POPO Iskandar meraih kebebasan, melepaskan citra obyek. Dua
lukisan kaligrafi, dengan sapuan hitam pada latar belakang
putih, langsung menarik perhatian di antara 30-an lukisan
bertemakan kucing dan jago, di Balai Budaya, 19-26 November ini.
Dua karya bertahun 1983 itu tak lagi mencltrakan suatu obyek,
tapi lebih merupakan lukisan nonfiguratif - yang tak pernah
dilahirkan Popo sebelumnya.
Satu di antara dua lukisan itu lebih membentuk satu bidang
hitam, meski terasa dibuat dengan sapuan-sapuan kuas. Di sini
Popo tampak seperti sangsi membiarkan sapuan kuasnya berdiri
telanjang. Efeknya, spontanitas dalam karya ini terasa kurang.
Lukisan kedua mencerminkan satu spontanitas yang berani. Lukisan
berukuran sekitar 145 x 120 cm ini cuma menampilkan beberapa
sapuan hitam yang potong-memotong sedemikian rupa, hampir
mengesankan dibuat dengan sekali tarik. Jadinya ialah sebuah
keterusterangan yang indah, ketidaksempurnaan yang alami.
Bila diikuti perkembangan Popo, lahirnya lukisan kaligrafi ini
merupakan loncatan yang agak jauh. Dalam penggarapan tema-tema
sebelumnya, terasa ada perkembangan yang teratur. Misalnya dari
periode tema bambu, kemudian kucing, lantas jago: seperti bisa
dilacak perkembangan setapak demi setapak. Pada periode bambu,
pelukis yang juga anggota Akademi Jakarta ini bercerita lewat
sapuan-sapuan hijau, yan di sana-sini dihias dengan
noktah-noktah daun bambu. Kemudian, lahir tema kucing. Lebih
kurang masih merupakan "konsep" bambu: menceritakan
sapuan-sapuan bersosok kucing. Dan pada periode awal tema
jagonya, pun kisah sapuan itu yang dominan - meski sugesti
sapuan atau sosok sapuan kini bukan kucing atau bambu, tapi ayam
jantan.
Baru pada periode jago, ada perkembangan. Jago terasa lagi tak
berkisah tentang Jago, tapi sesuatu yang lain. Di sini Popo
seperti menyimbolkan sesuatu. Popo sendiri pernah mengatakan
bahwa itu simbol "kewaspadaan". Sebab, kokok jagolah yang
membangunkan kita di pagi hari.
Jadi, bagaimana harus melacak lahirnya kaligrafi Popo? Mungkin,
dari segi teknis. Sejak lama, 1950-an, Popo suka menggunakan
pisau palet untuk menyapukan cat pada kanvas. Secara teknis,
sapuan dengan alat ini memberikan kesan kaku, tersendat-sendat,
kurang spontan. Ini memang cocok untuk Popo, yang memang suka
berkisah dengan sapuan.
Tapi, sementara itu, ada kegemaran Popo yang selalu disimpan,
yang baru dimulai akhir 1960-an, yakni membuat sketsa-sketsa
dengan kuas pit (kuas Cina) -konon, ini karena pengaruh pelukis
Rusli. Dari sketsa-sketsa dengan pit itulah, rupanya, Popo
merasakan sapuan spontanitas yang memang lain dengan teknik
palet.
Pada mulanya, sapuan pit pun dibimbing oleh citra bentuk atau
obyek - kucing misalnya. Lama-kelamaan, citra itu menipis dan
hilang. Yagn terlahir kemudian, seperti dua lukisan karigrafi
itu, adalah sapuan-sapuan yang mengesankan lahir secara
serentak: seperti dibuat seketika, dalam waktu bersamaan.
Imaji yang kemudian ditawarkan ialah sebuah bentuk yang begitu
utuh, yang secara serentak dan terus-menerus melepaskan
sentuhan-sentuhan. Popo tak lagi bercerita dalam dua karya ini.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini