Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bagi Navis, karya sastra bukanlah sekadar kisah pelipur lara.
Karya Navis diapresiasi secara luas dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Cerita-cerita Navis terinspirasi oeh pengalaman pribadi, kisah teman-teman, dan pengamatannya terhadap lingkungan.
LELAKI itu akhirnya sampai di rumah Masri, anak lelaki satu-satunya yang belasan tahun lalu pergi tanpa kabar. Begitu ia melangkah menuju pintu, seorang wanita paruh baya menghadangnya. “Sekarang Kau datang kemari hanya untuk merusak," ujar wanita tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iyah, wanita itu, adalah mantan istrinya yang dulu diceraikannya dalam keadaan hamil. Dari Iyah, ia tahu bahwa Masri dan Asni—menantunya—adalah saudara seayah yang kini menjadi pasangan suami-istri. Apa yang harus dilakukan lelaki itu? Tegakah ia menceraikan pasangan bahagia itu demi menjalankan aturan agama?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata, tidak. Dengan berat hati, lelaki itu pergi sambil menyimpan rahasia hubungan darah di antara kedua anaknya yang lahir dari ibu yang berbeda. ”Dan laki-laki itu melangkah dengan tenang ke muka, tapi kepalanya tepekur sebagai orang kalah,” begitu A.A. Navis menutup cerpen Datangnya dan Perginya.
Melalui cerpen tersebut, Navis menghadapkan pembaca pada persoalan pelik antara humanisme dan aturan agama. Dalam cerpennya yang lain, ia menggugah pembaca dengan membenturkan makna ibadah ritual dan sosial dalam beragama, mengolok-olok tamatan sekolah luar negeri yang tak mampu beradaptasi, serta menyindir tingkah munafik birokrat dan politikus.
Bagi Navis, karya sastra bukanlah sekadar kisah pelipur lara. Baginya, menulis karya sastra juga bagian dari pergulatan dan perjuangan intelektual. Itulah sebabnya, ia berusaha merawat sikap kritis, yang memungkinkannya mengamati dan mempertanyakan berbagai tradisi serta gejala yang berlangsung di sekitarnya. Bagi Navis, karya sastra adalah saluran untuk mengemukakan sikap, kritik, bahkan gugatan.
Karya Navis diapresiasi secara luas dalam rentang waktu yang cukup panjang. Hal itu terlihat dari penghargaan dan hadiah yang diberikan oleh berbagai lembaga serta penerbitan ulang sebagian besar karyanya. Karya Navis mencakup cerita pendek, novel, dan puisi.
Sampul buku Dermaga Lima Sekoci karya AA Navis.
Cerpennya dikumpulkan dalam lima antologi: Robohnya Surau Kami, Hujan Panas dan Kabut Musim, Jodoh, Kabut Negeri Si Dali, dan Bertanya Kerbau pada Pedati. Karya novelnya yang telah dibukukan adalah Kemarau, Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi, dan Gerhana. Sedangkan buku puisi tunggalnya berjudul Dermaga Lima Sekoci.
Pada 2005, Ismet Fanany menghimpun semua cerpen Navis—yang sudah ataupun belum dipublikasikan, hingga yang terbengkalai—dalam sebuah antologi.
Sering dilupakan orang, Navis tidak hanya menghasilkan teks sastra. Ia juga menulis Alam Terkembang Jadi Guru, buku yang menjelaskan berbagai aspek kebudayaan Minangkabau, serta mengedit makalah-makalah ilmiah dan menghimpunnya dalam satu buku berjudul Dialektika Minangkabau. Ratusan makalah disajikannya dalam berbagai forum ilmiah di sejumlah kota dan negara, yang sebagian kemudian dikumpulkan dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan.
Cerita-cerita Navis bukanlah tentang tokoh-tokoh atau tema cerita luar biasa yang fantastis. Kisah ceritanya dipenuhi manusia biasa yang ia lihat di sekitarnya, dengan segala suka-duka kehidupan mereka. Sumber-sumber yang diserap Navis memperlihatkan sikap kepeduliannya terhadap manusia di sekitarnya. Kisah dalam antologi Hujan Panas dan Kabut Musim, misalnya, dipenuhi nasib malang orang kecil di hadapan kekuasaan.
Cerita-cerita Navis terinspirasi oleh pengalaman pribadi, kisah teman-teman, dan pengamatannya terhadap lingkungan tempat ia berada. Cerpen Jodoh, misalnya, berawal dari obrolan senda gurau tentang pernikahan Hamid Jabbar bersama teman-temannya di Taman Budaya Padang. Sedangkan cerpen Anak Kebanggaan terinspirasi oleh seorang ayah yang selalu membanggakan anaknya yang sedang kuliah di Pulau Jawa. Novel Kemarau ditulis berdasarkan pengamatannya terhadap masyarakat petani di daerah Maninjau, Sumatera Barat.
Meski menyerap inspirasi dari wilayah sekitar, Navis membutuhkan waktu untuk merealisasi sebuah gagasan menjadi karya sastra. Ia selalu melakukan proses sublimasi melalui dialog, renungan, dan mengunyah berbagai fenomena yang ia amati untuk ditemukan saripatinya, berupa nilai universal yang relevan sepanjang masa. Setelah itu, barulah ia mengurai lagi nilai dan gagasan itu menjadi rangkaian cerita. Dalam proses kedua ini, pengarang mempertimbangkan sarana penceritaan yang akan digunakan untuk menyampaikan kisah. Pada tahap inilah ia menyelipkan sikap, pesan, ataupun kritiknya melalui sarana cerita yang ada; tokoh, alur, dan gaya bahasa.
Sampul buku Alam Terkembang Jadi Guru karya AA Navis.
Navis memanfaatkan berbagai unsur tekstual sebagai wadah untuk menyampaikan kritik dan pandangannya. la mempertimbangkan secara cermat berbagai teknik dan alternatif penceritaan yang efektif untuk setiap karya yang ditulisnya. Lihatlah bagaimana ia menggunakan teknik bercerita hiperbola saat menggambarkan sikap feodal pegawai pemerintah dalam cerpen Pak Menteri Mau Datang.
Seluruh kota dipenuhi kesibukan untuk menyambut kedatangan seorang menteri. Gedung-gedung direnovasi, latihan kesenian dilakukan, dan semua pegawai dilemburkan untuk keperluan itu. Kesibukan penyambutan tersebut merembet dari kantor sampai rumah tangga pejabat pemerintah. Bahkan sampai urusan persekolahan dan orang tua murid. Semua itu dilakukan untuk menyenangkan hati sang menteri.
Dalam kesibukan demikian, Pak Ayub, seorang pensiunan, datang untuk mengurus rapel gajinya. Ia datang meminta haknya karena membutuhkan uang untuk melaksanakan pesta pernikahan anaknya. Tapi orang di kantor itu sedang sibuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan Pak Menteri. Pak Ayub dioper dari satu meja ke meja lain, sampai terduduk kelelahan. Saat itulah sebuah kabar datang, Pak Menteri batal datang karena kabinet berganti.
Kemampuannya menyerap dan mengolah semua tradisi itu menjadikannya penutur cerita yang memikat. Kemampuannya dalam membangun metafora terlihat dalam cerpen Pemburu dan Serigala. Secara simbolis, ia menggambarkan nasib tragis yang dialami Soekarno, yang digambarkan sebagai seorang pemburu perkasa yang gagal dan penuh ketakutan.
Atau cara dia mendeskripsikan sosok tokoh utama yang mentereng dalam cerpen Baginda Ratu yang amat detail. Navis memanfaatkan sensitivitasnya sebagai pelukis untuk mengamati dan menggambarkan ciri dan sosok tokoh itu dengan baik. Dari bentuk tubuh, gaya berpakaian, gaya rambut, sampai ke seleranya soal kaus kaki. Navis tidak memiliki formula tertentu dalam menulis cerita. Setiap kisah memiliki formula sendiri sesuai dengan pesan yang ingin ditinggalkannya.
Perpaduan antara kepedulian, kesadaran intelektual, serta kepiawaian bercerita menjadikan karya-karya Navis unik dan memikat. Pembaca tidak hanya mengikuti kisah yang menarik, tapi juga diajak mendalami pemikiran, sikap, dan pandangan Navis mengenai berbagai masalah kemanusiaan dan kehidupan mereka dengan segala problemanya. Barangkali itulah alasan mengapa karya-karya Navis tetap relevan dan menginspirasi pembaca di berbagai masa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo