak lukisan yang ditampilkan Ipe.
Kalau jiwa seni lukis bisa dikatakan sapuan kuas, jiwa gambar
adalah garis. nan garis-garis Ipe termasuk luar biasa. Ia
senantiasa kembali pada 'garis tipis yang punya ketebalan antara
0,1 - 0,4 mm. Seperti jarum seismograf, pena yang digunakannya
mencatat kesan penglihatannya. arena itu Ipe tidak menekankan
gambarnya pada pengamatan analitis, umpamanya jatuhnya cahaya
dan perhitungan volume. Ia menggambar obyek yang dilihat --
umumnya sosok dan pemandangan -- lewat intuisinya yang
meraba-raba. Karena itu gambar Ipe jauh dari potret. Sosok yang
digambarkan --umpamanya -- sama sekali tidak mengikuti struktur
tubuh manusia atau ketentuan anatomis lain. Tapi dari gambar
semacam ini kondisi jiwa manu sia yang digambar jadi kelihatan.
Gambarnya hadir dengan bagus.
'Garis tipis' sebagai media gambar, yang bisa sangat efektif,
termasuk sulit dikuasai. Garis ini bisa jadi jejak seismografik
sebuah kesan, tapi juga bisa hadir sebagai bentuk yang menarik.
Ketipisan bisa menghindarkan sebuah gambar dari tumpukan garis
yang keruh. Seperti juga titik, garis tipis yang ditumpuk bisa
menghadirkan nuansa hitam-putih bila dikuasai. Tak banyak
penggambar yang berani menggunakan garls-garls tipis Ini. Selain
Ipe barangkali cuma S. Prinka ang kawin dengan garis-garis 0,1
mm.
Didasari ini bahkan Ipe meriemukan teknik baru. Ia mengubah
teknik dry point (gambar ujung paku) yang sudah umum. Dry point
model Ipe adalah tumpukan warna dengan pastel lilin hingga
terdapat lapisan warna yang rata. Di atasnya ditorehkan paku,
dan terjadilah garis-garis "belahan" yang putih dan peka di
tengah warna-warna yang bercampur. Bagus sekali.
Dari sini Ipe memperbaiki konsep melukisnya. Gambar pastelnya
menghadirkan penyederhanaan bentuk yang patut disebut
'abstraksi'. Ipe menggambar rumpun bambu, rumput dan pohonpohon
lebat, dengan gambar, garis dan warna bercampur menjadi semacam
lukisan abstrak. Toh keabstrakan ini tidak membuat kita
bertanya-tanya, karena ada proses yang seolah wajar.
Begitulah, kalau Ipe Ma'roef sudah unggul sebagai penggambar,
barangkali tak ada gunanya ia mencari "kedudukan" di dunia seni
lukis. Sudah dekat waktunya seni gambar muncul dan diperhatikan.
Sudah sewajarnya juga kreativitas dipertanyakan dalam seni rupa
kita. Atau tidak?
JAL
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini