Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sekelompok pelukis Bandung memamerkan karya mereka yang beraliran realis.
Aliran realis dianggap langka di era seni rupa kontemporer saat ini.
Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, misalnya, telah lama tak menyentuh seni lukis klasik tersebut.
Sekelompok pelukis asal Bandung itu merupakan anomali. Di tengah zaman seni rupa kontemporer ini, mereka menekuni teknik lukis realisme bergaya klasik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakemnya mengandalkan keterampilan atau skill, juga kesabaran untuk menunggu tujuh lapisan catnya kering secara bergantian. Akrab di kalangan pelukis sanggar, seperti dari Balai Seni Barli, teknik lukisan klasik alias flemish itu terasing di kampus yang menganut seni rupa modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesan hening dan asing menyeruak dari 17 lukisan pemandangan alam yang dipajang di Galeri Pusat Kebudayaan di Jalan Naripan Nomor 9, Bandung, Jawa Barat. Suasananya kontras dengan keramaian lalu lalang kendaraan di sekitar ruangan yang berdampingan dengan Jalan Braga itu. Pada 4-13 Agustus 2023, sebanyak 13 dari 15 anggota kelompok Flemish Bandung menggelar karya lukisan terbaru.
Judul pameran seni rupa itu "Silence Before the Storm", yang menyiratkan keheningan sebelum badai kehancuran datang. “Alam sudah rusak dan akan semakin rusak. Sebelum ia (alam) hancur, kami lukis dulu,” kata R.E. Hartanto alias Tanto, anggota kelompok Flemish, setelah diskusi pameran pada Sabtu, 5 Agustus lalu.
Mereka kompak melukis pemandangan alam bergaya naturalis dan realis, seperti lanskap, sungai, hutan, pegunungan, lembah, air terjun, kawah, dan terumbu karang. Pelukisnya adalah Akbar Linggaprana, Agung Dwi Nugroho, Asep Wawan Setiawan, Dida Rusdi, Didit Sudianto, Epi Gunawan, Kemas Yahya, Muhammad Abdan, Prabu Perdana, R.E. Hartanto, Rendra Santana, Romdona Priyanto, dan Rosita Rose. Sesuai dengan judul dan tema, mereka sepakat menihilkan sosok manusia berikut jejaknya, seperti jalan setapak atau bangunan. “Jadi, betul-betul alam yang masih perawan,” ujar Tanto.
Pengunjung melihat lukisan dalam pameran kelompok Flemish bertajuk "Silence Before the Storm" di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung, Jawa Barat, 4-13 Agustus 2023. TEMPO/ Anwar Siswadi
Menurut seniman lulusan Seni Lukis Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1992 itu, isu lingkungan soal kerusakan alam masih relevan dengan kondisi sekarang sejak digagas lima tahun lalu. Tepatnya setelah mereka berkumpul untuk menggelar pameran seni rupa perdana, Velatura, di Griya Seni Popo Iskandar, Bandung, pada 9-31 Agustus 2018.
Waktu itu, mereka membuat karya lukisan berupa potret diri alias self-portrait. Teknik lukisan klasik yang juga disebut flemish itu mulai mereka jajal sejak pembentukan kelompok Flemish Bandung pada 9 Agustus 2017.
Awalnya mereka bergabung di sebuah WhatsApp Group sambil belajar bareng melukis dengan teknik klasik. Perintis grup, Didit Sudianto, kemudian berinteraksi dengan peminat lainnya, termasuk pelukis jebolan sanggar seni Barli Sasmitawinata.
Lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dan James Cook University serta pernah bekerja di LIPI sebagai ahli pemrosesan sinyal digital itu tertarik mendalami teknik melukis klasik pada 2003-2004. Dia kepincut aliran itu setelah masuk forum internasional ArtPapa pada 2003 yang dikelola Alexei Antonov, pelukis klasik Rusia yang tinggal di Amerika Serikat. “Isi forumnya diskusi hasil riset dia terhadap karya-karya lukisan Renaisans,” ujar Didit.
Senang menggambar sejak kelas II SD, cita-cita Didit untuk belajar seni secara formal kandas karena tidak diizinkan orang tua. Menggambar dan melukis kemudian menjadi hobinya yang ditekuni hingga sekarang di sela pekerjaannya sebagai wiraswasta. Bagi Didit, teknik lukisan klasik sangat membantunya ketika melukis bercorak realis. Pada gambar wajah orang, misalnya, lukisannya terkesan hidup. Hasil seperti itu setelah dia mengikuti dengan patuh metode tujuh lapis sapuan cat transparan pada kanvas secara bertahap. “Semua layer itu penting dan punya fungsi masing-masing,” ujarnya.
Didit juga ikut mendengarkan musik klasik sesuai dengan saran Alexei Antonov hingga akhirnya menyukai tembang karya Johann Strauss II. Awalnya, dia menjajal gambar bunga secara realis—yang ternyata sulit. Setelah terus mencoba, pada 2006, goresannya berupa aneka buah masuk daftar 50 besar pelukis di Jawa Barat. Tahapannya, seluruh bidang kanvas dilapis dulu oleh cat yang skala warnanya berada di tengah antara hitam dan putih hingga lima kali. “Baru kemudian fokus ke warna gambar dan bayangan,” kata dia.
Lukisan "Bunga Terakhir" karya Akbar Linggaprana dipamerkan dalam pameran kelompok Flemish bertajuk "Silence Before the Storm" di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung, Jawa Barat, 4-13 Agustus 2023. TEMPO/ Anwar Siswadi
Fungsi teknik itu, misalnya, bisa membuat gambar warna kain satin yang mengilap jadi lebih mudah. Cat untuk lapisan pada kanvas itu menggunakan jenis yang transparan. “Kalau warna, nanti suatu saat hilang, tapi lapisan cat di bawahnya masih ada,” ujar Didit. Kondisi itu, dia melanjutkan, ikut membantu upaya restorasi karya-karya lukisan zaman Renaisans buatan sekitar abad XV. Misalnya, Perjamuan Terakhir-nya Leonardo da Vinci. Teknik seni lukis cat minyak bergaya klasik di Eropa berkembang di beberapa tempat, seperti flemish di Belgia, Venesia di Italia, dan Akademi Prancis.
Agar karya lukis bisa berumur panjang dan mudah dikonservasi dengan teknik flemish, lapisan dasar cat pada kanvas harus bagus. Komposisinya, menurut Tanto, cat lapisan dasar yang terserap kanvas hanya sekitar 80 persen. “Sisanya harus mengambang di permukaan kanvas sehingga selama bertahun-tahun warnanya bisa tetap cerah,” ujar dia.
Kiat lainnya, pada bagian bawah bidang kanvas yang akan dilukis pantang menggunakan banyak minyak sebagai campuran cat. Sementara itu, di bagian atas, sebaliknya. “Jadi, ketika kering, di bagian bawahnya kokoh, atasnya elastis. Dengan begitu, lukisan jadi tahan lama.”
Bahan kanvas yang akan dipakai juga perlu mempertimbangkan cuaca di negeri tropis. Menurut Tanto, kain katun dan linen yang berasal dari bahan organik bisa menyusut serta memuai dan berujung keretakan cat.
Material terbaik, kata dia, adalah poliester karena tidak terpengaruh oleh suhu dan kelembapan. Kendati begitu, perlu kesabaran dan waktu panjang untuk melapis cat minyak tujuh kali pada kanvas. “Nunggu kering lapisan cat minyak. Selapis bisa seminggu,” ujar Tanto. Alih-alih mengembangkan, yang kerap terjadi justru reduksi, yaitu mengurangi jumlah lapisan cat menjadi empat atau lima karena alasan waktu.
Metode flemish menjadi daya tarik karena langka. Menurut Tanto, jauh sebelum era seni rupa kontemporer saat ini, cara lukis klasik telah didepak oleh pengusung seni rupa modern. Termasuk di ruang kuliah Seni Rupa ITB yang dijuluki sebagai Laboratorium Barat.
Alkisah, Tanto melanjutkan, Marinus alias Ries Mulder berbeda pendapat dengan Barli Sasmitawinata. Ries, seniman dan pengajar di Seni Rupa ITB, ingin mahasiswanya membuat gaya lukisan abstrak agar modern. “Tapi Pak Barli bilang fondasi untuk mahasiswa itu harus lukisan klasik,” ujarnya. Barli, sang murid, memutuskan hengkang dan mendirikan sanggar seni yang mempertahankan ilmu dan teknik melukis klasik.
Seniman, kurator, yang juga dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Asmudjo Jono Irianto, membenarkan informasi tersebut. Seni lukis klasik tidak diajarkan di kampus Ganesha. “Seni lukis modern Barat yang muncul pada awal abad ke-20 membuang keterampilan seniman dan konten representasi yang menjadi bagian penting dalam seni lukis klasik Eropa,” ujarnya. Asmudjo berharap para anggota Flemish Bandung bisa menjadi pelukis yang dinilai penting dalam arus utama seni rupa kontemporer Indonesia.
ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo