Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPOTONG Amerika di Bandung Photography Triennale: lingkaran semerah darah segar itu bolong-bolong oleh terjangan peluru. Sebagian hampir koyak tertembus proyektil berulang kali di tempat yang sama. Tapi kebanyakan tembakan itu meleset. Lubang-lubang hitam bertebaran di bidang lingkaran putih sekitar area sasaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artefak kertas target itu dikumpulkan Jim Ramer, seniman, kurator, juga pendidik yang tinggal di New York, Amerika Serikat. Kertas target itu berasal dari Security Training Centers yang menguji kemampuan warga menembak dengan aneka jenis pistol dari jarak 25 yard atau hampir 23 meter. Dari secuil fakta itu, muncul isu kontroversi tentang izin kepemilikan senjata api oleh masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ramer menyusun wujud keresahan di negaranya itu lewat karya foto berupa sembilan kotak yang masing-masing memuat sembilan kertas target. Karya yang dari kejauhan tampak seperti kubus Rubik bergambar domino itu ia beri judul Qualifiers. “Jim membayangkan masa depan akan balik lagi ke era Wild West koboi dulu,” kata Henrycus Napitsunargo, salah seorang kurator pameran foto, Kamis, 15 September lalu.
Pameran di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, yang dibuka selama 8 September-8 Oktober 2022 itu mengawali perhelatan Bandung Photography Triennale. Dengan judul besar “Future is Now: Skepticism, New Reality, and Infinities”, tema pameran mengikat isu distopia atau bayangan buruk di masa depan. Selama dua bulan, hingga 31 Oktober mendatang, acara kelompok seniman fotografi Komvni itu bisa dilihat di beberapa galeri, kampus, dan pusat budaya.
Pengunjung melihat Qualifiers (kiri) karya Jim Ramer di pameran Bandung Photography Triennale, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, 10 September 2022. TEMPO/Prima Mulia
Gambaran muram itu dimulai dengan suguhan karya sepuluh seniman di Selasar Sunaryo dalam pameran berjudul “Dystopian Diffraction: Sign of Warning”. Selain Jim Ramer, ada Hari “Pochang” Krisnadi yang menampilkan empat lembar foto berukuran besar dengan posisi tegak dan datar. Sosok aktor pantomim Wanggi Hoediyatno muncul dengan berbagai pose tubuh yang gambarnya ditumpuk-tumpuk dalam karya berjudul The Unspoken Distress.
Menurut Henrycus, karya ini menerapkan gaya foto dinamis yang awalnya dibuat oleh fotografer Italia, Anton Giulio Bragaglia, pada 1911. Pergerakan dalam satu bingkai atau frame itu juga disertai perubahan raut wajah ke arah depresi. Adapun peralihan warna dari hitam ke putih yang mengaburkan gambar secara perlahan mengisahkan sosok yang hilang atau eksistensi seseorang pada saat ini. “Kalau enggak pernah nongol di media sosial, dunia maya, dianggap hilang. Padahal masih ada,” ucapnya.
Lavender Chang memasukkan unsur sinematik dengan kamera obscura serta durasi eksposur yang panjang. Karya fotonya yang berjudul Don't Walk In Front Of Me, I May Not Follow menjadi semacam pernyataan diri. Inspirasinya adalah sifat kucing liar yang tidak pernah mengikuti orang. Ide seniman Singapura itu muncul dari kebosanannya terhadap tren follower, situasi dan kondisi dari tatanan sistem yang melenyapkan unsur humanis.
Persoalan sistem juga disentil Lee Yong-hwan. Profesor fotografi dari Chung-Ang University, Korea Selatan, itu merangkai sejarah negaranya yang dulu adalah koloni Jepang. Hubungan kedua bangsa digambarkan dalam lima foto dokumentasi lawas seabad lalu dan foto jepretan baru dalam judul Ctrl, Shift, Enter. Foto paradoks inilah yang menurut dia mempengaruhi kondisi kini dan nanti.
Anna Kędziora dan Agus Heru Setiawan sama-sama mengungkap tanda bahaya lingkungan di masa depan. Kędziora lewat karya berjudul Herbarium from the Edge memotret berbagai tanaman yang mati di pinggir sungai di negaranya, Polandia. Adapun Agus dengan karya berjudul Museum of Dead Fishes and Sea Creatures memajang delapan foto penghuni habitat laut, seperti ikan pari, bintang laut, landak laut alias bulu babi, dan gurita. Gagasannya datang dari cerita nelayan di Pacitan, Jawa Timur, yang makin sulit mendapatkan hasil laut. “Dari sebelumnya melimpah dan berukuran besar, tiba-tiba mengecil dan jarang sekali ditemukan, seperti gurita,” kata Agus.
Pengunjung mengamati sebuah karya foto pada pameran Bandung Photography Triennale di Selasar Soenaryo Art Space, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (9/9/2022). TEMPO/Prima Mulia
Kisah tragis lain diabadikan Shiho Yoshida dengan judul Whale Under the Sand. Karya fotografer Jepang 30 tahun itu berkisah tentang perubahan yang luput dari perhatian. Di pantai dekat tempat tinggalnya yang dia lalui hampir setiap hari, ternyata ada gundukan kuburan paus yang baru ia ketahui sekitar dua setengah tahun kemudian.
Tiga seniman mempresentasikan konsep ide foto dengan balutan seni rupa dan karya instalasi. Utami Dewi Godjali lewat karya Virtual Insanity menggugat masalah keinginan dan kebutuhan manusia dari realitas di dunia nyata dan maya, yang tidak terbatas oleh aneka citra dan identitas. Foto-fotonya mewakili tiga obyek populer di media sosial, yaitu potret diri, pemandangan, dan makanan, yang ditampilkan dalam bingkai berbahan logam, photo booth, juga kotak gambar.
Adapun Sabrina Asche dari Jerman, yang menyoroti isu industri tekstil di Asia Tenggara dan Asia Tengah, mengambil kasus di Bangladesh. Peristiwa runtuhnya sebuah pabrik garmen Rana Plaza yang menelan seribuan nyawa buruhnya pada 2013 menjadi inspirasi. Lima tahun kemudian, ia merintis karyanya tentang industri garmen. Berkolaborasi dengan delapan perempuan pekerjanya, Sabrina memotret keseharian mereka selama sebulan. Ia memilih beberapa foto dari 3.000 gambar untuk dicetak sablon pada delapan helai kain. Karya berjudul Pattern, Daily itu bersanding dengan video berdurasi 32 menit dengan judul This Is Why I Have Taken the Photo.
Karya Agus Heru Setiawan berjudul Museum of Dead Fishes And Sea Creatures. TEMPO/Prima Mulia
Di sudut ruang galeri, Patriot Mukmin memajang dua karya seri berjudul Simulation #1 dan Simulation #2 tentang pandemi yang mengurung orang di kamar rumah, dunia luar hanya terlihat samar. Kedua karya yang dilapisi lensa lentikular itu merupakan citra pemandangan yang jelas hanya dari layar laptop. “Karya di sini seperti membangun tanda baru tentang keadaan dunia kita yang tidak sedang baik-baik saja,” ujar Henrycus.
Ia menyampaikan bahwa dunia telah mengalami perubahan besar-besaran di berbagai bidang sejak Revolusi Industri bermula pada abad ke-18. Pesatnya kemajuan teknologi makin tak terbendung sekaligus menghancurkan dalam dua abad terakhir. Konflik baru bermunculan, bergeser dari perang fisik ke ranah abstrak. Di sisi lain, teknologi digital telah membangun dunia maya yang berdiri di antara kehidupan nyata dan imajinasi yang cenderung melahirkan realitas dan tuntutan baru bagi keberadaan individu dan kelompok.
Program Bandung Photography Triennale 2022 juga dikuratori Asmudjo Jono Irianto. Acara ini berupaya melibatkan para seniman untuk merespons isu-isu tentang realitas baru, yakni ketidakterbatasan, juga skeptisisme terhadap masa depan ekosistem bumi, melalui media fotografi. Harapannya, karya-karya seniman itu dapat memberikan jeda waktu dan ruang berpikir yang menciptakan dialektika mengenai dampak kemajuan teknologi saat ini. Pameran ini menggelar karya 32 seniman di lima galeri utama di Bandung. Selain di Selasar dan Ruang Dini, karya mereka disajikan di Galeri Orbital Dago, NuArt Sculpture Park, dan Lawangwangi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo