SOSOK SEORANG PEJUANG Oleh: ChinuaAchebe Penerbit: Yayasan Obor Inonesia, 1988, 31 halaman AFRIKA YANG RESAH -- NYANYIAN LAWINO DAN NYANYIAN OCOL Oleh: Okot p'Bitek Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, 1988, 149 halaman KEKUATAN imajinasi artistik seorang pengarang terkadang luar biasa. Dengan kekuatan itu ia dapat melakukan penjelajahan profetik yang mencengangkan para ahli ilmu politik. Novelis Nigeria, Chinua Achebe, membuktikan hal itu dengan novelnya keempat A Man of the People. Novel yang di Indonesia diterjemahkan Amir Sutaarga dengan judul Sosok Seorang Pejuang itu secara satiris menyerang ketidakadilan dan berbagai praktek korupsi di kalangan pejabat pemerintah dan politikus. Dari semua novel yang ditulisnya, baru dalam novel inilah ia sangat committed dengan masalah-masalah politik di negerinya. Gambaran getir dan penuh intimidasi itu dituturkannya dengan penuh emosi, betapapun tetap terkendali. Figur yang secara stereotip senantiasa muncul dalam setiap gejolak politik di negara berkembang, yaitu kelas yang berkuasa, intelektual, dan rakyat, terwakili dengan jitu dalam buku yang bagus ini. Kelas berkuasa yang terdiri dari politikus gadungan yang serakah tentu saja menang dalam pergolakan seperti ini. "Biarkan mereka makan," ujar rakyat yang merasa dikangkangi. "Tapi kita masih ada di mana-mana, yang penting ialah bertahan hidup." Dan bertahan seperti itu tidak perlu terlalu lama. Chinua Achebe dengan berani menjatuhkan pemerintahan korup seperti itu dengan kudeta yang dilakukan perwira angkatan perang negara itu. Chinue Achebe dianggap memiliki ramalan profetik yang kuat, karena itulah yang terjadi di Nigeria pada 1966. Jerit kemarahan dan teriak kekecewaan agaknya merupakan ciri-ciri sastra m-odern negara berkembang. Ini juga dirasakan pada novel keempat Achebe ini. Hal yang sama kita dengar pula pada Nyanyian Lawino dan Nyanyian Ocol karya Okot p'Bitek yang telah diterjemahkan Sapardi Djoko Damono ke dalam bahasa Indonesia. Nyanyian Lawino merupakan ratapan seorang wanita desa di Ghana, Afrika yang terkungkung tradisi dan tidak dapat menerima kebudayaan Barat yang sangat asing baginya. Lebih jauh, ia bahkan merasa diejek dan diremehkan suaminya yang berpendidikan Barat. Nyanyian Ocol justru sebaliknya. Sang suami yang berpendidikan Barat itu menganggap tradisi masyarakatnya sudah harus dikubur, dan mereka mesti memasuki pola hidup yang bnar-benar modern dan berpacu dengan perkembangan zaman. Sapardi Djoko Damono menarik kesimpulan sangat tepat tentang kedua sajak panjang ini "Okat p'Bitek," ujar Sapardi, "berusaha mengungkapkan persoalan-persoalan penting dalam negara berkembang yang baru saja lepas dari kekuasaan penjajahan Barat. Ia mengajak kita semua melihat rangkaian persoalan yang kompleks tersebut dari berbagai sudut pandangan yang baru, ia menyadarkan kita bahwa setidaknya harus merenugkan kembali pilihan-pilihan yang telah kita jatuhkan selama ini." Kedua buku terjemahan yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia ini telah membantu kita mengenal lebih jauh sastra madern Afrika, khususnya Afrika Hitam. Agak ironis memang kita selama ini lebih mengenal sastra modern Barat ketimbang karya saudara-saudara senasib di negara berkembang lain termasuk Afrika. Dapat dipahami mengapa kita tiba-tiba terkejut ketika mendengar Wole Soyinka mendapat Hadiah Nobel pada 1986. Kita juga tidak tahu banyak tentang Christoper Okigbo, penyair produktif Nigeria yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan Biafra. Karya-karva sastra Afrika Barat umumnya didominasi para pengarang Nigeria, namun kita tidak dapat mengabaikan karya-karya pengarang dari negara Afrika Hitam lainnya. Dapat disebut, misalnya, penyair Gambia, Lenrie Peters dan penyair Ghana Kofi Awoonor. Achebe di Nigeria berupaya banyak untuk kampung halaman sukunya Ibo, James Ngugi di Uganda berbuat hal yang sama untuk sukunya Kikuyu. Dengan tiga novelnya yang tersohor, Weep Not Child (1946) The River between (1965)? A Grain of Wheat (1967) James Ngugi telah menampilkannya dirinya sebagai novelis paling terkemuka di Afrika Timur. Sastra yang baik selalu merupakan cermin sebuah masyarakat," kata Mochtar Lubis. Dengan beberapa karya pengarang Afrika Hitam yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kita meletakkan cermin itu di depan kita. Mungkin ada di antara kita yang terperangah. Kita seakan melihat cermin masyarakat kita sendiri. Masalah mereka ternyata merupakan saudara kembar masalah yang sehari-hari kita hadapi. Benarkah ini ciri-ciri khas semua negara berkembang? Agaknya terlalu dini untuk mengatkan seperti itu. Trauma bekas anak jajahan, dengan segala perasaan rendah diri dengan akibat melakukan kompensasi berlebihan, mungkin hanya terdapat di sejumlah negara Dunia Ketiga. Karena itu, generalisasi agaknya kurang tepat. Betapapun, mungkin inilah yang membuat kita merasa dekat dengan karya-karya penulis dari semua negara berkembang. Kita tidak merasa masuk ke suatu dunia jauh yang tidak kita kenal seperti ketika membaea karya sastra Barat. Kita masih mendengar teriakan dendam, teriakan marah, kecewa dan alergi terhadap penjajah dan penguasa bangsa sendiri yang terkadang memang tidak terelakkan. Karya sastra memang tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan politik. Namun, ia bisa menjadi wakil yang paling representatif dalam pengamatan politik terhadap suatu bangsa. Karya-karya dari Afrika Hitam telah membuktikan itu. Sori Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini