PANAS menyengat membakar Kota Palu, Selasa pekan lalu. Akibatnya, sebagian warga kota di Teluk Palu itu lebih memilih berteduh di dalam rumah. Jalanan pun terasa lengang. Tiba-tiba, di dekat Lorong Cendana, Jalan Basuki Rahmat, sebuah minibus Kijang merah yang melaju kencang berhenti mendadak—diiringi jerit gemericit ban baradu aspal—persis di depan rumah Fauzan Arif.
Sontak dari dalam mobil keluar empat orang berbadan tegap, berpakaian sipil, di antaranya ada yang berambut gondrong. Mereka merangsek ke rumah penjual kerupuk, saat penghuni rumah sedang menghitung hasil penjualan setengah hari. Tanpa banyak bicara, keempat tamu tak diundang itu—yang ternyata polisi—langsung memborgol Fauzan. Istrinya, Aisyah, yang sedang hamil tua, tak dapat berbuat banyak. Dia hanya bisa melongo dalam bisu.
Tak lama kemudian polisi mencokok Sugeng dan Nono Maryono, pengontrak rumah di belakang kediaman Fauzan, yang guru mengaji itu. Turut digelandang lima lelaki, dua di antaranya orang Malaysia. Warga yang penasaran dan ingin tahu dilarang mendekat. Di dalam rumah Fauzan mereka sedang menggali amunisi yang ditanam di lantai rumah, seseorang berdalih.
Setelah dua jam mengaduk-aduk isi rumah, polisi pun pergi tanpa penjelasan. Belum lewat kekagetan warga, menjelang malam, sebuah pesawat jet kecil mendarat di Lapangan Udara Mutiara, Palu. Tak biasanya pesawat landing malam hari, apalagi semua petugas bandara sudah pulang. Warga pun mengira ada pesawat mendarat darurat. Keheranan warga bertambah setelah tiga jam kemudian pesawat terbang kembali. Entah ke mana.
Rupanya, hari itu reserse Mabes Polri Jakarta yang datang khusus ke ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah itu sedang ”panen besar”. Ada 12 orang tertangkap siang itu. Fauzan Arif disebut buruan kakap, menjabat posisi penting dalam struktur Jamaah Islamiyah (JI): sebagai Wakil Ketua Mantiqi III Sulawesi dan Ketua Walakah (Subwilayah) Sabah, Malaysia.
JI adalah organisasi bawah tanah yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Agustus 2002, dimasukkan daftar teroris internasional. Terlebih lagi, ada dua warga Malaysia, di antaranya Nizam Khaleb. Dia ini, menurut polisi, berpangkat Ketua Walakah Sulawesi, dan diduga karib Dani alias Taufik Abdul Halim, terpidana mati kasus peledakan bom di Atrium Senen dan gereja di kawasan Duren Sawit, keduanya di Jakarta, Juli dan Agustus 2001.
Bagaimana polisi berhasil membongkar jaringan Palu? Kepala Polri Jenderal Da’i Bachtiar mengatakan, pihaknya terus melakukan pengejaran terhadap sisa-sisa pelaku bom Bali. ”Ada satu unit reserse yang terus-menerus bekerja. Mereka inilah yang berhasil menangkap para tersangka itu,” katanya Jumat pekan lalu.
Menurut sumber di Markas Besar Polri, penangkapan itu adalah hasil pengembangan atas Mohammad Nasir alias Khairudin. Nasir, yang warga Malaysia, ditangkap di rumahnya di Perumahan Vila Indah, Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat dua pekan lampau.
Nasir, yang disebut polisi sebagai Ketua Mantiqi III, tak tahan menghadapi pemeriksaan. Akhirnya dia ”nyanyi” bahwa sebagian besar kelompoknya ada di Palu—dan polisi pun memburu ke sana. Polisi juga menangkap anggota jaringan lainnya, Muhammad Fadli, di Padang, Sumatera Barat.
Rupanya, penangkapan di Palu makin membuka lebar jaringan pelaku peledakan bom Bali, 12 Oktober 2002, yang bersembunyi di kawasan Bogor, Jawa Barat. Sarjiyo alias Sawad dan Abdul Ghony alias Umar Besar alias Wayan tertangkap malam harinya di apotek milik Muhammad Hafiz di Limus Pratama Regency, Cileungsi, Bogor. Dua nama ini buron kakap. Namanya pernah disebut Ali Imron dalam kesaksiannya pada Februari 2003, sebagai perakit bom di Jalan Pulau Menjangan, Denpasar, Bali.
Bersama dua pelaku bom, polisi menggelandang pemilik apotek, Hafiz, yang diduga menyembunyikan buron. Penangkapan oleh 15 polisi bersenjata lengkap menggemparkan Cileungsi, karena saat penggeledahan seisi apotek sedang sibuk dan mereka umumnya perempuan.
Mendengar keributan di tempat usahanya, Hafiz datang ke ruko dan terlongo. Para tamunya langsung menyuruhnya jongkok di lantai, lalu ia dibawa pergi dengan muka tertutup.
Menurut pembelanya, Mahendradata, kliennya itu awam siapa saja penghuni lantai tiga ruko itu. Yang ia kenal hanya Rudi Hermawan, penunggu toko sehari-hari. Sedangkan Abdul Ghony dan Sarjiyo orang bawaan Tohar, tukang bangunan yang lagi merenovasi ruko—yang saat penggerebekan sedang ke kampungnya di Tasikmalaya, Jawa Barat. ”Tohar bekerja sudah sebulan lalu. Belum lama ini, ia meminta izin ada kawannya yang ingin numpang, tinggal di lantai tiga,” kata Mahendrata.
Mehendrata menyesalkan penangkapan polisi yang tanpa disertai sehelai surat penangkapan pun. Bahkan sempat terjadi pemukulan dan penghinaan terhadap penghuni apotek.
Dari Cileungsi inilah polisi memperoleh keterangan bahwa selama Abu Bakar Ba’asyir ditahan di Jakarta, kedudukannya digantikan Ustad Toriquddin atau Abu Rusdan, 45 tahun, di Kudus. Maka siang harinya, Rabu pekan lalu, satu tim Mabes bergerak ke kota di Jawa Tengah itu.
Polisi tak sulit menemukan rumah mubalig yang juga pemilik usaha setting komputer di Jalan Kudus-Jepara, Prambatan Kidul, Kaliwungu ini. Menurut sumber TEMPO di Kudus, Toriq ditangkap di Desa Gribig, saat ia bersepeda motor ke rumahnya, setelah mengambil uang Rp 100 juta dari bank untuk modal usaha.
Penangkapan guru mengaji di perempatan jalan desa itu dilakukan seperti menciduk penjahat besar. Tiga mobil mengepung tiga sudut jalan, begitu sang Ustad muncul dari satu lorong, lalu langsung disergap. Penangkapan sempat memunculkan desas-desus terjadinya penculikan dan perampasan sepeda motor.
Sampai Jumat siang, Hernawati, istri Toriquddin, tidak tahu di mana suaminya berada. Pikiran wanita berjilbab itu bertambah waswas, dan lebih sering mengurung diri, setelah mendengar kabar penculikan di Gribig. Berbekal surat kepala desa setempat, keluarganya mengadukan lenyapnya Toriquddin ke polisi.
Ternyata Abu Rusdan, yang ditangkap di Kudus dan dituduh sebagai petinggi JI oleh Mabes Polri di Jakarta itu, adalah Toriquddin. Abu adalah panggilan untuk ayah dalam tradisi Arab, sedangkan Rusdan anak semata wayang Toriquddin.
Selain memiliki usaha percetakan, Toriquddin dikenal sebagai mubalig. Setiap Sabtu, ia berceramah di Masjid Al-Munawaroh, sedangkan pada hari lain ia mengisi pengajian di Masjid Al-Jihad, Prambatan Kidul. Setiap pengajian yang diisinya selalu banyak pengunjung, termasuk beberapa aparat keamanan dan kaum pensiunan. ”Isinya selalu menekankan pentingnya akidah,” ucap Syafii, seorang jemaahnya.
Banyak warga sekitar tidak yakin Toriquddin terlibat gerakan bawah tanah. Walaupun ayahnya, H. Falech, pernah terkait gerakan Darul Islam, karena pernah menjadi anggota Laskar Hisbullah yang melebur menjadi Batalion 426 Jawa Tengah, dan membelot ke Tentara Islam Indonesia pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, di Kudus dan Magelang, 1951.
Cerita ini dibenarkan Sholahuddin, kakak tertua Toriq. Sholahuddin adalah Dekan Fakultas Pertanian Universitas Negeri 11 Maret, Solo. ”Bapaknya dulu dituduh anggota Komando Jihad,” katanya di Jakarta, Jumat pekan kemarin.
Namun sampai saat ini tak jelas kaitan Toriquddin dengan Ba’asyir. Sholahuddin pun berkata tidak tahu. ”Kalau ada hubungan dengan Ustad Ba’asyir, seharusnya saya tahu, karena saya tinggal di Solo,” katanya.
Menurut Mahendrata, Abu Bakar Ba’asyir hanya sekilas tahu ada Ustad Toriquddin di Kudus, tapi tidak kenal dekat. ”Ini aneh. Kalau tuduhannya pengganti jabatan, tentu harus kenal orangnya, seperti kelompok Tenggulun Ali Gufron, Ustad Zakaria memang dikenal Ba’asyir sebagai alumni Ngruki,” katanya.
Ba’asyir sendiri membantah ada pergantian jabatan Amir JI. Dicegat sebelum salat Jumat di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, ulama karismatik berambut perak itu dengan nada sewot menjawab, ”Itu semua omong kosong. Yang ditangkap semuanya pejuang Islam,” katanya.
Edy Budiyarso, Darlis Muhammad (Palu), Bandelan Amarudin (Kudus)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini