Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Potret seorang otokrat

Pengarang: mohamed heikal new york: random house, 1983 resensi oleh: m. amien rais. (bk)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AUTUMN OF FURY Oleh: Mohned Heikal Penerbit: Random House, New York, 1983, 290 halaman TIDAK ada yang menduga sebelumnya bahwa Anwar Sadat, yang menggantikan almarhum Presiden Gamal Abdel Nasser pada 1970, akan menjadi superstar di panggung politik internasional. Henry Kissinger, yang pernah menjuluki Sadat sebagai "badut yang bombastis", setelah Perang 1973 menganggapnya sebagai negarawan terbesar sesudah Bismarck. Kehebatan Sadat bukan karena kepemimpinannya yang mantap dan berpandangan jauh ke depan, tapi berkat revolusi teknologi dan komunikasl yang dimanfaatkannya untuk kebesaran citranya. Selama satu dasawarsa, Sadat membuat rangkaian kejutan internasional. Pada 1972 ia mengusir sekitar 20.000 ahli militer Soviet, 1973 menjebol benteng Bar Lev yang perkasa, 1977 melakukan perjalanan historis ke Yerusalem, dan pada 1979 menandatangani Perjanjian Israel-Mesir. Bahkan kematiannya, pada akhir 1981, juga mengejutkan dunia dan sempat menggoncangkan Timur Tengah. Mohamed Heikal, bekas editor utama AlAhram dan menteri penerangan di zaman Nasser, mencoba mengungkapkan liku-liku perjalanan Sadat sejak masa kecilnya yang merana sampai menjadi presiden Mesir yang langkah-langkahnya selalu menjadi perhatian dunia. Jika dalam otobiografi Sadat, yang berjudul Al-Bahst'an al-Dzat (Mencari Identitas), kita memperoleh kesan bahwa Sadat adalah manusia ulet dan rajin, maka dalam buku Heikal kita mendapatkan gambaran lain, yaitu Sadat yang malas, suka bersandar pada atasannya yang berkepribadian lebih kuat, dan kadang-kadang tidak jujur. Dari otobiografi Sadat kita akan berkesimpulan bahwa dialah tokoh yang mengorganisasikan Opsir Merdeka (cikal-bakal Dewan Komando Revolusi), memproklamasikan revolusi, menjinakkan pasukan Inggris, dan mengusir Raja Farouk ke pengasingan. Menurut Heikal, ini adalah kebohongan, karena Sadat tidak pernah punya peranan menentukan dalam gerakan Opsir Merdeka. Heikal mengatakan, untuk memahami tingkah laku Sadat sebagai presiden perlu diketahui lebih dulu tahun-tahun formatifnya - ketika ia menghabiskan masa kecilnya di pinggiran Kairo. Sadat, yang tinggal bersama ayah, ibu kandung, dua ibu tiri, dan 12 saudara di sebuah flat kecil, merasa bahwa perlakuan ayahnya terhadap ibunya tidak adil. Barangkali karena ibunya berkulit hitam sedangkan dua ibu tirinya berkulit putih. Perlakuan kejam atas ibunya itu menjadikan Sadat anak yang submisif. Namun, di bawah sikap diam dan menyerah itu tersembunyi suatu kekerasan, dan berbagai impian yang pada waktunya dicoba dilaksanakan Sadat. Kegemaran Sadat untuk hidup bermewah-mewah, hal yang kontras dengan kehidupan Nasser, kemungkinan besar merupakan kompensasi penderitaan hidupnya yang cukup lama. Ketika melihat pesawat kepresidenan Air Force One, yang dipakai presiden AS, Richard Nixon, ia lantas ingin memiliki pesawat serupa. Karena harganya terlampau mahal, sekitar US$ 12 juta, para pembantunya tidak dapat segera memenuhinya. Untung, kemudian pemerintah Arab Saudi menghadiahi Sadat pesawat Boeing seperti yang dipakai Nixon itu. Heikal menunjukkan, banyak persamaan antara Sadat dan Khedive Ismail, kakek Raja Farouk, yang memerintah Mesir pada 1863-1879. Keduanya suka hidup mewah, pandai membuat hutang, dan, celakanya, tidak bisa membedakan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Ketika Husni Mubarak menjadi presiden (1981), sepeninggal Sadat, hutang sipil dan militer Mesir US$ 26 milyar - sekitar sepuluh kali hutang Mesir saat Sadat jadi presiden pada 1970. Heikal juga mengundang pembaca untuk memperhatikan munculnya fenomena "kucing gemuk" dan "sapi gemuk" di masa pemerintahan Sadat sebagai akibat politik infitah. Dengan politik ini Mesir membuka diri selebar-lebarnya investasi dari luar dan membolehkan pribumi menjadi agen perusahaan asing. Politik ini bermaksud memperbesar sektor swasta dan memperciut sektor publik - yang pada gilirannya mengubah ekonomi Mesir dari ekonomi terencana menjadi ekonomi pasar. Banjirnya barang-barang mewah ke Mesir tidak dapat dibendung lagi, bersamaan dengan meledaknya turis asing. Buku Heikal ini terdiri dari enam bagian, tiap-tiap bagian terdiri dari lima bab. Dari 30 bab itu yang terpanjang adalah "Perampokan Terorganisasikan". Bab ini melukiskan bagaimana korupsi merajalela pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Sadat, dan bagaimana munculnya oran kaya mendadak yang diistilahkan Heikal "kucing-kucing gemuk". Heikal memberikan contoh lewat lima kasus: bagaimana pedagang, pekerja, mahasiswa, anggota keluarga presiden, dan birokrat melakukan korupsi secara tidak masuk akal dengan melanggar peraturan-peraturan pemerintah. Para koruptor dan manipulator itu pada hakikatnya telah menjadi perampok kekayaan negara dengan organisasi yang rapi. Dalam hal ini, persepsi Heikal tidak berbeda dengan David Hirst dan Irene Benson, yang menulis buku berjudul SADA. Seperenam buku Hirst dan Benson, yang terbit pada 1981, melukiskan kebangkitan para "maling" (an uprising of thieves) di zaman Sadat. Salah satu hal yang menarik dari buku Heikal adalah pernyataan bahwa fonemena Sadat sesungguhnya juga dialami banyak negara di Dunia Ketiga. Terutama sekali perubahan sikap kepala negara, yang mula-mula punya aspirasi demokratis kemudian berubah jadi otokrat yang makin jauh dari rakyatnya. Ketika baru saja jadi presiden, 1970, Sadat menegaskan bahwa satu periode, selama enam tahun, untuk seorang presiden sudah lebih dari cukup. Ia, ketika akan pergi ke Yerusalem, juga mengatakan akan meletakkan jabatan bila ternyata strateginya gagal. Tapi pada 1977, pasal 77 Konstitusi Mesir diubah sedemikian rupa sehingga presiden dapat dipilih berkali-kali tanpa batas hal ini disebut-sebut guna melicinkan jalan bagi Sadat untuk jadi presiden seumur hidup. Pembunuhan Sadat, yang dilakukan seorang letnan artileri pada Oktober 1981, sesungguhnya merupakan klimaks kemarahan rakyat terhadap presidennya. Kondisi sosial-ekonomi yang memburu, makin eratnya rangkulan Amerika dan Israel pada Mesir, permusuhan Sadat dengan kaum agamawan, dan isolasi yang makin dalam atas Mesir di dunia Arab adalah sebab-sebab kemarahan rakyat. Ketika jenazah Sadat diarak menuju ke makam, tokoh-tokoh dunia Barat berdatangan dari Eropa dan Amerika, tapi rakyat Mesir sendiri tidak menunjukkan belasungkawa yang dalam. Menurut Heikal, kenyataan ini menunjukkan, walau Sadat menjadi agen Barat yang baik, rakyatnya sendiri tidak mencintainya. Heikal menyebut beberapa kepala negara di Asia yang kurang lebih sama dengan Sadat. M. Amien Rais * Dosen Sejarah Diplomasi Timur Tengah pada Fakultas llmu Sosial dan Politik, Universitas Gajahmada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus