Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Museum Nasional Indonesia menggelar pameran fosil asli penghuni awal Nusantara.
Menampilkan sembilan spesimen asli Homo erectus dan replika fosil Pithecanthropus erectus yang ditemukan Eugene Dubois.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon ingin membangun narasi Indonesia sebagai kebudayaan tertua di dunia.
BERTOLAK dari Museum Negeri Mpu Tantular di Sidoarjo, Jawa Timur, pada Kamis, 19 Desember 2024, Kijang Innova hitam itu membawa penumpang istimewa: tengkorak Pithecanthropus soloensis. Tujuannya Jakarta. Tepatnya, Museum Nasional Indonesia, tempat berlangsungnya pameran bertajuk "Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus Erectus".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekshibisi yang berlangsung sejak Jumat, 21 Desember 2024, hingga Senin, 20 Januari 2025, tersebut memamerkan fosil manusia purba dan fauna masa prasejarah. Ada sembilan fosil asli yang menjadi bintang utama, termasuk Pithecanthropus soloensis yang datang dari Sidoarjo itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sadari, Kepala Museum Mpu Tantular, mengatakan tengkorak manusia purba itu ditemukan oleh Catur Hari Gumono di Ngawi, Jawa Timur, pada 1987. Setahun setelah ditemukan, benda bersejarah itu diserahkan ke museum. Tiga kali tengkorak itu diteliti oleh ilmuwan dalam dan luar negeri, termasuk di Prancis pada 2002 serta 2003.
Hasil penelitian mengungkapkan fosil Catur Harigumono tersebut berasal dari tengkorak manusia purba yang hidup sekitar 300 ribu tahun silam. "Kesimpulan hasil tiga penelitian itu hampir sama. Ia laki-laki, Homo erectus, manusia yang berdiri tegak," kata Sadari kepada Tempo di ruang pameran pada Jumat, 20 Desember 2024.
Di Museum Nasional, Pithecanthropus soloensis bertetangga dengan fosil-fosil lain di ruang pameran, yang pintu masuknya tak jauh dari Taman Arca. Begitu memasuki ruangan ini, pengunjung langsung disuguhi replika atap tengkorak dan tulang paha manusia purba yang ditemukan Marie Eugène Francois Thomas Dubois.
Dubois menemukan fosil itu di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, pada 1891. Risetnya tidak hanya menemukan tengkorak dan tulang paha, juga gigi geraham. Salah satu spesies fosil temuannya di Trinil dinamakan Pithecanthropus erectus. Secara harfiah berarti manusia kera yang berdiri tegak, spesies ini lebih dikenal sebagai Manusia Jawa dan menjadi penemuan Homo erectus pertama.
Temuan Dubois menjadi salah satu tonggak penting dalam pemahaman evolusi manusia. Sebab, spesies itu mengindikasikan bentuk awal manusia dengan karakteristik fisik dan perilaku unik.
Ahli anatomi yang lahir di Eisden, Belanda, 28 Januari 1858, itu sejak awal terpesona oleh penelitian biogeografi dan asal-usul spesies yang diterbitkan pada pertengahan 1800. Dubois mengawali perjalanannya ke Nusantara setelah mendaftar sebagai dokter tentara Hindia Belanda. Perjalanan risetnya berlangsung di Sumatera dan Jawa.
Pameran fosil tengkorak dan tulang paha asli Homo erectus dalam pameran bertajuk “Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus Erectus" di Museum Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat, 20 Desember 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Temuan awalnya berupa fosil gigi geraham, atap tengkorak, dan tulang paha pada 1891-1892. Dua tahun berikutnya, ia mempublikasikan temuan itu dengan nama Pithecanthropus erectus. "Ilmu paleontologi manusia pun lahir," demikian keterangan di ruang pameran.
Homo erectus menjadi penghuni Jawa sekitar 1,8 juta tahun lalu, 200 ribu tahun setelah Homo sapiens keluar dari Afrika. Homo erectus memiliki karakteristik fisik yang berbeda dengan Homo sapiens. Meski demikian, mereka telah berjalan tegak dan beradaptasi dengan lingkungan.
Tinggi tubuh Homo erectus 165-180 sentimeter dan volume otaknya 750-1.350 sentimeter kubik—otak manusia modern rata-rata 1.400 sentimeter kubik—dengan wajah menonjol ke depan dan hidung tebal. "Mereka mulai mengenal batu dan tulang sebagai alat berburu dan membela diri, juga memahami teknik bercocok tanam," kata Sadari, lulusan Institut Seni Yogyakarta yang telah 24 tahun menjadi pegawai di Museum Mpu Tantular.
Fosil kepala Buaya Sungai Purba Gavialis bengawanicus dalam pameran bertajuk “Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus Erectus" di Museum Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat, 20 Desember 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Di ruangan lain, terpajang sejumlah fosil Homo erectus dalam dua kotak kaca. Pada sebuah kotak tersimpan empat tengkorak, dua di antaranya koleksi Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Benda cagar budaya itu ditemukan di sekitar Sungai Bengawan Solo di Jawa Timur.
Kedua fosil tersebut masih dalam penelitian. Secara morfologi, tengkorak ini menyerupai manusia purba Jawa, yang berasal dari 600-800 ribu tahun silam. Dua tengkorak itu memiliki foramen oksipital—lubang di tulang pipih bagian belakang tengkorak—yang utuh. "Sebuah karakter langka dan cukup menarik untuk mempelajari postur tubuh manusia," demikian keterangan pameran.
Ada juga tengkorak Sangiran 17. Tempurung kepala itu berasal dari manusia purba yang hidup pada 700 ribu tahun silam. Sangiran 17 disebut sebagai fosil tengkorak Homo erectus terlengkap Indonesia. Dia memiliki volume otak sekitar 900 sentimeter kubik dengan tulang wajah relatif utuh. Banyak rekonstruksi wajah Homo erectus mengacu pada bentuk Sangiran 17.
Fosil ini biasanya disimpan secara terpisah, yaitu di Museum Geologi Bandung dan Museum Manusia Purba Sangiran. Ini pertama kalinya Sangiran 17 dipamerkan secara lebih utuh.
Di ujung ruang pameran, berdiri rekonstruksi Homo erectus Sangiran 17. Patung manusia purba dengan rambut di sekujur tubuh, lengkap dengan penggambaran lingkungan dan batu untuk berburu, itu dibuat oleh seniman Prancis, Elisabeth Daynès.
Di sudut lain arena pameran, terpajang fosil kepala banteng purba. Hewan dengan tubuh tegap dan tanduk panjang ini diperkirakan menghuni padang rumput di sekitar sungai purba Bengawan Solo sekitar 1 juta tahun silam. Ada juga rahang bawah gajah purba yang hidup sekitar 1,5 juta tahun lalu.
Fosil kepala kerbau purba dalam pameran bertajuk “Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus Erectus" di Museum Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat, 20 Desember 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Sofwan Noerwidi, Kepala Pusat Riset Arkeometri Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, mengatakan ekshibisi ini merupakan pameran harta karun. Sebab, ada sembilan dari 235 spesimen Homo erectus dari Indonesia yang ditampilkan. "Semua masterpiece karena ini barang asli," kata pakar paleoantropologi itu kepada Tempo setelah memantau pameran.
Fosil dalam pameran itu didatangkan dari berbagai tempat, yaitu Museum Sangiran, Museum Paleontologi Universitas Gadjah Mada, Museum Biologi Bandung, Museum Mpu Tantular, dan koleksi Fadli Zon Library, yang sebelumnya hanya tersimpan di brankas serta sulit diakses. "Karena betul-betul berharga, koleksi ini harus dijaga," ujar Sofwan.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan baru kali ini pameran prasejarah memajang fosil asli. Ekshibisi ini merupakan bagian dari upaya membangun narasi Indonesia sebagai salah satu peradaban tertua dunia. Sebab, Fadli melanjutkan, 60 persen dari seluruh penemuan Homo erectus berlokasi di Jawa.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 itu mengatakan banyaknya penemuan fosil menunjukkan perspektif baru dalam memandang asal-usul manusia yang saat ini didominasi teori out of Africa. Pemikiran tersebut meyakini manusia atau Homo sapiens merupakan hasil evolusi spesies terdahulu, termasuk Homo erectus, yang bermigrasi keluar dari Afrika dan menyebar ke seluruh dunia pada 100-200 ribu tahun silam.
Mengutip buku The Man Who Found the Missing Link karya Pat Shipman, Fadli mengatakan Dubois dikenal sebagai orang yang menemukan penghubung dalam teori evolusi. Banyaknya penemuan fosil Homo erectus di Jawa, menurut dia, membuat Indonesia ikut bertanggung jawab mendefinisikan ulang evolusi manusia. Menurut Fadli, babak awal peradaban manusia bisa saja dimulai dari Nusantara. "Ini perlu menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan," ujarnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo