Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran 78 perempuan perupa.
Beragam aliran dan perspektif.
DARI kejauhan, lukisan di kanvas itu tampak seperti kue donat yang empuk dan tidak mulus, seperti kulit kepala yang baru saja dicukur. Bagian tengahnya memang tidak bundar, tapi lebih seperti celah berwarna hitam dengan kelir putih di bawahnya. Ni Nyoman Sani, pencipta lukisan itu, menorehkan cat akrilik pada kanvas berdimensi cukup besar tersebut dan memberinya judul Entrance.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara larik-larik garis arsiran lukisan ini, Sani menyematkan titik-titik akrilik berwarna emas di sekujur obyek itu secara acak. Hampir tak terlihat dari kejauhan, kecuali mendekat ke kanvas. Sementara itu, di luar obyek, Sani menebar titik-titik abu-abu. Obyek ini sepintas seperti narasi visual yang mengingatkan pada gua garba alias vagina dengan liangnya. Sebuah gerbang menuju ruang kehidupan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun goresan cat Ariesa Pandanwangi pada kanvasnya mewujud dalam sebuah lukisan berlatar warna biru yang didominasi kelir merah. Ia memberinya judul Embrio Biru. Ia mengisi bentuk lonjong merah dengan lingkaran-lingkaran berwarna hitam, hijau, dan kuning. Urat-urat di sepanjang lingkaran luar lukisan itu seperti akar yang mencari sumber kehidupan. Lukisan itu seperti menggambarkan embrio yang tengah tumbuh dalam kantong rahim.
Karya Ariesa Pandanwangi berjudul Embrio Biru. Tempo/Dian Yuliasti
Dua karya tersebut sangat dekat dengan kehidupan perempuan dan fungsi reproduksinya. Tema yang sangat dekat dengan apa yang sering dialami perempuan ini dihadirkan dalam pameran bertajuk "Marwah". Dua lukisan itu adalah bagian dari sejumlah karya 78 perempuan perupa yang dipamerkan di Pos Bloc, Pasar Baru, Jakarta Pusat, pada 14-20 Agustus lalu. Karya yang dipajang menampilkan berbagai aliran lukisan dari para pelukis dengan segala perspektifnya.
Pelukisnya pun beragam, dari Nunung W.S., Dolorosa Sinaga, Dyah Anggraini, Bibiana Lee, Yani Sastranegara, Indah Arsjad, Dyan Anggraini, Revoluta S., Nia Gautama, Bunga Jeruk, hingga Cecil Mariani. Pameran ini dikurasi oleh Anna Sungkar. Lewat karya-karya mereka, para perempuan ini berbicara tentang tubuh, situasi, perkembangan, perbedaan, aktivitas, diskriminasi, perbedaan, politik, dan lain-lain. Sebagian besar masih mengulik gagasan muruah perempuan secara tradisional.
Beberapa perupa lain juga mengulik fungsi-fungsi perempuan yang sangat intim dengan kehidupan. Dalam karya Nia Gautama, tergambar kehidupan dalam instalasi yang mewujud pada sebuah kain merah sepanjang 3 meter yang menjuntai mewarnai sebidang dinding. Di bawahnya, benih kacang-kacangan seperti kacang hijau, gabah, biji saga, dan kacang tanah ditebar di atas tanah dalam dimensi segitiga.
Aneka benih itu disusun menyerupai visual alat reproduksi perempuan, dua indung telur, tuba fallopi, rahim atau uterus, dan liang vagina. Benih-benih kacang hijau tampak mulai menjadi kecambah. Sebotol air dan jadwal penyiraman tertulis di samping instalasi ini. Nia menciptakan narasi karya berjudul Muara Bertumbuh 3 ini.
Karya Nia Gautama. Tempo/Dian Yuliasti
Senapas dengan karya Nia, ada karya Afriani yang berjudul Sri, melambangkan tokoh mitologi Dewi Sri, dewi kehidupan yang mewujud pada batang-batang padi. Afriani melengkapi karyanya yang terdiri atas jahitan kain dengan simbol pranata mangsa—kalender Jawa untuk pertanian. Beberapa suku di Indonesia juga mengenal kalender pertanian dengan nama berbeda. Dalam Sri, selain jahitan kain dengan 12 elemen, terdapat konten video orang menari saat melakukan panen, beberapa onggokan tanah dengan dupa-dupa tertancap, serta sejumlah onggokan tanah dengan pacul di atasnya.
Pada gagang pacul tertulis beberapa kata, seperti "mengisi", "mengalir", dan "menerima". Adapun pada logamnya terdapat lukisan Dewi Sri tengah menari. Karya-karya yang senapas dengan aktivitas perempuan terkait dengan penghidupan, perawatan, pengasuhan, dan pemeliharaan juga terpajang di ruangan yang luas di gedung era Belanda ini. Para perempuan perupa itu juga mengkritik peran-peran atau aktivitas perempuan yang masih berkutat pada beban-beban gandanya. Simbol-simbol dan visual muncul pada karya-karya mereka.
Kekuatan fisik, gagasan, aktivitas perempuan di segala ranah kehidupan, hingga diskriminasi yang masih mengikuti juga menjadi tema atau judul yang disampaikan para perupa. Mereka memperlihatkan itu dalam sapuan-sapuan kuas pada kanvas dan instalasi, dalam bahasa visual yang unik pada setiap karya. Seperti karya yang memperlihatkan tokoh Srikandi dalam pewayangan yang menonjol berwarna cemerlang dengan latar para tokoh dan pahlawan perempuan Indonesia. Karya portrait tokoh-tokoh perempuan dengan kekuasaan dan kapasitas mereka yang diciptakan Ade Artje, misalnya. Juga karya keramik Donna Prawita Arisuta yang menampilkan Sembadra.
Beberapa perupa juga punya gagasan mengkritik standar kecantikan yang selalu menempel pada tubuh perempuan. Ketika perempuan dianggap cantik dengan beragam syarat. Karya lukisan dalam tiga panel kanvas yang didominasi warna biru dan hijau memperlihatkan tiga sosok perempuan setengah badan. Tampak wajah dua perempuan di posisi pinggir terbebat kain, terlihat sebagian wajahnya, mata dan bibir, atau sebelah matanya saja. Mereka mengapit sesosok perempuan bersanggul dan berkemben dengan anting dan kalung mutiara. Alis tipis melengkung membingkai matanya, tapi hidungnya melesak, malah nyaris mirip hidung babi. Sebuah kritik pedas dari Sekar Ayu dengan karyanya yang berjudul Cantik itu Plastik.
Cantik itu Plastik. Dok. Pribadi
Cecil Mariani memajang lukisan berjudul Domestik Tableus yang ia buat dengan arang, pensil, pastel, perona pipi, dan cat semprot. Di antara dua lukisan, Cecil menyematkan kanvas dengan wadah-wadah kecil bekas dan tempelan beberapa carik kertas yang salah satunya berisi daftar harga. Sebuah karya visual yang didominasi warna pastel merah muda. Yang juga cukup unik adalah karya Theresia Agustina yang diberi judul I Love Human, Human is You and Me yang dibuat dengan teknik cetak karbon di atas kertas. Juga lukisan Bunga Jeruk berupa perempuan yang memunggungi seekor macan tutul yang sedang duduk.
Karya Theresia memperlihatkan gambar 18 kancut alias celana dalam yang beraneka ukuran dan modelnya, ada yang besar, kecil, ada pula yang sangat feminin dengan renda-renda, seperti memperlihatkan bentuk tubuh pemakainya. Ia memberikan titik-titik kuning emas pada bagian-bagian tertentu lukisan. Demikian pula lukisan Insanul Qisti Bariyah, yang menunjukkan aneka bentuk alas kaki, dari sandal, sepatu, selop, hingga sepatu berhak tinggi yang aneh-aneh, menonjolkan estetika. Juga instalasi dari besi berbalut stoking. Seperti kita ketahui, stoking sangat lekat dengan tubuh perempuan terutama mereka yang harus menampilkan tubuh yang elok karena tuntutan pasar atau demi kenyamanan bagian tubuhnya.
Pengunjung mengamati karya yang dipamerkan pada pameran seni rupa bertajuk "Marwah" di Pos Bloc, Jakarta, 18 Agustus 2023. Antara/Wahyu Putro A
Revoluta S., penggagas pameran dari Artpora ini, menjelaskan pameran tersebut mengundang beberapa seniman dan membuka kesempatan partisipasi banyak perempuan perupa dengan latar belakang berbeda. Menurut dia, dengan "Marwah", perupa dapat berbicara tentang potensi konflik yang bisa terjadi dengan niat memberi penyadaran akan hal yang dapat memecah belah kehidupan berbangsa, menyuarakan kepedulian lewat karya yang mengandung pesan persaudaraan, dan mengajak menegakkan kedaulatan dengan menghormati perbedaan.
Revoluta menuturkan, pesan persatuan tersebut disampaikan dengan bahasa rupa yang lebih mengedepankan cinta. Pada dasarnya, karya-karya dalam "Marwah" mengurai kesadaran kita dalam berinteraksi agar tidak merendahkan yang berlainan, tidak pula sekadar melakukan hal normatif untuk menghargai dan menghormati. "Marwah" adalah landasan kesadaran menempatkan pribadi-pribadi lain secara terhormat, secara kolektif, tanpa diskriminasi.
“Manifestasi kesanggupan kita untuk hidup berdampingan dalam ruang perbedaan,” ujar Revoluta, yang memamerkan karya abstraknya dengan bahan campuran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Muruah 78 Perempuan Perupa"