Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Harun Zain: Fondasi, Menjelang Isinya

Harun zain menjadi gubernur sumatera barat sejak 1966. daerah rawan memerlukan pemimpin yang cocok. tugas pokoknya memulihkan harga diri masyarakat, meletakkan fondasi pembangunan.

8 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Harun Zain mulai memangku jabatan Gubernur Sumatera Barat pada awal 1966, diakui secara luas keadaan di daerah itu serba mandeg. Ini bisa difahami bila dilihat lembaran hari kemarin di sana. Sehabis peristiwa PRRI (1958-1960) potret daerah ini bukan merupakan wajah yang elok. Rumah penduduk banyak yang musnah. Irigasi macet. Sawah ladang pun terbengkalai. Jalan dan jembatan banyak yang rusak, hingga memisahkan kampung yang satu dengan yang lain. Keadaan begitu kian dirasa rusuh, karena zaman itu memang bukan zaman pembangunan. Di zaman jor-joran politik ketika itu, suasana teror -- baik fisik maupun mental -- amat terasa di bekas daerah PRRI itu. Harap diingat itu bekas Letkol Untung dan Latif ketika itu masih berpos di daerah itu. Maka orang pun jadi takut punya harta, karena setiap saat ada saja datang orang merampok, tanpa ada kemungkinan mengusutnya. Para pemuda dan kaum terpelajar serta merta makin banyak yang merantau ke Jawa, terutama ke Jakarta. Tak ketinggalan keluarga yang punya anak perawan dan perempuan. Banyak juga dari mereka yang ketika itu 'dipaketkan' pada sanak famili di rantau, karena takut diganggu orang. Suasana begitu tak dengan sendiri nya reda ketika meletus peristiwa G-30-S/PKI. Tapi dengan hancurnya kekuatan Komunis, kalangan cendekiawan, para pemuda dan sejumlah perwira mulai merasa bebas untuk berdiskusi. Timbul satu pertanyaan yang sungguh sulit mereka pecahkan: Siapa kiranya yang patut memimpin daerah ini? Dari pusat ada ditunjuk Saputro, untuk menggantikan Gubernur Sumbar yang pertama, Kaharuddin Dt Rangkayo Basa. Tapi sang pengganti itu rupanya belum dipandang cocok buat membenahi daerah yang rawan itu. Dalam suasana yang ingin melihat seorang putera daerah tampil sebagai pemuka, banyak orang bersepakat menilai drs Harun Alrasyid Zain, 39 tahun (ketika itu), Rektor Universitas Andalas sebagai calonnya. Mereka berhasil. Presiden Soekarno waktu itu mengangkat Harun. Di samping jadi gubernur, Harun Zain beroleh 'hadiah' pula ketika dalam beslitnya tercantum gelar profesor. Agaknya BK mengira dia tentu berpangkat profesor, mengingat kedudukannya sebagai rektor. Dari mana Harun Zain mulai? Lebih dulu ia menoleh pada dirinya. Ia mempunyai latar belakang di,bidang pendidikan. Dari balik kacamatanya sebagai seorang ekonom dia melihat bahwa kehancuran yang terjadi bukan melulu di sektor fisik, melainkan lebih parah lagi melanda sektor non fisik. Ini disimpulkannya dengan gambarall, "bukan sekedar ada orang berontak lalu dilampang (ditempeleng, Red) sebentar." Oleh adanya kenyataan begitu, seperti halnya Vorang di Sulawesi Utara (TEMPO, 5 Maret) Harun Zain di Sumatera Barat juga berangkat dari persoalan yang sama. "Mengembalikan harga diri, menjadi program pertama Harun, setelah mengkaji keadaan," kata drs Zaglul St Kebesaran, Ketua DPR Sumbar di depan Menteri Dalam Negeri ketika plantikan Harun Zain sebagai Pj Gubernur bulan April lalu di Padang. Menjadi seorang penguasa di Sumatera Barat, ada sulitnya. Bahkan untuk menjadi kepala jawatan atau kepala dinas saja, bisa serba salah bila kurang hati-hati. "Daerah ini bisa jadi batu ujian buat karir kita selanjutnya komentar seorang kepala dinas di Padang. Sebab masyarakat Minang terkenal kritis. Barangkali inilah satu daerah yang punya keunikan: di sini dikenal istilah "parlemen lapau." Karena di lepau atau warung orang biasa membuka obrolan perihal perkembangan keadaan. Isi pembicaraan itu adakalanya juga bertiup sampai ke kamar-kamar pejabat. Sehingga diperlukan semacam sikap yang bijak buat menanggapi suara parlemen warungan itu, yang sering juga membikin kaget sang pejabat. Tidak ada maksud jelek, seperti diakui Harun Zain mengenang awal masa jabatannya, "sebab rupanya itu memang sebagian dari kultur orang Minang, dan di situ pula mereka mengadu otak," katanya. Tak pelak lagi, orang Minang memang pandai bersilat lidah. Bahkan, seperti kata St Mohamad Rasyid SH, 66 tahun, bekas ubernur Militer Sumatera Tengah semasa revolusi, "orang Minang itu sebenarnya bisa memimpin diri sendiri." Rasyid, yang pernah bermukim di luar negeri selama 14 tahun, setelah dicopot sebagai Dubes RI di Itali waktu pecahnya peristiwa PRRI itu, kini tergolong salah seorang pemuka masyarakat Minang di Jakarta. Tinggal di rumah yang sederhana di Jl. Minangkabau 14, dia tak segera menjawab ketika ditanya pendapatnya tentang Harun Zain. Kepada Yunus Kasim dari TEMPO, Rasyid kemudian menyimpulkan bahwa yang dibutuhkan masyarakat Sumatera Barat adalah "seorang koordinator." Sebagai orang Minang di rantau Rasyid termasuk orang yang kritis terhadap kepemimpinan Harun. Dia tak mengelak banyak sudah yang dilakukan Harun Zain selama 10 tahun ini. Mulai dari sawah rakyat, jalan dan jembatan sampai sekolahan. Tapi dari balik kacamatanya, ada satu hal yang dinilainya kurang dari Harun yang dibesarkan di luar daerahnya itu. "Zain jujur dan pintar," katanya. "Tapi dia akan lebih berhasil kalau saja lebih tegas dan berani mengambil keputusan sendiri." Menurut orang tua itu, "dalam masa jabatannya Zain kurang menghimpun pendapat rakyat, terutama yang mewakili tiga tungku sejarangan" (unsur ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama). Agak berbeda dengan Rasyid, adalah pendapat H.A. Burhani Tjokrohandoko, 53 tahun, Brigjen TNI-AD yang kini memangku jabatan Dirjen Urusan Haji. Pernah menjabat beberapa pos penting di Sumatera Barat selama 16 tahun, Burhani selama 1971-1974 adalah Ketua DPRD di Sumbar. Dia mengakui Sumatera Barat sekarang maju. "Tapi jangan lupa, basisnya sendiri memang sudah baik," katanya kepada Klarawijaya dari TEMPO. Maksudnya basis? "Sebelum adanya pembangunan, di Sumatera Barat suah tidak ada orang yang tak makan," lanjutnya. Tapi sebegitu jauh, Burhani menilai Harun sebagai "orang yang dekat dengan tiga tungku sejarangan." Kalau pun ada hal yang menurut Burhani belum sempat dikerjakan Harun ain adalah "pemanfaatan 31 bekas perkebunan asing di sana yang kini masih terlantar." Sebagian dari perkebunan itu memang sudah diserahkan kepada swasta. Tapi "pihak swasta itu menganggap bekas perkebunan asing itu sebagai harta karun -- menuras tanpa berhasil menyelamatkan dengan baik," katanya. Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula halnya dengan kepemimpinan Harun Zain. Sebagai orang universitas yang tak lepas dari sikap seorang tehnokrat. bekas rektor itu dalam awal jabatannya memang menaruh perhatian besar pada tenaga-tenaga Universitas Andalas dan universitas lainnya. "Sebab di manai pun kalau orang membicarakan perkembangan, tak bisa luput dari faktor kepemimpinan intelektuil," begitu Harun menjelaskan strateginya. Kepemimpinan- "intelektuil" seperti yang dikemukakan Harun itu tentu tak boleh berhenti pada para lulusan sekolahan tinggi. Sebab tak sedikit di kalangan ninik matlak (pemangku adat), alim ulama dan cerdik cendekia sampai 'parlemen lepau' yang mampu menghayati getaran masyarakat Minang. Masalah pembangunan tak berhenti pada pemecahan masalah berdasarkan angka dan data, tapi perlu juga berurusan dengan orang-orang yang terlibat dalam masalah serta pemecahannya itu. Barangkali itu pula sebabnya, selama 4 tahun dari awal masa jabatannya. Harun Zain melakukan serangkaian perjalanan untuk lebih mengenal denyutan daerahnya. "Kunjungan itu beroleh sambutan secara adat," kata seorang stafnya. Telempong- puput dan serunai kembali terdengar di mana-mana." Tapi sehabis mendengar bunyi serunai, yang berarti membuat orang kembali punya harapan, orang awam pun biasanya meminta bukti yang kongkrit. Itu pula sebabnya jalan dan jembatan yang rusak - yang membuat daerah itu berkeping-keping bak kantong-kantong yang terisolir satu dengan yang lain mendapat prioritas untuk dibenahi. Perbaikan pun dilakukan (lihat grafik 1). Berangsur-angsur kondisi prasarana itu dipulihkan, termasuk perbaikan irigasi dan sarana produksi lainnya. Setelah daerah kantong terbuka, menaik pula volume ekspor dari Teluk Bayur. Kemajuan lewat angka memang kentara dari tahun ke tahun. Kalau di tahun 1967 nilai ekspor Sumatera Barat hanya sekitar $ 1 juta, maka tahun ini menurut taksiran Harun bakal di atas $ 75 juta. Dia juga merasa gembira ka rena hasil bumi yang diekspor itu "bukan berasal dari perkebunan estate (milik negara) -- yang menumt Bur hani tadi masih terlantar itu. Tapi dari perkebunan rakyat, hingga hasil dari ekspor tadi "bisa dirasakan secara lebih merata," katanya. Harun juga membanggakan kisah sukses dalam produksi padi (lihat grafik II). Sekalipun angka penduduk kian bertambah, produksi padi dari Sumatera Barat itu telah ikut dikenyam oleh propinsi tetangga, seperti Jambi dan Riau. Sekalipun timbul beberapa kritik terhadap gaya kepemimpinan Harun, Ketua Majelis Ulama Sumatera Barat, H. Mohamad Daud Dt Palimo Kayo memberi pujian. "Pendekatan Harun pada kalangan ninik mamak dan alim ulama itu membuat dia dapat berakar di dalam masyarakat," katanya. "Swadaya masyarakat bahkan mencapai ratusan juta rupiah,' sambut seorang staf Bappeda sembari menunjuk keadaan pada awal Pelita I. Dengan kembali hidupnya peranan ninik mamak, setidaknya itu telah mendorong upaya perbaikan berbagai kampung. Itu pula awal dari perbaikan kampung halaman, dusun dan teratak. Sistim kemasyarakatan Minangkabau memang menitik-beratkan kesetiaan pada negari, meskipun sang warga ada di mana saja. Dengan demikian boleh dibilang pembangunan daerah tak seluruhya harus merepotkan pemerintah. Sebelum dana Inpres dikenal pada berbagai peristiwa masyarakat sering juga bertanya pada camat: Apa partisipasi pemerintah daerah, kami sudah membangun .... Tangan Harun Zain memang belum sempat menjamah semua kebutuhan prasarana di Sumbar. Seperti kata St. Mohamad Rasyid, "perbaikan jalan-jalan baru sebagian berhasil." Rasyid lalu menunjuk beberapa contoh. "Jalan darat ke Muara Labuh dan Asahan Panjang masih payah," katanya. "Juga ke Koto Tinggi dan sekitarnya - tempat ribuan pejuang dan Gubernur Militer dulu - sampai kini belum dikerjakan. Begitu pula air ledeng di kota-kota kabupaten belum banyak beroleh perhatian." Sekalipun Sumatera Barat kini terbilang 'maju', sebanyak 805% dari APBDnya masih bergantung dari pusat. Peranan Jakarta dengan begitu amat menentukan. Belum seluruh rancangan yang disodorkan Harun terkabul, walaupun banyak rekannya dari Berkeley yang kini memegang jabatan kunci dalam Kabinet. Tapi paling tidak, dibanding dengan propinsi tetangga - seperti Jambi dan Riau yang ada Caltex, Sumatera Barat berpacu lebih kencang. Tergolong sebagai gubernur yang rajin, ada satu hal yang agaknya menarik tentang gaya diplomasi Harun: pintar meyakinkan orang. "Orang asing pun putus sama dia," puji Hendra Asmara, ekonom yang belakangan ini dikenal dengan penyelidikan 'Garis Kemiskinan' itu. Sehari-hari menjabat direktur Lembaga Penelitian Ekonomi Regional FE-Universitas Andalas di Padang, Hendra yang keluaran UI itu termasuk orang yang dekat dengan Harun. Contohnya? Apalagi kalau bukan modal pemerintah Jerman Barat yang mengalir masuk ke bidang pertanian, peternakan dan perkebunan rakyat di sana. Ini berlangsung sejak 5 tahun lalu. Di Bukittinggi dibangun beberapa lab penelitian. Perkebunan karet di Abai Siat, Sawahlunto Sijunjung dikembangkan. Begitu pula peternakan terkenal Padang Mangatas yang kini juga dijadikan tempat pembibitan ternak penduduk berhasil direhabilitir dengan bantuan modal dari Jerman. Dari Inggeris masuk pula modal untuk perkebunan cengkeh. Perikanan beroleh uluran bantuan dari Selandia Baru. Pompanisasi di Singkarak sedang digarap oleh modal dari Swiss berdasarkan paket bantuan Bank Pembangunan Asia (ADB). Dan sedang dalam proses pula untuk mendirikan satu stasiun pertanian terbesar untuk pulau Sumatera yang merupakan bantuan AID. Sementara swasta Jepang sedang tergiur untuk menancapkan modalnya pada alam permai Minangkabau untuk dijadikan proyek turis. Sumatera Barat berpenduduk sekitar 3,1 juta jiwa, dan hampir tiga perempat dari jumlah itu hidup dari sektor pertanian. Mereka baru bisa menggarap 0,5 Ha per keluarga. Luas daerah ini sekitar 4,2 juta Ha atau lebih kurang sama dengan luas Jawa Barat (4,6 juta Ha). Dibanding dengan jumlah penduduk Jawa Barat (plus Jakarta) yang mencapai 27 juta jiwa, sekilas nampak tanah di Sumatera Barat masih luas. Dan memang di sini masih banyak dijumpai hutan, gunung di sana-sini dan danau. Sedangkan sawah cuma bisa nyelip di lembahlembah yang luasnya hanya sekitar 4,5 dari jumlah seluruh daerah. Yang selebihnya itu? "Hanya bisa dibuka kalau modal ada," kata Harun Zain sembari menunjuk contoh proyek Sitiung. "Dari segi potensi kita masih ada bedanya dengan di Jawa," tambahnya, "dan itulah yang sering saya bilang pada kawan-kawan di Bappenas, daripada orang Minang datang terus ke Jawa, beri kita proyek-proyek yang lain. Saya menganut teori: ada gula ada semut." Sejak semula duduk di kursi gubernur, Harun memang mengambil sikap bagaikan seorang guru. Ia merasa tak keliru bersikap begitu, meski dalam kenyataan sering tujuannya kurang kena. Tambahan pula ia membiarkan masalah teknis pemerintahan diurus oleh stafnya di kantor gubernur. "Saya hanya mengurus hal-hal yang bersifat makro," katanya kepada TEMPO. Mungkin pendiriannya itu bermaksud baik. Artinya, ingin memberi kesempatan buat orang lain memperbaiki diri. Tapi tak mustahil pula lalu terjadi salah tafsir. Misalnya, karena ia menyerahkan urusan teknis pemerintahan itu hanya sebagai urusan staf saja, maka kebanyakan bupati hanya terdiri dari tokoh kelas-3. Akhirnya pemerintahan di daerah tk II kurang berjalan baik - meski sudah ditanam juga sarjana di sana. Justru persoalan teknis ini yang sering menimbulkan berbagai soal di lapangan. Tak kurang dari Dt Palimo Kayo pula yang melihat: "Dalam segi kontrol ada kelemahan pemerintah daerah pada pelaksanaan pembangunan selama ini," katanya. Selain itu hubungan pemerintah daerah dengan orang Minang di rantau, nampaknya kurang dibina. "Orang Minang di Jakarta pernah mengajak Harun bicara, tapi kurang diperhatikan. Ia ragu-ragu dan malahan curiga. Ini sangat saya sayangkan," ujar Sutan Mohamad Rasyid, yang juga salah seorang famili dekat Harun. Akan halnya hubungan pemerintah daerah dengan DPRD Sumbar, oleh kalangan Pemda memang digambarkan sebagai "hubungan suami isteri." Namun A.A. Navis -- salah seorang anggota dewan dari Golkar punya kesimpulan: "Hubungan suami isteri yang kurang mesra. Tak pernah ada soal yang dibicarakan secara santai atau informil." Barangkali karena hubungan yang kaku itu, misalnya masalah Bank Pembangunan Daerah belum mulus terselesaikan. BPD punya 7 anak perusahaan, seperti PT Tani Makmur, PT Pembangunan Sumbar, PT Sarana Andalas Agung, PT Padang Rattan Manau dan sebagainya. Harun menilai adanya lapangan usaha itu sebagai "membuka kesempatan kerja bagi para sarjana dan pembinaan kader wiraswasta." Ini sedikit berbeda dengan pandangan DPRD Sumbar (hasil pemilihan umum 1971), yang menganjurkan agar BPD dibatasi geraknya sebagai bank dagang umum, serta modal yang ditanamnya dalam anak perusahaan itu ada kepastian hukum yang jelas. Akte pembentukan anakanak perusahaan itu, dianggap oleh DPRD Sumbar sebagai kurang beres. Sebab, nama yang tercantum dalam akte, kabarnya mewakili nama pribadi-pribadi dan bukan sebagai mewakili pemerintah daerah. Tapi memang sasaran pokok yang sejak semula dipatok, bukan pada adanya jalan yang mulus atau adanya proyek-proyek besar itu. Melainkan pada sektor non-fisik: pulihnya harga diri masyarakat. Dengan kata lain, seperti diakui Harun sendiri: "Saya baru meletakkan fondasi-fondasi. Belum isi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus