Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ia Bukan Pengrajin

Pelukis soeparto dari yogya pernah mendapat anugerah seni 1971. mengadakan pameran tunggal di tim. di dukung kolektor tan sui hong, hendra hadiprana, alex papadimitriou, soedarpo sastrosatomo.

8 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOPARTO (lahir di Yogya 1924) yang mendapat Anugerah Seni 1971, tak begitu banyak punya lukisan. Sebagian karya sudah berada di tangan para kolektor. Ini sebabnya pameran tunggalnya di TIM - 26 September s/d 1 Oktober didukung oleh Kolektor-Kolektor Tan Siu Hong, Hendra Hadiprana, Alex Papadimitriou dan Soedarpo Sastrosatomo. Tak kurang 39 lukisan dan 8 patung memenuhi ruangan 5 buah di antara lukisan itu amat istimewa: berasal dari tahun-tahun 40-an dan 50an. Pelukis dekoratif lugu dan kaya warna ini amat cermat. Ia tidak hanya berusaha menggarap obyek sampai ke detail. Ia pun bekerja keras untuk menemukan bentuk pigura yang baik. Kadangkala ia tak segan menggarap pigura itu dengan warna-warna. Lukisannya menampilkan dunia yang membawa kita dekat pada alam, kampung, kejadian kecil sehari-hari, rumah, anak-anak, kucing, dengan ornamen yang terasa primitif. Soeparto menghirup bau tanah negeri ini lalu menghembuskannya dengan rasa bahagia, rasa cinta yang kadangkala berubah menjadi puisi. Misteri Ia lebih sering menangkap suasana lokal dengan warna yang riang. Kadangkala pucat didominir putih. Tetapi dari kepucatan itu kita melihat garis-garis jelas. Sosok kucing, anak-anak atau rumah rakyat. Kanvasnya menangkap benda-benda yang biasanya terlewatkan. Soeparto bagai mata hati seorang wisatawan yang tertarik pada warna lokal dan benda-benda domestik. Ia berusaha mendramatisir, atau kasih unjuk sudut pandangan yang lain. Subyek subyek pada lukisannya seperti tanpa emosi. Tetapi di balik rasa yang dingin, ada keinginan untuk mengabadikan yang mungkin akan tertelan oleh zaman. Inilah yang mengherankan. Dengan hidup di Jakarta, pelukis ini masih bisa menyelamatkan diri dari irama semrawut kehidupan praktis di sekitarnya. Ia seperti peti es, lubang memandang ke pedalaman. Tak heran kalau lukisannya jadi alat sedot untuk mengusir rasa puyeng setelah banyak pelukis lain lebihsuka melukis ide dan problematik. Kadangkala lukisannya hanya ditujukan kepada kaum pendatang yang haus suasana lokal. Apalagi kemahirannya menampilkan warna, menyebabkan segalanya indah dan puitis. Melawan kenyataan seakan subyek-subyek itu sudah diperiksa, dibebaskan dari suasana dan problem sesungguhnya yang kompleks. Lihat misalnya lukisan seperti Tari Topeng, yang lebih menampakan informasi indah tentang sesuatu yang masih ada di pedesaan. Di sini manusia pelakunya telah dibebaskan dari kehidupan yang sesungguhnya. Sebaliknya, kecermatannya pada lukisan Air mata memunculkan sesuatu yang dalam. Kita dihadapkan pada sebuah wajah yang dibangun oleh kotak-kotak berwarna. Di mulutnya seperti ada ikan lalu air mata merambat dari mata yang bagai memandang isi dunia. Kita merasa ada misteri, bukan hanya puisi yang manis, bukan hanya rekaman suasana berbau lokal. Suasana tersebut juga muncul dari lukisan berjudul Tragedi yang agaknya merupakan eksperimen. Di sini pelukis menampilkan gagasan ukiran serta emosinya. Melihat kecenderungan pada periode paling belakang ini, kita gembira. Separto sudah bersiap lagi untuk meneruskan pengembaraan. Jadi tidak hanya diam dalam dunia sunyi yang dipilihnya sambil perlahan-lahan berubah menjadi pengrajin. Bersahaja Tepi Rumit 5 buah lukisan lama amat menarik. Karena amat berbeda dengan apa yang dikerjakan Soeparto sekarang. Mandi Pancuran yang dilukis tahun 1946 menunjukkan dua orang yang sedang mandi. Rumah-rumah Kampung yang dilukis tahun 1958 merupakan bukti adanya perhatian khusus Soeparto pada suasana. Rumah dan Bulan (1956) memiliki kelainan pada tarikan gris, tetapi dari sini kita melihat jiwa yang puitis. Sedang Renungan (1949) agak berbeda dari yang lain: terasa surealistis. Potret yang dibuat tahun 1958, jelas merupakan studi bentuk dan cahaya yang kemudian tak pernah dimanfaatkannya lagi. Sebuah guci dan 8 buah patung yang semuanya kayu (kecuali Ibu dan Anak dari bahan pasir, tepung, batu, semen lebih menjelaskan lagi betapa ceritnya Soeparto. Tetapi berbeda dengan lukisannya kecermatan di sini tidak semata-mata dipulas dengan Kemanisan. Patung-patung itu melapalkan sifat rajin para pemahat pribumi yang suka pada ornamen, berkombinasi dengan keluguan sikap hidup. Kita melihat karya-karya 3 dimensi yang unik penuh dengan perasaan. Sesuatu yang bersahaja, tetapi secara teknis rumit penggarapannya. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus