Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jejak Nada Sang Maestro

Seorang pianis Jerman menggelar konser tunggal mengenang seniman besar Walter Spies. Sang maestro seni rupa itu kepincut musik gamelan.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sungguh suatu kenikmatan ikut bermain dalam orkes gamelan, tanpa disadari kita mulai memahami semua rahasia dan peraturan di balik musik ini. epenggal kekaguman dalam surat Walter Spies ditujukan kepada sahabatnya di Jerman. Saat itu, suatu hari pada tahun 1924, Walter Spies tengah tinggal di Yogyakarta. Imigran Jerman ini menikmati gaya hidup Asia setelah kenyang bermain piano mengiringi film-film bisu di Bandung. Di Yogyakarta, ia mengenal gamelan Jawa berkat Sultan Hamengku Buwono VIII. Spies terpikat lalu mentranskripsinya. Di Bali, ia bergairah memainkan gamelan Bali lewat piano. Lahir di Rusia di sebuah keluarga pedagang Jerman, Walter Spies muda sudah mengakrabi seni karena keluarganya menjalin hubungan dengan seniman-seniman terkemuka Rusia. Rachmaninoff, Alexander Skrjabin, Maxim Gorki sering menjadi tamu di rumah keluarga itu. Pada tahun 1910-an Spies termasuk kelompok Boheme di Dresden. Muncul kemudian di Berlin di kalangan "Novembergruppe" atau Grup November. Tahun 1923 meninggalkan Eropa dan pergi ke Indonesia untuk menetap hingga akhir hayatnya. Jejak Walter Spies (1895-1942), yang melambung sebagai maestro seni rupa dari Ubud, Bali, diangkat kembali dalam konser piano tunggal pada April-Mei ini. Steffen Schleiermacher, 43 tahun, pianis Jerman, mengusung penjelajahan Spies itu ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Denpasar, dan Ubud. Schleiermacher, yang banyak mengadakan konser dan ceramah musik di Eropa dan Amerika, mencoba menampilkan sesuatu yang tidak terlalu muluk-muluk tapi cukup ambisius. Ia tak bercerita tentang biografi Spies, melainkan satu rangkaian pertemuan—interaksi lebih tepat—Spies dengan musik. Sisi musikal Walter Spies muda ditampilkan dengan memainkan 5 Preludes op. 74 karya Alexander Skrjabin. Sebagaimana diketahui, Skrjabin adalah seorang komponis Rusia pada awal abad ke-20 yang menjadi kawan Spies dan banyak meninggalkan pengaruh dalam proses pembentukan Spies sebagai seniman. Di Goethehaus, Jakarta, Senin pekan lalu, 5 Preludes op. 74 memunculkan permainan tempo serta dinamika yang menarik. Seperti karya-karya Skrjabin lainnya, 5 Preludes diawali dengan nada-nada minor yang kemudian berkembang ke kisaran mayor. Untuk melengkapi sisi musikal Spies muda, Schleiermacher juga memainkan karya Collin McPhee, Eduard Erdmann, dan Alexander Tansman (1897-1986)—semuanya sohib sekaligus inspirator bagi sang maestro. Spies yang berkelana ke Eropa dan kemudian tersangkut di Indonesia tampak dalam Lagu Delem (gender wayang) karya Collin McPhee (1900-1966). Transkripsi gamelan Bali oleh pianis yang hidup pada 1900-1966 itu menghadirkan nada bertempo sedang. Disusul tiga nomor komposisi transkripsi gender wayang yang biasa dimainkan Walter Spies: Bime krode, Pemongkah, dan Pangetjet. Selanjutnya kita pun menyaksikan Spies yang makin "terperosok" lebih dalam dengan musik Nusantara. Periode ini dilukiskan dengan permainan tiga komposisi karya Alexander Tansman pada 1932: Jeux Balinais, Le gamelang de Bali dan La flute de bambau dans la foret de Bandoeng. Konser Schleiermacher di Jakarta diakhiri dengan komposisi Bach-Busoni berjudul Nun kommt der Heiden Heiland (BMW 659) yang diciptakan pada kurun waktu 1907-1909. Spies ternyata seniman yang telah berjalan jauh: dari nada-nada kromatis di Rusia, pentatonis Bali-Sunda-Jawa di negeri ini, dan berakhir pada komposisi religius Bach yang disentuh ulang oleh Busoni. Schleiermacher menyarikan penjejahan estetis itu dalam bahasa musik yang amat menarik. Memang pianis yang lahir pada 1960 ini sudah tertarik dengan Spies sejak berusia 12 tahun. "Saya tertarik dan mendalami perjalanan hidupnya," kata pianis berambut panjang, berjenggot, dan berkumis itu. Sebuah ketertarikan yang berpangkal pada etnosentrisitas dalam kreativitas Spies. Michael Tenzer, dalam buku Balinese Music, 1991, menyebut halusnya musik gamelan berkaitan langsung sebagai estetika yang menghargai kecantikan melodi. Bukan sebuah musik yang dikarakterisasi oleh emosi dan romantisme semata, melainkan lebih detail, rapi konstruksinya, dan penuh ritme dalam pola nan elegan. Musik memang bertebaran di Bali, berkelimpahan sebagaimana seremoni budaya Bali yang diadakan saban tahun. Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus