Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Wajah Milenial Gending Ki Nartosabdo

Komponis Gondrong Gunarto dari Solo, Jawa Tengah, mengaransemen ulang lagu-lagu Ki Nartosabdo menjadi lebih bergaya milenial.

4 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komponis Gondrong Gunarto mengaransemen ulang lagu-lagu Ki Nartosabdo

  • Gending Ki Nartosabdo menjadi lebih bergaya milenial.

  • Gondrong Gunarto mengembangkan bangunan musik menjadi luas dan kaya.

GENDING “Lesung Jumengglung” anggitan Ki Nartosabdo, yang pada mulanya berkarakter riuh, sigrak, berubah dalam nada rendah, datar, dan berirama lamban. Melodi lembut gitar dibungkus suara synthesizer membangun ruang yang mengawang. Nada-nada gamelan bergeser ke dalam skala digital synthesizer, yang melahirkan imajinasi purbawi tapi sekaligus futuristik.

Vokal alto pesinden Genes Gayatri Sukmaningtyas merombak karakter gending menjadi berat dan kontemplatif. Jarang sekali sinden Jawa berambitus rendah. Sinden Jawa biasanya memiliki nada tinggi dengan pesona wiled yang meliuk-liuk dan gregel menggetarkan.

Lalu, kluncing dan kendang Banyuwangi mengentak dan mengajak perubahan tempo lamban melesat cepat. Seperti ingin menunjukkan jejak karakter “Lesung Jumengglung” yang aslinya riuh tadi. Tapi ini dalam garap gamelan Banyuwangi. Bukan gamelan Jawa yang dulu dipakai oleh Nartosabdo. Etnomusikolog bilang riuhnya gamelan Banyuwangi adalah perpaduan rancak gamelan Bali, Makassar, Osing, dan Madura yang kasar dan gaduh. Bukan riuhnya Jawa mataraman yang menyisakan kelembutan. Artinya, gending ini telah menanggalkan karakter aslinya. Ia memasuki atmosfer gamelan milenial yang belakangan ini diminati seniman world music.

“Lesung Jumengglung” mengawali konser Selendang Biru Tak Pernah Usai pada 29-30 Mei pukul 19.00 WIB di kanal YouTube Indonesia Kaya. Komponis Gondrong Gunarto menafsir ulang gending-gending karya Ki Nartosabdo secara chic dan segar. Gondrong mengembangkan bangunan musik menjadi lebih luas dan kaya. Sepuluh gending Nartosabdo dibaca ulang, lalu dikembangkan dalam keluasan perspektif garap kompositorik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komponis Gondrong Gunarto memainkan kecapi saat konser Selendang Biru Tak Pernah Usai, Mei 2022. Foto: Agus Supertram

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia, misalnya, mengembangkan pola ritme dan irama gending “Ojo Dipleroki” menjadi lebih progresif. Gending ini diawali frasa pendek rangkaian nada shakuhachi yang melengking, disambut genderang rebana biang yang keras dan dinamis, serta ditimpali distorsi gitar elektrik yang bergemuruh. Ini membuat “Ojo Dipleroki” langsung dilahap dengan renyah oleh pemirsa. Garapan rancak pada gending ini adalah surprise tak terhingga bagi penonton.

Musik Gondrong adalah bonus yang didapat dari penguasaannya akan sifat tradisi gamelan Jawa yang memiliki bentuk kompleks, lentur, dan besar. Ia memahami betul konsep perubahan irama dalam gamelan adalah kunci untuk membangun kemungkinan struktur yang lebih besar. Dengan kemampuan para pengrawit yang mumpuni, ia tanpa kompromi membongkar keseluruhan bentuk komposisi. Di sisi lain, sifat tradisi aural gamelan makin membuka ruang eksplorasinya menjadi lebih kaya. Gondrong mengelaborasikan perubahan irama ke dalam detail-detail kecil secara fleksibel, spontan, dan sensitif.

Jadi kelihatan bahwa perubahan irama adalah hadiah besar dari gamelan untuk Gondrong yang dioperasikan dalam menggarap sepuluh gending tersebut. Para kampiun gamelan Jawa pasti tahu bahwa perubahan irama bukan semata memperlambat atau mempercepat tempo. Perubahan irama juga meningkatkan kebesaran rasa dalam perubahan pola irama, struktur, dan densitas nada dari instrumen musik yang dimainkan.

Perluasan dan pengembangan garap kompositorik makin nyata dalam gending “Sarung Jagung”. Petikan kecapi Sunda yang dimainkan oleh Gondrong—sebagai introduksi yang disusul melodi shakuhachi, gender, demung, dan biola—membawa “Sarung Jagung” lebih berjiwa. Gesekan biola ala banyuwangen yang menyeret-nyeret adalah sentuhan retrospektif di tengah lembutnya teknik bernyanyi Woro Mustiko yang membawakan gending tersebut.Sarung Jagung” tampil dalam wajah kekinian.

Juga pada “Selendang Biru” yang tampil mengawali konser di hari kedua. Gending yang aslinya berirama riang itu berubah serius dan wingit. Gondrong melebarkan karakter kolotomik gamelan menjadi lebih feminin melalui nada-nada shakuhachi dan petikan gitar yang halus. Transformasi gamelan ke dalam alat-alat petik ini tetap menjaga bentuk asli “Selendang Biru” yang kenes.

Yang khas dari gending-gending Nartosabdo adalah dominannya garapan vokal. Sebab, gending-gending ciptaan Nartosabdo memang berbasis pada musik vokal yang umum dimiliki musik pop. Dalam musik vokal, peran lirik atau cakepan menjadi sama pentingnya dengan vokal sindenan. Instrumen balungan seperti saron dan demung tidak selalu memainkan melodi sebagaimana dalam orkes gamelan. Tapi itu semua dikembangkan dalam jalinan yang mengiringi vokal.

Kekuatan musik vokal ini berbuah pada duet Woro Mustiko dengan Gembyang Abad Enggal dalam gending “Sapu Tangan” yang mengalir dengan balutan pop romantis. Sementara itu, kor yang melibatkan semua sinden dan waranggono dalam “Doro Muluk” dan “Santi Mulyo” menghasilkan kesan gagah dan megah. Di sini juga muncul kesan eksotis gaya bernyanyi Rizki Ainanda—yang khas sindenan gaya Surakarta—ketika berjumpa dengan uniknya harmoni mondial teknik vokal Tututtuty yang jazzy. Ainanda satu-satunya penyinden Jawa yang tampil dalam konser ini.

Gondrong sudah lama menggelorakan garap musik baru berbasis gamelan. Lulusan pendidikan pascasarjana penciptaan musik Institut Senin Indonesia Surakarta, Jawa Tengah, ini juga berguru pada dua komponis besar: I Wayan Sadra dan Rahayu Supanggah. Kepada mereka ia belajar gamelan kontemporer yang jauh dari selera populer. Bersama Sonoseni Ensemble Gondrong, ia membuat gending-gending kontemporer yang terkesan berat. Tapi ia sadar dan mengerti bahwa musiknya harus menyapa dan diterima banyak orang. Karena itu, di luar karya-karya kontemporer, ia juga khusyuk menciptakan gending populer. Karya-karya komposisi musiknya terangkum dalam album The Works (2004) dan Dukhaa (2014). Pada 2019 ia berkolaborasi dengan pemusik dari Inggris, Susheela Raman, untuk debut album Ghost Gamelan yang telah dikelilingkan ke banyak negara.

Konser Selendang Biru adalah representasi sikap bermusiknya yang lentur, madsinamadan. Sebentuk kompromi yang merujuk pada orientasi selera musik populer. Tapi kompromi Gondrong bukan takluk pada kehendak pasar. Ia tetap mengembara dalam ruang-ruang eksplorasi musikal yang bebas. Terjun di medan estetika gamelan yang dinamis, ia secara khusus memperhatikan idiomatika gamelan yang terbuka bagi terciptanya musik baru. Dan, pada gending-gending Nartosabdo, Gondrong menangkap ruang terbuka untuk menafsir ulang bangunan kompositoriknya.

Para pemusik membawakan gendhing Dara Muluk saat konser Selendang Biru Tak Pernah Usai, Mei 2022. Agus Supertram

Selain pola irama yang dikembangkan seperti yang telah disebutkan, ia juga menggarap pola rhythm yang mengadaptasi sumber-sumber musik non-gamelan. Bahkan ia juga mengembangkan vokabuler harmoni dengan melakukan transplantasi pola-pola rhythm alat perkusi ke alat-alat harmoni, seperti gitar dan piano elektrik. Pengembangan ini memperlihatkan bentuk krospolinasi unsur-unsur musik secara luas dan lintas budaya. Gondrong mendekap vokabuler-vokabuler harmonik tersebut tanpa harus melengkapi seksi rhythm komplet seperti hadirnya instrumen drum set dan gitar bas dalam combo-band. Ia malah melibatkan dua pemain gitar elektrik untuk menebalkan warna harmoninya.

Yang belum dilakukan adalah konstruksi persepsi rasa seleh—jatuhnya ketukan berat yang secara konsep berkebalikan antara gamelan Jawa dan musik Barat. Gondrong sepertinya kurang terusik atas persoalan ini. Atau ia sengaja mengabaikan perbedaan tersebut dan mempersilakan pemusiknya membangun persepsi rasa seleh-nya sendiri-sendiri. Padahal perbedaan konsep seleh dapat mengacaukan bangunan irama, walaupun para pemusiknya enjoy saja.

Nartosabdo adalah dalang wayang kulit (pakeliran) kontroversial pada 1970-an. Ia membongkar pakem pedalangan dengan memproduksi cerita-cerita carangan—cerita subversi dari Mahabharata dan Ramayana yang menjadi babon pakeliran. Tapi Nartosabdo tak sekadar maestro, guru, dan kiblat para dalang pada masanya. Ia juga komposer yang menjebol bentuk dan struktur gending gamelan Jawa menjadi lebih cair. Gending-gending ciptaannya menyapa pandemen gamelan secara lebih intim dan bersahaja. Ini yang menjadikan gending-gending ciptaannya dicap sebagai gending pop. Dan ia menjulang sebagai komponis yang mampu membumikan gamelan kepada masyarakat awam.

Ketika Gondrong “menziarahi” Ki Nartosabdo dengan cara menafsir ulang karya-karyanya, semesta bergetar: gending-gending Nartosabdo mengalir dalam lanskap musik urban dan milenial. Ia bernaung dalam jagat world music yang progresif dan berkarakter retro dengan perspektif luas. Jika mau ditambahkan, kesan retrospektif juga tampak pada kostum para pemain yang elegan, dengan desain berbasis kain tradisional. Pun pada desain panggung yang simbolis. Dengan ini semua, gending-gending Nartosabdo ala Gondrong memukau kaum milenial. Seperti Nartosabdo, Gunarto mencetak tanda: dalam wajah milenial, gamelan diterima generasi tanpa batas!

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus