Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Indonesia impian, setelah 43 tahun..

Rangkuman pendapat menteri, pengusaha, pemuda, pelajar, seniman serta rakyat kecil. setelah 43 tahun indonesia merdeka, mereka memimpikan masa depan bangsa agar lebih maju, adil dan makmur.

20 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah yang mendorong suatu bangsa untuk bermimpi Pada awal tahun 1900-an sejumlah mahasiswa STOVIA Jakarta bermimpi untuk meningkatkan kesadaran bukan hanya rakyat Jawa, tapi juga seluruh rakyat Hindia Belanda. Mimpi itu terwujud. Budi Utomo terbentuk. Kesadaran nasional terpupuk dan terbentuk. Mimpi itu pun berlanjut. Bung Karno dan para pemimpin lain pun memimpikan sebuah Indonesia yang ijo royo-royo (hijau segar), yang gemah ripah loh jinawi (adil makmur), teratur, tenteram, aman, dan sentosa. Indonesia impian itu terletak di seberang "jembatan emas" kemerdekaan Indonesia, yang harus diraih dan direbut dari penjajah. Mimpi adalah hak asasi. Tak seorang pun bisa merenggut hak seseorang -- juga sebuah bangsa -- untuk bermimpi. Kini telah 43 tahun kemerdekaan kita nikmati. Apakah mimpi itu masih berlanjut? Apakah impian itu telah bergeser, berubah, atau melesat laju ke atas seperti anak panah? Di hari-hari sekitar peringatan Proklamasi Kemerdekaan ini, ada baiknya kita mencocokkan lagi perjalanan sejarah kita dan mimpi-mimpi kita tentang masa depan. Tentang sebuah Indonesia yang kita bersama impikan. B.J. HABIBIE, 52 tahun, Menteri Negara Riset dan Teknologi Impian saya adalah Indonesia yang tetap berkepribadian dan berbudaya Indonesia. Tiap orang yang dilahirkan di sini mendapat kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan, kemudian mendapat pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Yang wajar. Dalam melakukan pekerjaannya, ia mendapat penghasilan yang wajar, andil yang wajar. Jangan sampai hanya satu golongan yang menikmati. Maksud saya, kualitas hidup itu merata dan tinggi. Jumlah kematian bayi, juga ibunya, menurun. Orang-orang sama mendapatkan air minum yang sehat, makan protein yang cukup, tidak berlebihan. Dan mereka itu bisa mempersiapkan generasi mendatang. Hidup sejahtera tanpa mesti mengorbankan budaya Indonesia. WILHELMUS RUPIASA, 42 tahun, narapidana di rumah tahanan Salemba, Jakarta Kalau bisa, rakyat Indonesia ini menaati hukum dengan baik. Jangan seenaknya saja seperti apa yang saya lakukan selama ini. NYONYA EROH, 50 tahun, pemenang Kalpataru 1988 dari Desa Santana Mekar, Tasikmalaya, Jawa Barat. Semoga, jalan ke desa kami bagus, agar penyuluh pertanian tak segan datang ke daerah terpencil inl. Semoga, dibangunkan sekolah yang dekat dengan desa kami, agar anak-anak pintar. Semoga, irigasi pertanian dibangun kembali yang baik, agar kami tidak lagi menanam singkong. Mungkin, kalau desa di lereng Gunung Galunggung ini bisa dicapai listrik, desa ini akan ramai seperti kota. Demikian impian saya. L.B. MOERDANI, 56 tahun, Menteri Pertahanan dan Keamanan Saya memimpikan Indonesia yang bersatu. Yang berpegang pada nilai-nilai tradisional, nilai-nilai bangsanya sendiri. Indonesia yang berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan negara-negara lain, kalau sudah waktunya. Saya memimpikan Indonesia yang manusia-manusianya berkemampuan tinggi dan berpegang pada nilai-nilai tradisional yang sudah mengakar di kita. Lihat misalnya Jepang. Di sana orang masih tidak berubah. Mereka masih memakai kimono. Tapi apa yang nggak bisa mereka lakukan? Tentu saja kita semua menginginkan Indonesia yang adil dan makmur, bersatu, kukuh, dan sentosa. Tapi sebaiknya ini jangan diuraikan sekarang, nanti terlalu tergesa-gesa. KWIK KIAN GIE, 53 tahun, ekonom, tokoh PDI. Cukup banyak impian saya tentang Indonesia. Bagaimana bangsa ini dipimpin oleh para intelektual dan teknokrat dengan wawasan kenegaraan, bukan teknokrat dengan wawasan politik. Para politikus tidak menganggap politik sebagai percaturan ideologi yang makna rillnya hampa dan sloganistis, tetapi merupakan percaturan program kongkret dengan orientasi kepentingan rakyat banyak yang seadil-adilnya. Saya memimpikan Indonesia yang memiliki banyak negarawan yang mengemban budaya berpolitik dengan tujuan memberikan urun rembuk konsepsional dan operasional mengenai berbagai aspek pengurusan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Saya juga memimpikan para pemimpin bangsa menemukan kembali nasionalisme dan patriotisme sesuai dengan panggilan zaman sekarang, yaitu pandangan nasionalitis dan patriotis dalam membaca dan mencernakan interaksi ekonomi dan bisnis global. Lalu bermunculannya negawaran yang mampu memerangi korupsi, mampu membangkitkan rasa malu dan rasa saru untuk berkorupsi, menumbuhkan disiplin nasional, mampu menegakkan aparat yang bersih dan berwibawa, mampu mengurus urusannya sendiri dengan bersih, sehingga tidak perlu menyerahkannya kepada konsultan dan pelaksana asing seperti SGS. Impian selanjutnya: budaya mengkritik selalu disertai argumentasi yang kuat, logis, dan rasional, dan selalu diakhiri dengan jalan keluar atau alternatif pemecahan masalah. Semua pihak mau mengakui secara terbuka validitas dari kritik dan pendapat, walaupun datangnya bukan dari partai sendiri. SUMINEM, 30 tahun, penjual jamu gendong, penduduk Babakan Siliwangi, Bandung. Yang saya impikan: orang tidak semakin kaya dan memagan rumahnya tinggi-tinggi. Kalau rumah berpagar tinggi, dagangan kami sulit lakunya. Kalau tambah kaya, mereka tidak lagi membeli jamu kami. Paling, pergi ke toko mencari jamu Jago atau Jamu pabrik lainnya. TAUFIK HIDA'AT, 13 tahun, penjaja koran di perempatan Jalan Gatot Subroto-Rasuna Said, Jakarta. Saya ingin Indonesia seperti Brunei, yang seperti ditulis di majalah-majalah dagangan saya. Negaranya kaya dan teratur. Kalau Indonesia seperti itu, maka orangnya akan kaya-kaya, tidak ada penjual koran seperti saya. Artinya, saya tak perlu lagi jualan koran untuk ngasi duit sama emak. Saya bisa sekolah lagi. ARIEF BUDIMAN, 47 tahun, pengajar pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Yang ideal, Indonesia masa depan adalah terciptanya masyarakat yang sosialis dan demokratis. Dengan sosialisme tidak terjadi gap yang mencolok antara kaya dan miskin. Demokratisasi ekonomi itu perlu untuk mendukung tercapainya masyarakat yang sosialis Alat-alat produksi yang penting nantinya ada di tangan masyarakat, bukan pada pribadi-pribadi. Sebenarnya, kita harus jujur, tidak usah malu melihat pengemis. Artinya, dalam situasi sekarang diperlukan suasana kebebasan untuk berdiskusi masalah perekonomian. Founding father kita, seperti Bung Hatta, juga sudah meletakkan dasar sosialisme. Jadi, kita tidak perlu malu-malu mcmbicarakannya. DOMINGGUS MAYA, 34 tahun, transmigran teladan dari Timor Timur. Saya ingin Indonesia itu bagus sama sekali. Bapak-bapak yang besar itu memberikan rumah, alat pertanian, sapi. Saya ingin seluruh Indonesia itu seperti Jakarta. Rumah-rumah tinggi, bertingkat sampai ke surga, jalan-jalan licin seperti kaca. Ada pesawat terbang, ada mobil, ada motor. Kita melihatnya senang sekali. IDA IASHA, 25 tahun, artis. Yang saya inginkan Indonesia yang lebih mampu memberikan pemerataan di segala bidang bagi masyarakat. Tentunya saya ingin pula agar film Indonesia dapat diterima seluruh lapisan masyarakat. JUWONO SUDARSOhO, 46 tahun, pengamat politik, dekan FISIP Universitas Indonesia. Setelah setidaknya tiga Pelita lagi, media massa di Indonesia dapat diterima seluruh masyarakat. Warga masyarakat dapat mengetahui sccara umum keadaan negaranya dan juga kehidupan dunia internasional. Pada tahun 1950-1960, Jepang telah menjejali warganya dengan informasi yang tersalur melalui media massa, hingga masyarakat Jepang pada saat itu sudah mengetahui secara umum masalah internasional dan juga masalah di dalam negerinya. SOEGENG SARJADI, 46 tahun, pengusaha, bekas pimpinan KAMI. Indonesia yang saya impikan ialah negara dengan masyarakatnya yang memiliki perasaan merdeka. Merdeka sebagai manusia, merdeka dalam berpikir, merdeka berkomunikasi dengan orang lain, merdeka memilih teman, dan merdeka dalam segala-galanya tanpa ketakutan. Karena ini bicara mimpi, maka saya berbicara apa yang saya harapkan. Sekarang ini orang ketakutan merdeka untuk menjadi merdeka. HILMAN SURAWIJAYA, 24 tahun, penulis buku seri Lupus. Kalau saya, inginnya di Indonesia ini birokrasi tidak terlalu bertele-tele. Jadi, segala sesuatu bisa selesai dan lancar, tanpa uang pelicin atau uang apa, gitu. Coba aja, sekarang lihat, kita ingin pasang pesawat telepon, misalnya, sudah mendaftar bertahun-tahun, nggak juga dapat. Eh, tahunya ada orang yang berani bayar dua-tiga juta rupiah, kontan beberapa hari teleponnya sudah dipasang. Kalau caranya seperti ini, ya, kita tidak akan malu. ALI HASJMY, 74 tahun, ulama, bekas gubernur Aceh. Indonesia yang saya idam-idamkan ialah di mana kita bisa tidur nyenyak. Perbuatan yang baik bisa dipertahankan, perbuatan yang salah tidak merajalela. MAMAT, 35 tahun, penggali kuburan Menteng Pulo, Jakarta Selatan Indonesia yang saya inginkan ialah di mana saya bisa makan, bisa tidur enak, dan bisa berjoget. A.H. NASUTION, 70 tahun, jenderal purnawirawan. Mengenang tahun empat puluh lima, saya paling tergugah pada isi Pembukaan UUD 1945, yang pada waktu itu kami tempelkan di tembok-tembok.... negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Angkatan 45 telah menyelesaikan tiga kata pertama dari lima kata perjuangan dalam Pembukaan UUD 1945 itu, yakni: Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Kini perjuangan seterusnya, mewujudkan adil dan makmur itu, beralih pada bahu generasi penerus. Kuliah pertama tentang dasar-tujuan republik saya dapat pertama kali -- bersama para pejabat teras TNI -- pada September 1948, dalam kursus di Magelang, yang dipimpin langsung oleh Pak Dirman dan Wakil Presiden Hatta. Pak Hatta mengingatkan bahwa adil dan makmur tidak bisa dicapai hanya dengan pembangunan ekonomi, tapi justru terutama adalah melalui pembangunan demokrasi, penegakan kedaulatan rakyat, serta hak dan kewajiban warga negara republik. Pokoknya, kita harus membangun demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial. IWAN FALS, 27 takun, penyanyi Impian saya, Indonesia di mana saya sebagai warganya bisa mendidik anak dengan tenang, makan dengan tenang, menikmati liburan dengan tenang, pokoknya, menikmati hidup ini dengan tenang. DARMOWIYADI, 58 tahun, pengemis dari Desa Karangrejek, Imogiri, Yogyakarta. Saya menginginkan zaman yang murah sandang, murah pangan. Desa aman, tak ada pencuri, juga mudah cari kerja, hingga tak ada kelaparan. Dan anak cucu saya tak ada yang jadi pengemis. W.S. RENDRA, 53 tahun, budayawan dan dramawan. Impian saya bagaimana sekali waktu kita bisa mengembalikan komunikasi antardesa, hubungan antardesa. Tentu, sarana yang terpenting di sini ialah menciptakan teknologi alternatif. Bagi saya, dalam soal ini teknologi yang utama ialah membangun jalan antardesa, jalan antardaerah pelabuhan-pelabuhan kecil, dan sebagainya. Ini bukan lamunan romantis atau sentimental. Ini sudah terjadi di sekitar Tasikmalaya dan Klaten. Bagaimana Klaten berhasil membangun jalan antardesa dan berkembang. Mereka membuat pakaian anak-anak yang bisa dijual ke Manado, Pariaman, bahkan Singapura. Semua berkembang karena ada jalan antardesa. Listrik masuk desa semakin menyemarakkan kehidupan di sana. Saya memimpikan rakyat memiliki alat usaha sendiri, akses pasar sendiri, lalu kemudian bisa menghidupkan perdagangan antardaerah, lalu bisa menentukan sendiri apa yang dibutuhkan dan apa yang mesti dikembangkan. Kita tidak semata-mata dikonsumsikan oleh hasil pendidikan dari luar negeri. KRISTIANA DEWI KUMALA SARI, 17 tahun, anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 1988, siswa SMAN 34 Pondok Labu, Jakarta Selatan. Saya memimpikan Indonesia yang pemerintahnya memperhatikan kalangan bawah. Selama ini saya lihat kalangan bawah kurang mendapat perhatian. Pembangunan jalan tol, misalnya, apa manfaatnya bagi kalangan bawah? TITIEK PUSPA, 51 tahun, artis Mimpi saya, Indonesia yang senyum bergairah. Artinya, tidak ada masyarakat yang mengeluh atau ngoyo, dan hasil pembangunan dinikmati seluruh rakyat. Sekolah-sekolah tersedia bagi kalangan tak mampu, lapangan pekerjaan tidak sempit, sehingga tak ada sarana yang menganggur. Semua orang Indonesia menjadi pintar dan dapat bekerja sesuai dengan bidang keahliannya. TAUFIK ABDUUAH, 52 tahun, ilmuwan, peneliti LIPI. Dalam dua hal, mimpi saya sama saja dengan mimpi orang-orang lain. Yaitu tentang kemakmuran, tak ada orang yang kelaparan, cukup pakaian dan perumahan. Kemudian tentang teknologi, juga sama, hubungan komunikasi lancar dari Sabang sampai Merauke. Yang berbeda mungkin dalam lapangan kultural dan ilmu. Saya memimpikan tidak terlalu lama lagi obsesi kita terhadap ideologi berakhir, dan kita lebih memperhatikan pelaksanaan konstitusi dengan lebih baik. Obsesi ideologis ini terjadi ketika kita menjadikan negara sebagai taruhan, sehingga segala tingkah laku kita nilai dengan ideoogi, bukan dengan ketentuan hukum. Sekarang ini obsesi kita terhadap ideologi cukup kuat. Segala sesuatu ditentukan dengan dasar ideologi. Seolah segala sesuatu diukur dan dinilai dengan Pancasila saja. Dan pemerintah menentukan apakah sesuatu itu Pancasila atau tidak. Selain itu, saya memimpikan kehidupan demokrasi yang memenuhi harkat kemanusiaan, termasuk di dalamnya kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan bereksperimen dengan ide-ide, kebebasan berbeda pendapat. Setiap kebebasan memang mengandung tanggung jawab. Saya memimpikan masyarakat akedemis yang baik. Ini menuntut persyaratan tertentu, seperti kehidupan demokrasi yang baik, dan situasi kebebasan yang terjamin. Selain itu, dibutuhkan komunikasi akedemis yang baik, tidak saja sesama kita tapi juga dengan dunia luar. Sebab, ilmu tidak mungkin bersifat parochial, terbatas. GURUH SOEKARNO PUTRA, 35 tahun, pimpinan Swara Maharddhika Saya menginginkan apa yang rakyat cita-citakan, seperti negara yang adil makmur, tenteram, sejahtera, ijo royo-royo. Negeri yang bebas dari segala macam polusi. Saya menginginkan Indonesia yang mampu menjadi mercu suar, menjadi panutan dan pelopor dan mengusahakan perdamaian dunia. Dunia ini bagai sebidang tanah, penduduknya makin lama makin banyak, problemnya pun makin banyak. Saya memimpikan Indonesia mampu memecahkan problem dunia. Indonesia yang rakyatnya sehat dari segi ekonomi, moril maupun materiil. Rakyatnya bersemangat, cinta terhadap bangsanya, tapi tidak chauvinistis. MAMAN, 22 tahun, penjaja tahu Sumedang di terminal bis Cicaheum, Bandung. Kalau Indonesia, impian saya, yah, maunya sih kesempatan kerja itu merata. Seperti saya yang bukan orang sekolahan ini maunya dapat pekerjaan di pabrik. Saya juga selalu kepingin cepat makmur, terpaksa saya pasang KSOB. Tapi akibatnya jadi tambah miskin. PROFESOR. DR. MUB'ARTO, 50 tahun, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, dosen di UGM Yogyakarta Saya memimpikan terciptanya masyarakat Indonesia yang adil makmur. Artinya, kemakmuran bukan hanya dinikmati sekelompok lapisan masyarakat. Tetapi benar-benar dinikmati oleh semua lapisan dari pusat kota hingga di gunung-gunung. Untuk mencapai itu, sistem ekonomi yang paling tepat, ya, ekonomi Pancasila. Kita tak usah meniru Jepang atau Korea. Sistem ekonomi Pancasila mampu mengambil jalan tengah, tidak terlalu sosialistis dan tidak terlalu kapitalistis. Sistem ini, antara lain, menghendaki bahwa ekonomi tidak hanya ditentukan dan dipengaruhi oleh harga dan faktor ekonomi lainnya, tapi juga oleh faktor sosial dan moral. SOEDJATMOKO, 66 tahun, budayawan, bekas rektor Universitas PBB di Tokyo. Saya tidak punya impian tentang Indonesia masa depan. Yang penting untuk dipikirkan bukan masa depan, tapi masa sekarang. JAYA SUPRANA, 39 tahun, Presiden Direktur JamuJago, Semarang. Mimpi saya ialah Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Itu bisa dijabarkan dalam berbagai hal. Di bidang musik saya memimpikan musik Indonesia duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan musik dunia. Sebagai seorang humoris, saya bermimpi humor berperan lebih serius dalam pembangunan. Humor bisa menumbuhkan produktivitas. Saya memimpikan rakyat yang sakit tak usah memikirkan uang untuk berobat karena masyarakat kita punya sifat gotong royong. Setiap orang sudah membayar iuran semacam asuransi kesehatan. Dan sebagai bos Jamu Jago, saya memimpikan orang di seluruh dunia minum jamu produksi Indonesia. BOB HASAN, 57 tahun, pengusaha terkemuka. Impian saya tentang Indonesia ialah pemerataan. Orang-orang yang makmur semakin banyak. Si besar dan si kecil harus selalu punya kaitan jangan yang kecil tetap kecil. Rakyat kecil harus menikmati hidup yang baik juga. Harapan saya yang lain ialah atas stabilitas nasional kita semakin kuat. Kita bersatu menumbuhkan perekonomian kita. Kalau saya pikir pemerintah kita memang hebat. Coba lihat Filipina, ngeri, kan? Coba lihat Afrika, makan saja mereka susah. Saya mengira ekonomi rakyat kita mengalami kemajuan. Saya sering masuk ke kampung-kampung dan menanyai orang kampung, apa masih banyak maling. Mereka bilang ya, tapi malingnya tidak lagi menyambar kain di jemuran. Yang mereka sambar biasanya televisi, video, radio .... Wah, saya senang mendengarnya. Kenapa? Itu 'kan tandanya rakyat kita sudah maju. EMIL SALIM, 58 tahun, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Ada lima impian saya. Pertama, dari sudut ekonomi, kita bisa mencapai suatu struktur ekonomi yang lebih berimbang. Sekarang ini ekonomi kita menderita suatu penyakit, yaitu selalu dipengaruhi oleh guncangan ekonomi di luar negeri. Harga minyak, harga bahan mentah, dan lain-lain. Itu bisa diatasi bila struktur ekonomi kita lebih berimbang Tidak mengekspor bahan mentah tapi barang jadi. Kedua, bagaimana seluruh wilayah Indonesia yang amat luas ini bisa maju bersama. Sebab, sekarang wilayah Indonesia Timur derap kemajuannya belum setingkat dengan wilayah barat. Yang ketiga, berkaitan dengan proses demokratisasi masyarakat. Dalam hal ini demokrasi di bidang ekonomi. Hak serta pengambil keputusan ekonomi lebih tersebar luas di masyarakat, tidak terkonsentrasi pada beberapa kelompok atau orang saja. Juga demokratisasi politik. Bagaimana pengambilan keputusan tersebar lebih luas dalam masyarakat, sampai ke masyarakat bawah. Tidak saja ke DPR, tapi juga DPRD, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat. Keempat, ada pemerataan lapangan kerja dan pendidikan. Dan yang terakhir, saya impikan peri kehidupan berbangsa ini berada dalam suasana yang enak. Artinya, tidak ada kecemasan, tidak ada ketakutan untuk mengemukakan pendirian, tidak ada kecemasan untuk berorganisasi, sehingga hidup dalam republik ini adalah hidup yang penuh gairah tanpa ketakutan terhadap apa pun, siapa pun. Lebih-lebih ketakutan pada kemiskinan. TASNIM, 49 tahun, penarik becak di Bandung. Murah sandang, murah pangan, dan yang paling penting penarik becak tidak diuber-uber petugas Tibum (Ketertiban Umum) Kota Madya. Kalau masih terus dikejar-kejar seperti saya ini, berarti saya belum merdeka. Padahal, penghasilan menarik becak cuma cukup beli beras tiga liter sehari. HERMAH WIDYANANDA, 28 tahun, Ketua Umum HMI Impian saya, pada tahun 2050 masyarakat miskin di Indonesia tak lebih dari 5%. Sedang yang 95% semua sudah punya rumah walau bukan bangunan permanen. Tingkat pendidikan minimal SMTA. Pembangunan fisik tidak lagi terkonsentrasi di Jakarta. Tapi ada desentralisasi pembangunan di Irian, Sulawesi, Sumatera, dan sebagainya. SUTAH TAKDIR ALISJAHBANA, 80 tahun, budayawan, rektor Universitas Nasional. Secara nakal sering saya katakan, Indonesia ini seperti kebun binatang. Turis datang ke negeri ini melihat kita, tapi kita tidak bisa datang ke negeri mereka. Mungkin karena kita miskin. Padahal, untuk perkembangan Indonesia, kita mesti menonton orang lain juga. Malaysia punya 65.000 mahasiswa di luar negeri. Mestinya kita punya 650.000 mahasiswa yang belajar di luar negeri. Waktu muda impian saya ialah bagaimana Indonesia merdeka dan berkembang. Sekarang impian saya, Indonesia harus bisa duduk sejajar dengan negara-negara maju. Itu impian, susah, ya? SONIA DORA STOFFEL CIDRAK DIEGAS CARRASCALAO, 16 tahun, putri Gubernur Timor Timur Carrascalao, pelajar SMA di Dilli. Indonesia yang tidak bergantung pada negara luar, itulah impian saya. Misalnya, sekarang kosmetik saja masih banyak yang diimpor, seharusnya semuanya sudah kita bikin sendiri. ROSITA SYOFIAN NOER, 41 tahun, wanita pengusaha. Nah, impian saya, tiap anak Indonesia memperoleh kesempatan bersekolah hingga dapat mencapai suatu tingkat kehidupan yang layak. Suatu tingkat hidup di mana orang masih bisa menabung setelah membelanjakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan dasar, makan, memiliki tempat berlindung yang diterangi listrik dan memenuhi standar kesehatan. Kemudian mampu menyekolahkan anak paling tidak sampai sekolah lanjutan atas. PRATIWI SUDHARMONO, 36 tahun, calon astronaut. Saya, sih, pengin punya negara yang mudah dan nyaman. Nyaman dalam servis dan jasa, yah, nyaman dalam pelayanan publik. Sekarang, misalnya, lihat air minum kita, bahkan lebih jelek dari Papua Nugini. Bukan saja karena mengandung kuman yang tinggi, di beberapa tempat air susah didapat dan mengandung polutan yang tinggi. Indonesia sudah 43 tahun merdeka, kok air minum saja masih sulit. Di sini servis masyarakat jelek sekali. Memang kalau di hotel-hotel mewah, club med, servis yang baik mudah didapat. Tapi itu 'kan untuk orang kaya. Jadi, kenyamanan yang saya maksudkan adalah yang merata yang bisa juga diperoleh masyarakat lapisan bawah. Itu justru untuk memperkukuh persatuan bangsa. UMAR KAYAM, 56 tahun, budayawan. Indonesia masa depan yang saya mimpikan ialah negara yang dapat mencukupi kebutuhan masyarakatnya tanpa harus menggantungkan diri pada negara lain. Tidak hanya cukup sandang pangan, tapi prinsip-prinsip demokrasi harus dihayati dan dilaksanakan secara merata dari penguasa sampai masyarakat bawah. Bagi saya, masyarakat hidup berkecukupan itu sudah bagus. Cukupi dulu semua kebutuhan masyarakat, kalau ada kelebihan baru kita ekspor. Maka, industri yang kita dirikan hendaknya bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat. Jangan terlalu export oriented. Itu bukan berarti kita mengisolasikan diri dari dunia luar. Budaya Indonesia masa datang yang saya inginkan merupakan ekspresi kebudayaan antaretnis yang khas sebagai budaya Indonesia. Orang Jawa tidak kehilangan Jawanya, Batak tetap punya ciri budaya Batak, Minang tetap punya ciri khas Minangkabaunya. Itu bukan berarti terbentuknya budaya Indonesia yang terkotak-kotak. Tapi merupakan interaksi, akumulasi, antarbudaya etnis Indonesia. ARSWENDO ATMOWILOTO, 40 tahun, pemimpin redaksi tabloid Monitor dan majalah remaja Hai. Impian dan harapan saya, masyarakat kita tidak terkotak-otak. Ada kesadaran untuk menerima kebudayaan kita yang majemuk itu. Yang saya maksudkan bukan pembauran. Tapi masing-masing punya eksistensi. Kasarnya, keturunan Cina itu tidak usah membaur, tetapi hendaknya mereka diterima, dan mereka sendiri sudah merasa Indonesia. Saya melihat kayaknya sekarang semua mau diatur, sentralisasi, sehingga otoritas yang bisa tumbuh tidak sempat tumbuh. Misalnya halaman pers dibatasi, iklan dibatasi. Mungkin alasannya nasionalisme atau apa. Terjemahan nasionalisme saya, biarkan semuanya tumbuh dan menemukan medannya sendiri-sendiri. Kalau ada yang tidak kuat terus mati, ya, saya cenderung biarkan saja. Yang penting salah satu puncak sejarah itu ada yang jadi. Semacam hukum alamiah. Anak muda merupakan generasi paling diabaikan sekarang. Di prajurit ada Saptamarga, di Pramuka ada Dasadharma atau apa. Tapi untuk pemuda belum ada yang merumuskan. Menurut saya, ini gawat. Tak ada yang memperhatikan anak muda. Kita punya Menpora, tapi ia lebih untuk yang berorganisasi dan olah raga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus