Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG lelaki mengayuh sepeda memasuki gerbang kantor Demajors Independent Music Industry di Jalan H. Ipin Dalam, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Jumat, 18 Agustus lalu. Waktu menunjukkan pukul 09.15 WIB. Lelaki itu mencengkeram rem. Tak lama kemudian, ia turun dan langsung menuntun sepedanya ke beranda kantor. Penampilannya santai: mengenakan kaus oblong dan celana pendek. “Rumah tidak jauh dari sini, jadi sering sepedaan ke kantor,” kata lelaki itu, David Karto, 49 tahun, pendiri perusahaan rekaman Demajors, kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu kesibukan telah mewarnai kantor Demajors. Sebelum David tiba, Sindy Amani, musikus muda asal Malang, Jawa Timur, telah bersiap untuk siaran langsung bersama penyiar Synchronize Radio yang menempati salah satu ruangan di kantor Demajors.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
David mengajak Tempo melihat-lihat ruang tengah kantor label musik tersebut. Cakram album musik dari berbagai musikus dan grup musik memenuhi dinding ruangan. Album-album dalam format CD yang siap edar tersusun rapi di dalam kardus. Beberapa yang lain tertata rapi di atas rak.
David mendirikan label musik Demajors pada 2000. Saat itu dia memproduksi dan mengedarkan album musik yang boleh dibilang berada di luar radar industri besar. Di antaranya album milik White Shoes & The Couples Company, Efek Rumah Kaca, Pure Saturday, dan Endah N Rhesa.
Lewat Demajors, David menjadi salah satu sosok penting yang kemudian ikut memeriahkan industri musik populer Indonesia. Selama sekitar dua dekade, ia turut berperan membentuk lanskap musik populer Indonesia dengan album-album rilisan Demajors.
Suasana Synchronize Festival 2022/Communication SynchronizeFest
Lahir di Jakarta, 16 Januari 1974, David tumbuh sebagai remaja 1990-an yang akrab dengan dunia disjoki. Dari rumah teman satu ke teman yang lain, dia berperan menjadi disjoki kaset pita dengan bermodalkan tape deck dan pelantang suara aktif seadanya. David membius rekan-rekannya di lantai dansa dengan mixtape atau kompilasi musik yang ia garap sendiri. “Biasanya pesta ulang tahun teman yang ke-17, pakai kaset dan loudspeaker di rumah. Ya, ini nonprofesional, lah,” ujarnya.
Kegemaran David membikin mixtape itu terus berlanjut. Dia kerap membagi-bagikan hasil kompilasi musik yang ia ramu dalam kaset pita itu kepada rekan-rekannya. Bahkan ia bisa punya uang saku tambahan dengan menerima pesanan mixtape. “Saya rekam satu-satu untuk jadi playlist (daftar lagu) mereka,” tuturnya.
Di masa itu, David juga rajin berkunjung ke toko kaset. Ia tertarik membeli kaset rekaman beragam grup lawak, dari Srimulat hingga Jayakarta Group. Selain memutar kaset, David gemar mendengarkan musik lewat siaran radio. Bahkan siaran radio seperti racun yang membuat dia keranjingan. Sementara itu, kiprahnya sebagai disjoki terus berlanjut dan merambah ke ranah profesional.
Pada 2000, setelah wira-wiri di lantai dansa sebagai disjoki, David mengurangi kegiatannya tersebut. Saat itu ia berpikir harus tetap berada di dunia musik meski sudah mulai meninggalkan dunia disjoki. Bersama beberapa rekannya, antara lain Adhi Djimar dan Sandy Maheswara, ia mendirikan toko piringan hitam bernama Demajors di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan.
Toko piringan hitam itu kemudian merambah ke ranah yang lebih luas: label rekaman bernama Demajors Independent Music Industry. Label rekaman itu digagas trio David, Adhi, dan Sandy berkat jejaring mereka dengan komunitas musik independen. Satu hal lain adalah kecintaan mereka terhadap musik itu sendiri. “Ini masalah hati. Jadi pada level itulah yang membuat kami ada sampai hari ini,” ucap David.
Untuk urusan kuratorial, menurut David, Demajors tidak terbatas pada satu genre musik tertentu. Kata dia, mendengarkan lagu dengan bersandar pada kekuatan hati dan telinga menjadi kunci. Bukan hanya itu, percakapan-percakapan dengan para musikus ataupun band menjadi energi tambahan dalam memproduksi ekosistem musik non-arus utama di Indonesia. “Kami berjumpa, saling bicara dan berdiskusi. Ya sangat 'do it yourself' sekali, lah.”
David menjelaskan, dalam wilayah artistik dan penciptaan sebuah album, Demajors tidak mengatur dan membatasi musikus ataupun grup musik yang berada di bawah naungannya. Demajors, tutur David, tidak pernah mengintervensi hal-hal materi, seperti mengubah chord, lirik, dan konsep.
Dia mencontohkan, tidak mungkin Demajors sebagai sebuah label musik meminta band Efek Rumah Kaca atau Sore mengubah konsep yang sudah ada ketika memproduksi album mereka demi alasan pasar. Menurut dia, musikus atau band yang berjejaring dengan Demajors mempunyai prinsip dan idealisme yang kuat.
Selain menjual album musik di toko Demajors di Jakarta, David mendistribusikannya ke toko-toko besar saat itu. Misalnya Disc Tarra, Duta Suara, Musik+, dan Bulletin. Demajors juga menitipkan album-album produksinya di sejumlah distro atau distribution outlet. Bukan hanya itu. Kini David dan rekan-rekannya menjual secara daring lewat Demajors.com.
Untuk promosi album, David menambahkan, para musikus dan grup musik mendapat wadah melalui Demajors Radio. “Artinya, kami sebagai distributor di level itu kayaknya kalau punya ruang display yang lebih baik dengan cara kami, itu bisa memberikan sebuah energi, lah, gitu,” kata lulusan program D-3 teknologi informatika ini.
Pada 2016, bersama Demajors, David menghadirkan Synchronize Festival. Ini sebuah festival musik beragam genre pertama di Indonesia yang sepenuhnya diisi oleh penampil lokal, dari musikus muda hingga legendaris. Melalui festival musik tersebut, nama-nama yang tidak masuk daftar tampil di konser besar ala promotor diberi panggung. “Synchronize Festival dirancang bukan dengan pola pikir promotor musik,” ujar David.
David bercerita, dia dan rekan-rekannya lekat dengan acara musik berskala kecil atau sering disebut gigs. Pada 2005-2015, ia kerap membikin gigs yang berangkat dari nongkrong bareng dengan teman-temannya di komunitas musik. Pertunjukan musik itu membawa semangat “do it yourself”. Masih lekat dalam ingatan David ketika ia menggulung kabel, meminjam alat, sampai membawa mobil untuk mengangkut peralatan musik. “Seperti orang arisan. Ini menjadi marwah dan tetap kami jaga.”
Synchronize Festival, kata David, juga berangkat dari pemikiran yang sederhana. Sebab, banyak musikus atau grup musik hanya ditonton dengan eskalasi yang kecil. Karena itu, festival dengan format panggung yang lebih banyak menjadi salah satu semangat yang diusung. Festival musik tahunan yang rutin berlangsung di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, itu memberikan panggung bagi musikus atau band lintas angkatan dengan beragam genre. “Synchronize Festival itu yang mensinkronisasi, menyatukan. Jadi semua dikumpulkan menjadi satu,” tuturnya.
Untuk merawat ekosistem yang ada, Synchronize Festival melebarkan sayap dengan membuat stasiun radio. Siaran daring dengan nama Synchronize Radio itu rutin mengudara mulai Senin sampai Jumat. Dinakhodai Fikar Akbar selaku manajer, Synchronize Radio turut memberi tempat bagi musikus di luar Jakarta melalui sesi wawancara dan perbincangan-perbincangan seputar proses kreatif mereka. “Karena kami semua berangkat dari orang-orang yang mendengarkan musik, apa yang bisa kami lakukan ya kami lakukan. Semua kami panggil ke sini, kami kontak,” ucap Fikar.
David Karto dan koleksi piringan hitam di kantor Demajors, Jakarta, 18 Agustus 2023/Tempo/ Subekti.
Hingga kini Demajors menjadi salah satu label rekaman musik yang masih memproduksi rilisan fisik. David selalu berikhtiar bahwa rilisan fisik tidak pernah padam. “Ibarat langit seusai hujan, rilisan fisik dalam konteks industri musik dengan menunggu pelanginya keluar,” katanya. “Hasilnya bisa dilihat hari ini. Banyak band ataupun musikus secara masif memproduksi rilisan fisik, baik dalam bentuk CD, kaset, maupun piringan hitam.”
Dia juga membaca fenomena yang terjadi dalam kurun tiga-empat tahun ke belakang bagaimana musikus ataupun band memaknai adanya rilisan fisik. Fenomena itu, dia menambahkan, meliputi wilayah rekam jejak dan dokumentasi pengkaryaan sebuah grup musik atau musikus.
David masih percaya bahwa album dalam bentuk fisik tetap akan mempunyai ruang dan pasar masing-masing. “Mungkin jadi arsip tersendiri. Kalau tidak, rekam jejak mereka akan dilacak ke mana oleh generasi berikutnya?” ujarnya.
Dia sangat mensyukuri perjalanan Demajors selama hampir 23 tahun ikut meramaikan industri musik populer Indonesia. Ia memaknai bahwa segala hiruk-pikuk dan jatuh-bangun yang terjadi sebagai ilmu yang tidak bisa didapatkan di ruang-ruang formal seperti institusi sekolah. David Karto juga tidak pernah menyesali apa yang telah dia kerjakan dan bersyukur masih bisa menikmati segala riuh rendah yang terjadi. “Saya selalu bersyukur dikasih kesempatan untuk menikmati,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dari Disjoki Terjun ke Industri Musik"