Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film Goodbye Julia karya sutradara Mohamed Kordofani, diputar sebagai film pembuka dalam Madani International Film Festival 2024: Marwah pada Rabu, 3 Oktober 2024. Film ini merupakan pemenang penghargaan Prix de la liberté (Freedom Award) di Festival Film Cannes 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kordofani menghadirkan karya sinematik dengan mengangkat konflik sosial-politik di Sudan, negara asalnya di Afrika Timur Laut. Film ini disuguhkan dalam format 4:3, memberi kesan sempit dan terkurung dan mencerminkan situasi yang dialami oleh karakter-karakternya.
Dua Perempuan, Dua Dunia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita Goodbye Julia berfokus pada kehidupan dua perempuan yang hidup dalam ketegangan rasial dan sosial. Film ini berlatar sekitar 20 tahun lalu, tepat sebelum Sudan Selatan, yang mayoritas penduduknya adalah orang Afrika—memisahkan diri Sudan Utara yang didominasi orang Arab pada 2011 karena perang saudara.
Mona (Eiman Yousif), perempuan kaya asal Sudan Utara, secara tidak sengaja menyebabkan kecelakaan yang merenggut nyawa seorang laki-laki dari Sudan Selatan. Ayah dari anak kecil yang menjadi satu-satunya saksi dalam kasus tabrak lari itu mengejar Mona. Suami Mona, Akram (Nazar Goma), membunuh laki-laki tersebut karena merasa terancam. Namun insiden itu ditutup-tutupi oleh kepolisian.
Kemudian, Mona, yang dibebani rasa bersalah, mendekati istri korban, Julia (Siran Riak) yang merupakan seorang perempuan Sudan Selatan. Ia mempekerjakannya sebagai pembantu rumah tangga. Dari hubungan yang awalnya penuh rasa bersalah, tumbuhlah ikatan persahabatan. Namun, ketegangan antara komunitas Arab dan Afrika tetap menghantui kehidupan mereka.
Konflik Sosial dan Politik yang Bergejolak
Goodbye Julia menggambarkan revolusi yang sedang bergejolak di Sudan. Ibarat bom waktu yang meledak akibat kecurigaan dan kebencian antara dua komunitas yang berbeda. Baik Mona maupun Julia terjebak dalam situasi yang tidak bisa mereka kendalikan.
Rasisme, seksisme, dan perbedaan kelas menjadi tema utama yang menyakitkan dalam film ini. Melalui sudut pandang dua perempuan, penonton diajak menyaksikan ketegangan yang terus merebak di Sudan. Kordofani tak sekadar membuat film tentang konflik politik, melainkan tentang kemanusiaan di tengah pergolakan sosial.
Film ini tidak menyudutkan satu pihak. Justru, menyelipkan kritik sosial terhadap ketidakadilan yang terjadi di Sudan, yakni kaum elit Arab yang memandang rendah orang-orang dari Selatan.
Setahun kemudian, perang saudara pecah dan adegan terakhir menunjukkan Danny, anak Julia, yang menjadi seorang pejuang bersenjata. Goodbye Julia—cerita lalu berakhir dengan menyiratkan bahwa tak ada lagi yang tersisa di Sudan.
Goodbye Julia juga mengeksplorasi budaya Sudan, termasuk sekuens nyanyian dan musik tradisionalnya. Secara garis besar, film ini bukan sekadar sajian sinematik. Tapi juga refleksi tentang pergulatan identitas dan politik di Sudan yang terpecah. Kordofani sukses mengangkat sisi Sudan yang jarang terekam oleh mata dunia.