Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kartu Pos Cantik dari Negara Atap Langit

Lima fotografer memamerkan karya bertema Tibet dan Nepal. Jebakan eksotisme sulit dihindarkan.

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NEGARA di langit itu tampak mistis, teduh, dan berlumur kesunyian yang agung. Kesan yang terpancar dari Nepal dan Tibet sampai kini tampaknya belum beranjak jauh dari gambaran Shangrilla—minus kemewahannya—dalam novel klasik The Lost Horizon, karya James Hilton, yang terbit pada 1930-an. Setidaknya inilah yang tertangkap dalam pameran foto Journey to Compassion yang digelar 3-30 April ini di Galeri Cahya, Kemang, Jakarta Selatan. Lima fotografer, yaitu Kayus Mulia, T. Hartono, Warren Kiong, Agung Handoko, dan Joerg Adelt, seperti hampir tak memberikan ruang pada irama kehidupan lain. Padahal, di dua negara atap langit tersebut, yang dihadapi bukan sekadar urusan transendental. Joerg Adelt, misalnya, menampilkan gambar lanskap gigantik yang sedemikian elok sehingga penikmat karyanya "tertodong" untuk segera mengagumi ciptaan Ilahi dan mengucap syukur. Semangat dari karya fotografer lain tak berbeda jauh. Ini bisa dilihat pada karya Warren Kiong—semuanya tanpa judul—yang mengabadikan detail ornamen religius seperti patung Buddha. Kayus Mulia terpikat pada arsitektur, sementara T. Hartono, praktisi periklanan, memilih berkonsentrasi pada komposisi foto. Karya Hartono sedap secara visual walau obyeknya sederhana seperti susunan balok kayu. Perkecualian terlihat pada karya Agung Handoko. Ia menyajikan potret sosial yang lumayan tajam. Kemiskinan nyata yang dialami rakyat Tibet hadir dalam sosok anak-anak yang kumal. Sementara itu, komentar politis muncul lewat Soaring on the Crying Sacred Ground for Tin Ley. Foto ini menampilkan sosok pesawat tempur dengan latar belakang istana bertingkat, sebuah tempat kediaman Dalai Lama di masa lalu. Mesin perang dalam foto itu adalah yang dulu dipakai Cina saat menginvasi Tibet. Secara simbolis, Agung ingin mengutarakan bahwa hak spiritual di sana sudah tidak dihargai lagi. Kisah pembuatan karya itu berawal dari pertemuan Agung dengan Tin Ley, seorang pelayan restoran di sebuah kota di Tibet. Rupanya, gara-gara tuduhan memiliki afiliasi dengan Dalai Lama, Tin Ley menjadi salah satu korban represi pemerintah pendudukan Cina, sehingga pemuda cerdas ini hanya bisa bekerja sebagai pelayan. Dalam pameran, penjelasan seperti itu tak muncul sehingga pengunjung dipersilakan menebak-nebak sendiri. Foto dalam karya Kayus Mulia yang bertajuk Old Lock, Kumari House juga minim keterangan. Foto ini menggambarkan gembok yang mengunci pintu penuh ornamen. Kumari adalah salah satu tradisi yang hidup sejak abad ke-16 yang memercayai bahwa dewi perawan hidup dalam tubuh seorang perempuan biasa. Begitu terpilih pada usia sangat kencur oleh para pemuka agama, bocah perempuan tersebut dipingit masuk Istana Kumari Chen atas biaya negara. Hidupnya bergulir dari satu upacara agama ke upacara berikutnya. Perempuan yang kedudukannya lebih tinggi ketimbang raja ini akan tersungkur dari kemuliaan begitu ia mengalami menstruasi, sehingga kumari baru pun harus segera dicari. Malang bagi bekas dewi ini, setelah pensiun, ia juga tak bisa menjalani hidup normal karena kaum lelaki enggan mendekati apalagi menikahinya karena takut tertimpa nasib buruk. Apabila cerita soal kumari itu disertakan, foto ini bisa lebih menggigit. Sebaliknya, foto yang juga bisa diberi judul "Gembok Rumah Kudus" ini lantas jadi seperti hasil rekaman bernada turistik. Kayus mengaku tak melakukan riset sebelum pergi ke Tibet dan Nepal. Old Lock, Kumari House direkam semata-mata lantaran pertimbangan estetis. Ia menyebut tak punya bayangan apa pun sebelum berangkat. "Dengan pikiran terbuka, saya siap untuk kejutan-kejutan," kata Kayus, yang sehari-hari bergelut dengan foto salon. Namun, Kayus sepertinya enggan untuk benar-benar terbuka karena ia mengaku enggan mengabadikan hal-hal yang sifatnya politis lantaran sudah muak. Sikap seperti itu halal saja. Seperti kata fotografer Seno Gumira Ajidarma, sebuah foto mewakili apa yang hendak dilihat sang pembuatnya. "Kalau ia ingin melihat keindahan, ia akan mendapatkannya," kata Seno, yang pernah membuat seri foto perjalanannya di Nepal. Karena keindahan adalah sesuatu yang mutlak dalam fotografi salon, tak aneh jika pameran ini didominasi keindahan. Keindahan bukanlah sebuah dosa, asalkan kita tahu masih banyak sisi lain yang bisa dikisahkan dari negara atap langit itu. Yusi A. Pareanom, Gita W. Laksmini, Bobby Gunawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus