Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ilusi Rasa Aman di Manhattan

Sebuah film thriller pucat dari sutradara yang punya reputasi sebagai pembuat film yang "meneror". Namun aspek teknisnya dahsyat.

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panic Room Sutradara : David Fincher Skenario : David Koepp Pemain : Jodie Foster, Forest Whitaker, Dwight Yoakam, Jared Leto, Kristen Stewart Produksi : Columbia, 2002 Kawasan Manhattan, New York, memiliki sebuah pojok ganjil. Pojok itu, bernama Panic Room, yang merupakan sebuah ruangan lapis baja, berfungsi laiknya bunker modern yang punya belasan monitor pengawasan dan sambungan telepon tersendiri. Tempat ini tak mungkin ditembus dari luar, bahkan ketika kiamat terjadi, begitu sesumbar agen yang menjual rumah ini. Mungkin karena merasa tak aman, mungkin karena ia gundah, perempuan muda yang baru saja bercerai, Meg Altman (Jodie Foster), memutuskan untuk membeli apartemen mewah tiga lantai yang menyediakan Panic Room itu. Altman adalah wanita kaya raya yang baru bercerai dari suaminya seorang raja farmasi, akibat perselingkuhan suaminya yang bertubi-tubi. Bersama sang anak gadis Sarah (Kristen Stewart) yang menderita diabetes, Altman melalui malam pertama mereka di apartemen baru itu dengan aman hingga tengah malam. Saat itu, tiga penyusup masuk ke dalam rumah. Junior (Jared Leto), Burnham (Forest Whitaker), dan Raoul (Dwight Yoakam) mengincar harta senilai jutaan dolar yang disimpan penghuni lama di Panic Room. Mereka mengira tempat itu masih kosong. Altman yang terbangun sontak saja tercekam ketakutan. Pilihan yang lantas paling masuk akal adalah bersembunyi di ruang perlindungan. Padahal, Altman fobia ter-hadap ruang sempit, dan Sarah harus disuntik insulin secara periodik. Di si sisi lain, para penjahat sangat bernafsu masuk. Dari titik ini, ketegangan mulai menjalar. Panic Room karya terbaru sutradara spesialis thriller David Fincher sejak awal mengajak penonton menikmati akrobat visual. Interior rumah tersaji detail dalam adegan pembuka yang menampilkan si agen menunjukkan dagangannya kepada Meg Altman. Berkat editing yang ciamik, kamera ibarat meluncur tanpa hambatan. Dari kamar lantai atas, menyapu ke dua lantai di bawahnya, menerobos lubang kunci, mundur, dan balik ke atas lagi. Interior rumah yang muram terlihat mengikuti suasana hati tokoh utamanya. Kamera juga hiperaktif berselancar dalam adegan-adegan berikutnya. Fincher terlihat gandrung dengan pola yang sudah dipakainya dalam The Fight Club ini. Sayangnya, kefasihan Fincher dalam sisi visual ini tak terimbangi oleh skenario yang kuat. Panic Room menggelinding pucat linier. Tak ada kelokan plot atau penutup yang membuat kerongkongan penonton terasa kering karena ngeri, seperti yang ditimbulkan dalam dua karya Fincher sebelumnya, Se7en dan The Fight Club. Bahkan The Game yang tergolong karya Fincher yang kurang berhasil pun sanggup mempertahankan rasa penasaran penonton. Dalam Panic Room, tokoh utamanya tak menjumpai penyingkapan rahasia yang membuatnya harus menempuh pilihan ekstrem. Altman melakukan perlawanan fisik, namun sosok lawannya jelas, bukan keiblisan dalam dirinya sendiri. Akibatnya, ketegangan datar-datar saja. Aksi tiga penjahat yang bertengkar sendiri malah sering mirip ulah badut Three Stooges. Whitaker memang bermain baik, tapi akting Leto dan Yoakam lebih mengundang rasa "geli". Sebetulnya, peran Meg Altman akan dilakoni Nicole Kidman. Tapi sang aktris cedera saat pembuatan film Moulin Rouge. Panic Room beruntung mendapatkan aktris sekaliber Jodie Foster sebagai pemain pengganti. Penampilan aktris peraih dua Oscar ini, setelah empat tahun absen, menjadi jangkar yang membuat penonton lumayan betah. Kerapuhan wanita yang baru bercerai, pula kasih sayang seorang ibu pada anaknya, muncul wajar dalam akting Foster. Selain Whitaker, yang bisa mengimbangi permainan Foster malah bintang cilik Stewart. Akhir film ingin menunjukkan ikatan keluargasekalipun perceraian sudah terjaditak bisa begitu saja diputuskan. Namun, bila ending semacam ini datang dari Fincher, hal ini sungguh terasa terlalu encer. Yusi Avianto Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus