MATA Teuku Muhammad, 31 tahun, warga Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, tak berkedip menatap layar televisi di rumahnya. Di layar kaca, Kamis pekan lalu, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, membuat pernyataan membatalkan kehadiran pemerintah Indonesia di meja perundingan Joint Council, yang seharusnya berlangsung Jumat lalu di Jenewa, Swiss. Muhammad langsung mematikan televisinya. Ia tampak gelisah. "Pertemuan Jenewa batal. Perang pasti akan terjadi di Aceh," katanya. Suaranya terdengar parau dengan napas seperti tertahan.
Kekhawatiran ayah dari dua anak itu mewakili perasaan kebanyakan warga Aceh. Kebuntuan di meja perundingan diduga akan berlanjut dengan keputusan pemerintah untuk menggelar operasi militer di Aceh. Kalau ini benar terjadi, situasi damai yang baru dinikmati rakyat Aceh sejak 9 Desember tahun lalu tak akan bisa dipertahankan. Letusan peluru, ledakan bom, atau pemeriksaan yang ketat oleh tentara dari Indonesia (TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akan menjadi pemandangan sehari-hari kembali. "Saya memikirkan anak-anak yang masih kecil. Bagaimana nasib mereka di masa mendatang kalau Aceh menjadi daerah operasi militer kembali?" kata Muhammad sedih.
Benar saja, Jumat sore terjadi kontak senjata antara GAM dan pasukan gabungan TNI-Kepolisian RI di Desa Alue Raya, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Selatan. Menurut siaran pers dari Komando Daerah Militer Iskandar Muda, pertempuran berlangsung selama 20 menit dan mengakibatkan tiga anggota GAM tewas. Beberapa jam sebelumnya, GAM juga menyerang pos Batalion Infanteri 144 di Kecamatan Juli, Kabupaten Biereun. Granat tangan yang dilemparkan pengendara motor dari belakang jalan raya di pos itu merusakkan toilet pos. Sehari sebelumnya, di Pidie, Aceh Utara, seorang polisi, Brigadir Satu Suryadi, tewas ditembak di depan rumahnya dari jarak dekat.
Serangkaian peristiwa kekerasan itu akan terus berlanjut setelah pemerintah lewat Menteri Yudhoyono menyatakan menolak hadir dalam pertemuan bersama di Jenewa yang ditunda secara sepihak oleh GAM. "Pemerintah Indonesia tidak bisa menghadiri sidang yang ditetapkan GAM begitu saja, yang berbeda dengan kesepakatan sebelumnya," kata Yudhoyono. Apalagi kini aparat keamanan menyatakan Aceh dalam keadaan siaga I. "Saya perintahkan seluruh pasukan siaga penuh, untuk mengantisipasi kalau GAM beraksi berlebihan terhadap sikap pemerintah," kata Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayor Jenderal M. Djali Yusuf.
Pernyataan menolak hadir dalam pertemuan di Jenewa itu dipicu oleh kabar dari Henry Dunant Center (HDC) yang diterima Menteri Yudhoyono, Kamis pagi pekan lalu. HDC melaporkan bahwa GAM menyatakan tak bisa hadir dalam pertemuan 25 April, dengan alasan administrasi, akomodasi, dan transportasi, serta meminta pertemuan diundurkan menjadi hari Minggu, 27 April. "Bagaimana bisa bertemu tanggal 25 April? Kamis, 24 April, delegasi GAM dari Aceh masih di Jakarta. Perjalanan ke sana saja 18 jam. Belum lagi konsolidasi tim kami yang ada di Eropa,'' kata Utusan Senior GAM di Komite Keamanan Bersama (Joint Security Committee—JSC), Ibrahim Tiba.
Menteri Yudhoyono tak bisa menerima alasan itu. Menurut dia, sudah sejak semula pemerintah Indonesia mencoba menyelesaikan masalah Aceh dengan solusi damai. Ini dibuktikan dengan penandatanganan kesepakatan penghentian permusuhan (cessation of hostilities agreement) pada 9 Desember 2002. Namun, dalam perkembangannya, masih banyak terjadi pelanggaran oleh GAM dan TNI. Menurut Yudhoyono, tercatat dua pelanggaran GAM: masih terus berbicara tentang kemerdekaan dan tidak melaksanakan pengumpulan senjata.
Untuk mencegah kemungkinan gagalnya kesepakatan itu, pemerintah RI mengusulkan menggelar sidang Dewan Bersama. Di lapangan, konflik semakin terbuka. GAM menarik pajak dari rakyat, sementara TNI melakukan tindak kekerasan terhadap anggota GAM. "Saat kami akan meletakkan senjata di 23 titik penempatan, markas kami diserang, orang-orang kami diburu," kata Panglima GAM Wilayah Pase yang juga juru bicara GAM, Sofyan Daud. Bahkan belakangan, eksistensi JSC, yang selama ini dipercaya sebagai perantara damai, diragukan pemerintah Indonesia. Sehingga timbul pemberontakan dari masyarakat setempat, yang membakar kantor JSC di daerah-daerah. GAM menuding pembakaran itu dilakukan oleh milisi binaan TNI untuk mengecilkan peran JSC. Namun pemerintah Indonesia membantah tuduhan itu.
Untuk mengatasi masalah yang terjadi di lapangan dan mencegah makin buruknya situasi di Aceh, pemerintah RI mengusulkan pertemuan. GAM menolak hadir dalam pertemuan yang semula ditetapkan di Tokyo itu, tapi kemudian setuju akan hadir dalam sidang Dewan Bersama apabila dilakukan di Jenewa, Swiss. Dalam surat resmi HDC tertanggal 19 April lalu, GAM menyatakan rekonfirmasinya bahwa pihaknya bersedia hadir dalam pertemuan yang direncanakan berlangsung pada 25 April di Jenewa itu. Tapi secara sepihak GAM minta pertemuan itu digelar pada 27 April. Padahal delegasi pertama Indonesia yang dipimpin Wiryono Sastrohadoyo sudah berangkat sejak 23 April. Bahkan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, yang sedang ikut perjalanan Presiden Megawati ke luar negeri, juga sempat bertandang ke Jenewa dan hanya menemukan ruang hampa.
Menurut Sofyan Daud, rombongan GAM yang berangkat pada 24 April akan tetap menggelar pertemuan pada 27 April walau tanpa kehadiran pihak Indonesia. "Indonesia tak bisa membatalkan pertemuan itu. Sebab, juru runding kami sudah berangkat ke Jenewa," katanya.
Namun pemerintah sudah patah arang dan menganggap GAM main-main. "Bangsa Indonesia memang cinta damai, tapi kami lebih cinta kedaulatan. Bangsa Indonesia punya harga diri," kata Yudhoyono. Wakil Presiden Hamzah Haz juga menyatakan bahwa delegasi Indonesia tak bakal hadir walaupun sebagian sudah berada di Jenewa. "Kalau perlu, putuskan hubungan dengan HDC. Sikap GAM sudah keterlaluan. Mereka mengatur pemerintah kita," kata Hamzah setelah acara hari lahir GP Ansor, di Jakarta, pekan lalu.
Alasan GAM memang dibuat-buat. Namun sikap pemerintah Indonesia dinilai GAM tak bijak. "Sikap pemerintah Indonesia yang tak mau hadir padahal cuma penundaan dua hari saja itu sebuah cerminan dari bangsa yang cengeng," kata deputi juru bicara militer GAM, Teungku Isnandar al-Pase.
Isnandar menuding pemerintah Indonesia sengaja menumpahkan semua kesalahan kepada GAM agar punya alasan kuat untuk menggelar operasi militer di Aceh. "Sebab, bagi Indonesia, orang Aceh bukanlah orang Indonesia. Istilah Acehnya, meunyoe mate kon lako, meunyoe rugo kon atra (kalaupun mati, bukan orang yang dicintainya, dan kalaupun rugi, bukan pula harta bendanya)," kata Isnandar.
Para ketua bersama Konferensi Perdamaian dan Pembangunan Kembali di Aceh—Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Bank Dunia—kecewa dengan batalnya pertemuan Dewan Bersama itu. Dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia kepada TEMPO, pelaksanaan perjanjian penghentian permusuhan bagi suatu perdamaian yang langgeng di Aceh penting sekali. Karena itu, kelanjutan pelaksanaan tersebut akan bergantung pada keberhasilan pertemuan Dewan Bersama tersebut. "Kami menyesalkan GAM membiarkan masalah prosedur yang sepele untuk menghalangi pertemuan di antara kedua belah pihak. Kami mengimbau GAM agar tetap mengambil jalur penyelesaian damai bagi konflik Aceh," tulis siaran pers itu.
Mereka juga meminta pemerintah Indonesia dapat menyelesaikan konflik Aceh dengan damai. "Kami mendorong kedua belah pihak agar mengadakan pertemuan Dewan Bersama dalam waktu yang secepat-cepatnya, untuk kepentingan rakyat Aceh agar dapat hidup dengan damai dan aman."
Harapan itu bisa jadi cuma sekadar cita-cita. Sebab, menurut Isnandar, setelah pengumuman pembatalan pertemuan oleh Yudhoyono, pasukan TNI di Kecamatan Nisam, Aceh Utara, mulai bergerak. "Meski belum disahkan, operasi militer perlahan-lahan telah dimulai," kata Isnandar.
Wakil Komandan Satuan Tugas Penerangan Komando Operasi TNI di Aceh, Mayor (Laut) Eddi Fernandi, membantah tudingan itu. "Hingga saat ini, pola operasi yang diterapkan di lapangan adalah defensif sesuai dengan garis dan batasan yang ditetapkan dalam kesepakatan dulu. Tapi, kalau kita diserang, kami akan mengejar pelakunya. Tak mungkin dong kita diam saja membiarkan diri diserang GAM," kata Mayor Eddi. Jadi, kapan warga Aceh bisa menikmati ketenangan?
Ahmad Taufik, Zainal Bakri (Lhokseumawe), Cahyo Junaedy dan D.A. Candraningrum (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini