KESIBUKAN seorang Kepala Kepolisian RI, seperti Jenderal Widodo,
termasuk juga mengurusi tingkah laku anggota bawahannya. Apalagi
keluhan masyrakat terhadap anggota polri yang suka 'ringan
tangan,' main hantam dan menakutkan, sudah cukup panjang.
Semuanya, tentu, telah cukup mendapat tanggapan baik dari
kapolri. Seperti kejadian di Tarakan (Kaltim) belum lama ini:
Sagala, seorang pengusaha, bersama seorang nelayan di sana telah
dihajar habis-habisan oleh dua orang perwira remaja polri. Salah
seorang di antara oknum yang 'ringan tangan' itu adalah anggota
polisi lalulintas. Padahal tuduhan terhadap Sagala dan tukang
perahu Majid, yaitu menyelundup terbukti tak ada sama sekali
(TEMPO, 13 Agustus).
Belum lagi beres urusan Tarakan, kini sudah muncul kasus baru
lagi.
Sulaiman Hamzah, mahasiswa dan Ketua I Dema IKIP Jakarta, baru
saja menyelesaikan liburan lebaran di kampung halamannya, di
Bima (Nusatenggara Barat). Pada 18 September lalu ia sedang
menggaggu keberangkatan pesawat terbang. Ketika itulah Sulaiman
melihat suatu kejadian yang dianggapnya tak memenuhi rasa
keadilan: seorang kusir delman sedang dianiaya oleh seseorang
bercelana pendek dan berkaos oblong saja. Sulaiman, mahasiswa
itu, tak bisa tinggal diam. Ia melereai. Tapi yang dilerai,
rang berkaos oblong itu, tak bisa menerima begitu saja. Ia
marah-marah sambil menjelaskan duduk persoalannya.
Ternyata kusir delman yang dihantaminya itu dianggap bersalah
lebih dulu: melanggar peraturan lalulintas. Nah, Sulaiman ini
usil juga. Mana peraturan lalulintas yang dilanggar -- bukankah
di situ tak ada tanda-tanda lalulintas apapun? Perang mulut
sebagai tahap pertama keributan pun terjadi.
Satu Strip
Sulaiman Hamzah, katanya kepada TFMPO di Markas Besar Polri
sesudah berjumpa dengan Kapolri, waktu itu mencoba memberikan
pengertian: apa pun kesalahan sopir delman, tak layak jika
sampai dianiaya. Tapi orang berkaos oblong itu tak mau mengerti.
Malah dengan sewenang-wenang berkata: "Mau apa? Saya polisi satu
strip!" Begitu kisah Sulaiman. Rupanya anggota polri ini sedang
dalam penyamaran -setidaknya sedang berpakaian preman. "Nah,
apalagi saudara polisi - 'kan mestinya pengayom rakyat? Masa
baru satu strip saja sudah bertindak sewenang-wenang," ujar
Sulaiman ketika itu.
Ketika Sulaiman sedang baku debat dengan anggota polri ini,
muncullah orang lain - yang ternyata juga anggota polisi tanpa
seragam. Dan orang yang datang belakangan inilah yang mula-mula
menggenjot Sulaiman. Berikutnya muncul pula orang-orang lain,
yang menurut dugaan Sulaiman juga anggota polisi berbaju preman,
ikut mengeroyok mahasiswa Jakarta yang hari itu bernasib buruk.
Sulaiman tak tinggal diam. la berusaha meloloskall diri dari
keroyokan brutal itu. Sebuall tinjunya ada juga yang kena tubuh
salah seorang pengeroyoknya.
Kejadian begitu ditonton oleh beberapa orang di sekitar lapangan
terbang. Penonton ini yang melerai dan untuk sementara
meneduhkan pukulan-pukulan yang menghujani tubuh Sulaiman.
Beberapa Kali Pingsan
Sulaiman kemudian digiring ke kantor polisi Palibelo. Di kantor
seksi kepolisian inilah Sulaiman mengharapkan penyelesaian yang
baik atas peristiwa sial yang menimpanya. Tapi dasar sial: "Di
kantor polisi ini saya malah dikeroyok oleh delapan orang
polisi," keluhnya. Apa bolell buat. Si teraniaya ini terpaksa
berusaha menyelamatkan diri. Ia menerjang jendela dan memecahkan
kaca jendela dengan hantaman tubuhnya sendiri. Tapi di luar
ruangan ia sudah disambut anggota polisi lain.
Dari Palibelo korban segera dibawa ke kantor polisi yang lebih
atas - ke Komsekko Gunung Dua. Di kantor polisi ini nasib
Sulaiman ternyata tak bertambah baik. Kepada piket, menurut
Sulaiman, polisi Palibelo yang menyeretnya memberikan
keterangan: "Ini mahasiswa yang mengeroyok polisi."
Berdasarkan keterangan polisi Palibelo itulah polisi Gunung Dua
bekerja: Sulaiman kembali dihajar habis-habis sampai
terampun-ampun. Untuk lebih enaknya, bagi si penganiaya,
Sulaiman diseret ke sebuah ruangan kecil. Di sini penganiayaan
dilangsungkan dengan lebih seru. Menurut Sulaiman, peristiwa
pahit di ruang kantor polisi yang berukuran 2 x 2« meter,
berlangsung sejak jam 11 siang sampai 6 sore. Itu mengakibatkan
ia pingsan beberapa kali. Dan setiap ia tak sadarkan diri,
polisi menyiraminya dengan seember air. Darah mengalir dari
beberapa bagian tubuhnya. Rekan tahanan di sanalah yang membantu
mahasiswa Jakarta ini mencucikan pakaiannya dari noda darah.
'Penyelesaian' baru diperoleh Sulaiman dari kantor polisi yang
lebih atas lagi, Resort Raba. Bentuk penyelesaiannya: Sulaiman
harus menandatangani suatu pernyataan "menyesali dan mengkui
kesalahannya." Juga harus menganggap urusan selesai dengan
ditandatanganinya surat pernyataan.
"Saya terpaksa menandatangani pernyataan itu, agar cepat
terbebas dari penganiayaan," kata Sulaiman menyatakan
pendiriannya. Dan begitu bebas dan terbang ke Jakarta ia
bertekad untuk menyelesaikan urusan dengan polisi Bima
sebagaimana mestinya. Bersama pimpinan IKIP dan rekan Dema, ia
menghadap Kapolri meminta keadiian. Widodo berjanji, seperti
janjinya kepada korban tangan polisj lainnya, akan menyelesaikan
persoalan dengan baik. Sulaiman, yang mukanya masih birubiru,
merasa puas setelah jumpa dan memperoleh janji Kapolri.
Polisi, menurut Kapolri, masih harus meneliti peristiwa yang
sesungguhnya. Ketidakjelasan keterangan Sulaiman, bisa
dimengerti, karena para penganiayanya - yang berpakaian preman
itu - tak cukup dikenali identitasnya. Itu susahnya. Widodo
sendiri, sebenarnya, tak menyukai anggotanya bertindak langsung
terhadap anggota masyarakat tanpa baju seragam yang semestinya.
Menurut Brigjen Hudioro, Kepala Dinas Penerangan Mabak, "belum
jelas benar: pelakunya itu anggota polisi atau kamra (keamanan
rakyat)?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini