KALA binatang yang paling akrab dengan peradaban manusia. Hewan tunggangan para raja. kesatria, dan pahlawan perang itu mengisi sejarah berbagai bangsa. Dari dongeng, mitos sampai pengetahuan modern, daya kuda menjadi lambang kekuatan dan keperkasaan. Lalu menjadi lambang status. Di berbagai pelosok nusantara, tradisi berkuda dan pacuan sudah dikenal lama. Sebagai pengangkut beban di pedalaman maupun diadu di gelanggang pacuan. Juga untuk memeriahkan hari besar, pacuan kuda bisa jadi atraksi yang menarik. Tempik-sorak penonton pun lepas membahana, mengelu-elukan kuda jagoannya. Seperti itulah suasana yang terlihat di lapangan pacuan kuda Manahan, Solo, pertengahan Juli lalu. Hampir 20 ribu penonton bersorak gembira ketika trompet sangkakala ditiup pertanda pacuan dimulai. Lapangan Manahan, yang dibangun pada masa pemerintahan Sri Mangkoenagoro VII, memang sudah lama tidak digunakan. Kini, setelah dipugar, diselenggarakanlah Bengawan Solo Race, diikuti wakil-wakil dari 7 provinsi. Itulah pacuan kuda untuk menyongsong event yang lebih besar, yakni Pacuan Kuda Piala Soeharto, September nanti. Ken Dedes, kuda betina dari istal Indraprasta Mangkunegara Solo, menjuarai pacuan kelas B. Joki piawai Hari Pantouw meninggalkan lawannya menempuh jarak 1.200 meter. Dan hadiah Rp 1,5 juta jatuh ke tangan R.M.H. Didith Hamidjojosantoso, pemilik Ken Dedes. Biaya penyelenggaraan pacuan ini sekitar Rp 40 juta. "Tujuan utama adalah melestarikan pacuan tradisional dan balap kereta bendi," kata Ir. Subiyanto, pemilik Contempo Riding Club Solo yang menjadi penyelenggara pacuan kuda ini. Tujuan seperti itu tampaknya juga dipegang panitia Pacuan Kuda Pulo Mas, akhir Juli lalu. Penonton pun berjubel dari pinggir lapangan sampai ke balkon stadion. Hari Minggu itu merupakan awal dari babakan Kejurnas Pacuan Kuda XXII Soeharto Cup Seri I tahun 1988. Puncak pacuan, yang diikuti 66 ekor kuda, akan dilaksanakan 25 September nanti. Burhan Piliang & Kastoyo Ramelan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini