GERAKAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA Editor: Abdul Aziz, Imam Tholkhah, Soetarman Penerbit: Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989, 337 halaman BENAR seperti yang dikatakan Kepala Balai Penelitian Agama dan, Kemasyarakatan, dalam kata pengantar buku ini, bahwa buku keagamaan yang isinya merupakan laporan hasil penelitian gejala kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia belum banyak beredar. Prakarsa untuk menerbitkan laporan penelitian "gerakan Islam kontemporer" seperti Islam Jamaah, Ingkar Sunnah, Isa Bugis, kaum muda Masjid Salman, dan kelompok muda Islam Yogyakarta patut dipuji. Dengan demikian, pengamatan tentang Islam di Indonesia mempunyai dasar yang relatif dapat dipertanggungjawabkan . Sebagai sebuah laporan yang baku, buku ini dapat dikatakan berguna bagi mereka yang ingm memahami dan mendalami lebih lanjut "gerakan Islam kontemporer". Begitu juga aparat keamanan dan para pengambil keputusan perlu mempergunakan buku ini sebagai acuan. Karena secara "fisik" hasil penelitian ini telah mengungkap sejumlah data yang diperlukan untuk memahami anatomi gerakan Islam "kontemporer". Secara khusus, kepada M.M. Billah, yang menulis laporan "Gerakan Kelompok Islam di Yogyakarta", patut diberi pujian karena ia tidak sekadar mengungkap data-data fisik, tetapi membuat analisa yang cermat atas ketiga obyek penelitiannya, yaitu jemaah Mardiyah, jemaah Masjid Salahuddin, dan jemaah Masjid Syuhada. Tapi bila laporan penelitian itu didalami satu per satu, niscaya pemberian nama secara pukul rata kepada semua gerakan yang diteliti sebagai "gerakan Islam kontemporer di Indonesia" amat mengelirukan. Karena gerakan Islam Jamaah, Isa Bugis, dan Ingkar Sunnah tidak mempunyai ciri persamaan sedikit pun dengan kegiatan keislaman yang digerakkan oleh mahasiswa dan sarjana Masjid Salman Salahuddin, Syuhada, dan Mardiyah. Kelompok gerakan yang disebut terakhir mempunyai ciri elitis, kreatif, dan secara teologis tidak mempunyai pandangan berbeda dengan arus pokok Islam di Indonesia. Atau, meminjam istilah M.M. Billah dalam buku ini, mereka adalah kelompok dinamis fungsional. Melihat kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tersebut, penamaan sebagai kelompok dinamis fungsional tidak berlebihan, karena layanan mereka dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Masyarakat sekitar tidak merasa terganggu oleh kegiatan mereka. Karena sasaran kegiatan kelompok ini adalah pendalaman akidah, penghayatan ajaran tauhid, harmonisasi hubungan ilmu pengetahuan dan Islam. Kelompok dinamis fungsional dalam pengajian dan latihan kaderisasinya kerap memakai referensi Ali Shariati, Sayyid Quttub, dan Abul A'la Maududi. Di samping itu, para ukhti, anggota kelompok yang wanita, mengenakan jilbab. Maka, tak pelak lagi mereka dituduh sebagai golongan fundamentalis. Billah mengatakan, jemaah Mardiyah, Salahuddin, dan Syuhada tidak memperlihatkan tanda yang mengandung maksud akan mengganti dasar dan sistem pemerintahan yang ada. Meskipun para peneliti mengakui, khusus di lingkungan Masjid Salman Bandung, terjadi apa yang mereka namakan secara politis "aksi" dan "reaksi" antara Salman dan pemerintah. Adapun kelompok Islam Jamaah dengan "imam"-nya Nurhassan Al Ubaidah yang bermarkas di Kediri, kelompok Isa Bugis di Sukabumi, dan Ingkar Sunnah yang bermarkas di Pasar Rumput, Jakarta, sama sekali tak dapat dikatakan sebagai gerakan Islam kontemporer, apalagi bila kontemporer dimaksud mengacu pada pengertiah "semasa", "kekinian", dan trendy. Gerakan mereka bersifat musiman, karena eksistensinya tidak melembaga secara institusional, seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, tetapi lebih digantungkan pada pribadi pimpinannya. Ketiga gerakan ini merupakan "penyebalan" dari arus pokok Islam di Indonesia. Sayang sekali penelitian terhadap gerakan ini kurang mendalam. Karena secara historis munculnya gerakan semacam ini merupakan reaksi dari seleksi kepimpinan organisasi Islam formal. Korban yang jatuh dalam seleksi kepemimpinan akhirnya membangun jemaah untuk mengembangkan lingkungan pengaruh sendiri. Ada informasi menarik dalam buku ini tentang Isa Bugis. Ketika mulai berniat mengembangkan gerakannya, ia terlebih dahulu menjumpai Kyai Munawar Khalil Semarang. Isa Bugis salah alamat, meskipun Wali Al Fatah dan Munawar Khalil bersahabat, toh Munawar Khalil tetap istiqamah dengan pendiriannya sebagai ulama Islam yang aktif dalam Persis, Persatuan Islam. Memang pada akhirnya para penggerak kelompok Isa Bugis dan Ingkar Sunnah adalah orang-orang yang tersingkir dalam seleksi kepemimpinan dalam oranisasi Persis. Sebagai gerakan musiman, Islam Jamaah, Isa Bugis, Ingkar Sunnah berusaha merumuskan jati diri. Nah, di sinilah musibah bagi mereka terjadi. Mereka ingin lain dari ekspresi keagamaan yang bersifat arus pokok. Lantas mereka menerangkan ajaran yang membikin heboh, dan akhirnya dilarang. Menarik, memang. Ridwan Saidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini