Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI kejauhan, tepatnya dari arah pesisir Jakarta, gedung-gedung pencakar langit di Jakarta tampak sebagai horizon datar yang kelabu. Di bawah langit mendung, di tengah laut, seorang seniman berdiri di atas biduk bambu melambaikan kantong plastik kosong berwarna merah menyala. Itulah poster yang menarik perhatian dari penampilan Irwan Ahmett dalam Satu Sekoci dengan yang Kubenci di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu, 16 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehidupan di Jakarta hanya bisa ditatap ketika kita berjarak atau keluar dari zonanya. Sebuah kota besar yang hadir dengan menciptakan ilusi di bawah ancaman terbesarnya saat ini: tenggelam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertunjukan ceramah (performance lecture) Irwan Ahmett yang berlangsung lebih-kurang satu jam adalah penampilan dalam bentuk presentasi multimedia yang menunjukkan kompleksitas kehidupan di perbatasan Jakarta. Penampilan ini menunjukkan rawannya kehidupan ekonomi kampung-kampung nelayan, reklamasi pantai, pulau-pulau kecil yang tenggelam, hutan mangrove di atas lahan sampah plastik, tembok laut, pencemaran biota laut, dan krisis ekologi hubungan manusia dengan alam.
Irwan menyebutkan aktivismenya menyusuri tepian Jakarta sejak 2018 sebagai “ziarah utara”. Bersama beberapa rekannya ia mengikuti garis pesisir yang memanjang lebih-kurang 150 kilometer, kebanyakan ditempuh dengan berjalan kaki. Pesisir Jakarta terbentuk oleh sedimentasi dari 13 muara sungai. Sungai-sungai itu tidak lagi menjadi penyeimbang lingkungan, tapi berubah menjadi malapetaka yang mendatangkan banjir setiap tahunnya. Kerumitan lingkungan hidup di Jakarta saat ini hanyalah puncak gunung es dari masalah yang sedang menanti: bahaya tenggelamnya kota. Ancaman nyata itu datang melalui dua sumber persoalan, naiknya permukaan laut yang disebabkan krisis iklim dalam skala global dan cara orang kota mengelola lingkungan huniannya sendiri.
Irwan—biasa disapa Iwang—mengawali pertunjukannya dengan menerbangkan drone di dalam gedung pertunjukan, merekam suasana remang-remang Teater Kecil sebelum layar menghadirkan hiruk-pikuk di tempat pembuangan akhir. Ia menyeruput air dari akuarium, merekam suara air dengan hidrofon yang pelan-pelan berubah menjadi gaung buldoser yang memekakkan telinga. Lalu pada layar tampak puluhan truk sampah hilir-mudik menuangkan isi perutnya. Di lokasi itu Iwang sibuk memilih-milih pakaian sebelum berpose di depan kamera layaknya turis. Akhirnya dia memilih baju loreng dan rok perempuan. Kostum “Bantar Gebang” dia kenakan ketika naik ke atas panggung. Identitas yang ingin ditunjukkannya: nirgender.
Pertunjukan Iwang dibagi empat bagian. Bagian pertama, "Pulau Melankoli". Ia mengawalinya dengan membaca teks seperti ini: “Selatan Jakarta, tempat aku tinggal, dikenal sebagai kantong-kantong seni-budaya. Namun aku mengalami penurunan hasrat untuk mengunjunginya…. Bukannya tidak menggemari gegap gempita budaya beserta pesta poranya, belakangan arus seni seperti terjebak dalam pola keberulangan. Imajinasi terperangkap dalam kertas post-it warna-warni, bertulisan kata-kata kunci yang mengembuskan obsesi harmoni…. Di Muara Angke aku menjumpai perahu bernama Sri Rumput, setengah tenggelam menunggu ajalnya tiba.”
Iwang mencari batas-batas baru bagi praktik seni konseptualnya dengan terjun ke lingkungan yang mengalami krisis nyata. Di tempat itu batas-batas yang “estetis” tidak dapat lagi ditentukan. Semua pencerapan indrawi mengalami guncangan, bukan lagi keselarasan (menghidu bau tak sedap, menyaksikan kehancuran lingkungan, ambang hidup-mati, perasaan sentimental, ketiadaan harapan). Iwang agaknya justru mau mempertajam guncangan itu. Maka tampaklah tindakannya “yang politis”.
Dia berjumpa dan mengamati perilaku Cassa, simpanse jantan tua keturunan Afrika di tengah megapolitan Jakarta yang didatangkan dari Spanyol. Dengan mengamati perilaku dan kesendirian binatang ini, ia menengarai krisis yang terjadi pada antroposentrisme kota besar: cara orang memperlakukan yang lain menunjukkan hilang atau meredupnya rasa-merasa terhadap ke-lain-an itu. “Malam ini,” kata Iwang, “kalian sedang menyaksikan sirkus imajinasi dari kera besar yang sedang menelanjangi runtuhnya hubungan tua antara manusia dan binatang.” Suatu pulau melambangkan organisme yang hidup dari hubungan antara manusia dan alam, dan kota besar seperti Jakarta baginya adalah pulau mati yang meninggalkan perasaan melankolis.
Bagian kedua, "Cinta Monyet", menunjukkan relasi si seniman dengan penduduk di luar “Pulau Melankoli” yang gemar berbagi pengalaman dan kisah, merayakan jeda sejenak dalam ketidakpastian hidup. Bagian yang menarik di sini adalah ketika Iwang bersama puluhan nelayan di atas beberapa perahu membikin semacam festival penampilan melaut bersama. Tampak beberapa bernyanyi-nyanyi, yang lain menyelam ke dasar laut dan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan kehidupan terumbu karang.
Pentas Irwan Ahmett berjudul Satu Sekoci dengan yang Kubenci , di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16 Agustus 2023. Dok. Djakarta International Theater Platform
Bagian ketiga diberi judul "Sekoci". Ini ranah empati seniman atau relasi terdalam manusia dengan yang lain: perahu yang sudah hancur serta seekor monyet yang hidup kesepian di dalam kandang dan menjadi hiburan sehari-hari warga. Tatapan dan perilaku monyet menyadarkan Iwang pada posisi kognitifnya sendiri, tidak sebatas seniman-aktivis: tidak lebih cerdas atau pintar. Jatuh cinta pada kehidupan yang lain adalah kerinduan seniman untuk keluar dari zona normatif di dalam seni yang tanpa disadari sering diciptakan para seniman sendiri. Kesedihan kehilangan Wati, beruk yang mendadak lenyap dari kandang, setara dengan rasa kehilangan atas meninggalnya dua warga kampung pesisir yang tercebur dan tenggelam di laut setelah tembok laut dibangun.
Teks Iwang dalam pertunjukan ini terasa reflektif dalam situasi antara aktivisme dan
praktik keseharian, yang seni dan bukan seni, pesan dan tontonan, rasa-merasa dan tahu-menahu, egoisme dan altruisme: “Ini bukan tentang kebencianku yang terpaksa menghirup udara kota paling beracun di planet bumi. Bukan pula tentang penyembah harmonisasi melalui socially engaged art practice. Ini tentang ego, obsesi individual dan budak cinta antara aku dan pesisir.”
Apa yang tertinggal dari aktivismenya adalah sejumput pasir, yang di luar ruang pertunjukan menjadi isu ekonomi-politik sangat aktual. Ia beranjak dari kursinya, melemparkan beberapa jumput pasir ke tengah penonton sebagai “sebentuk kenangan atas karya seni autentik”, yang “sertifikatnya bisa diperoleh dengan menjumpai seniman seusai pertunjukan." Ini bagian paling “relasional” dalam pertunjukan Iwang malam hari itu.
Bagian keempat adalah "Nostalgia". Dia memandangi Jakarta dari kejauhan, bertelanjang, berlari-lari, dan menebarkan pasir laut ke udara. Sebuah pohon kering satu-satunya tampak masih bertahan hidup sendirian di atas pasir. “Tidak ada yang lebih tragis dari kematian akibat paru-paru dipenuhi cairan dari segala najis kota Jakarta,” tuturnya.
Ancaman atas kehidupan sudah membesar dan berada di luar jangkauan kemampuan manusia sendiri, situasi yang pernah disebut seorang pemerhati lingkungan sebagai “hilangnya perasaan atau kepekaan akan kritis dalam kondisi yang sudah sangat mendesak”. Seni pertunjukan ceramah Irwan Ahmett adalah upaya membebaskan diri dari ilusi-ilusi—termasuk optimisme—yang lebih meyakinkan ketimbang omongan politikus atau para pengembang yang selalu sarat kepentingan saat berbicara perihal krisis lingkungan alam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pesan Krisis dari Pesisir Jakarta "