Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISSU Pasere dengan dipayungi seorang pembantunya berkeliling panggung merapal doa dan mantra ruwatan bumi. Tangan kirinya memegang semacam bokor, sementara tangan kanannya mencipratkan sesuatu dengan alatnya. Akan halnya Bissu Puang Matoa mendaras mantra dengan mangkok dupanya. Setelah itu, Bissu Pajja sembari duduk juga memanjatkan doa sambil menarik selembar kain dengan kedua tangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Doa dan harapan dipanjatkan Mama Kristina yang memakai baju adat Papua. Wajahnya terlihat susah. Dia mengakhiri ritualnya yang disambut nyanyian kelompoknya dengan sedikit berlari kecil. Sebelumnya, ada Mbah Kamijan yang berpakaian adat Jawa dengan kain, surjan, dan blangkon duduk mendaras doa sembari mengatupkan kedua tangannya seperti menyembah di atas kepala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari belahan bumi Sumatera, sepasang laki-laki dan perempuan baya mendendangkan lagu harapan, “Ratok”. Suling panjang khas bumi Minang mengiringi dengan liris. Dua perempuan dari Sulawesi Selatan dan Jawa Barat sebelumnya juga melantunkan tembang harapan. Dari Kalimantan, tak ketinggalan seorang perempuan baya dengan ikat kepala bermahkota bulu duduk merapal doanya ditemani sekelompok penari.
Mereka adalah sebagian tetua dari 27 masyarakat adat Nusantara dengan ritual tradisi masing-masing. Di antaranya kesenian Dayak Bahau, tarawangsa dari Sunda, kakawin dari Bali, bissu dari Sulawesi Selatan, serta paduan suara dari Papua dan Nusa Tenggara Timur. Dengan tutur kata, nyanyian, doa, dan mantra yang mereka bawakan dalam bahasa ibu itu mereka berharap bisa membantu memulihkan bumi.
Mantra disiramkan untuk memulihkan jagat yang masih dilanda pandemi, seperti disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dalam pembukaan acara pada Selasa, 13 September lalu. Acara ritual “Ruwatan Bumi” di panggung di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, itu menjadi penutup festival seni Indonesia Bertutur 2022.
Acara ini sekaligus menjadi bagian dari serangkaian acara Presidensi G20 Indonesia. Para menteri negara anggota G20 serta delegasi negara undangan khusus dan organisasi internasional diajak menyaksikan kekayaan tradisi tutur ritual Nusantara. Sebelumnya, mereka melakukan pertemuan G20 bidang kebudayaan.
Menurut Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2022 Melati Suryodarmo, “Ruwatan Bumi” dikemas dengan melibatkan penonton seperti ritual tradisi pada umumnya. Contohnya, penonton akan ikut berdoa, menghormati leluhur. Ritual ini mengeksplorasi elemen-elemen tradisi yang kerap tak diperhatikan, misalnya vokal tradisi dari Papua. Serangkaian doa dan mantra berbaur dengan iringan musik tradisi mengantarkan suasana yang hikmat. Meski hadir dalam kemasan pertunjukan di panggung, ruwatan tradisi dan kontemporer ini menjadi oasis dari penjuru Nusantara.
“Ini kerja yang sangat kompleks. Banyak vokal tradisi yang lepas, seni bertutur bukan hanya dari pewayangan,” kata Melati.
Di panggung yang disorot cahaya berbentuk elips, para tetua adat juga didampingi lebih dari 100 pelantun tradisional Nusantara. Di sela-sela ritual, Sha Ine Febriyanti sesekali tampil sebagai narator, juga sekelompok paduan suara berpakaian putih di sisi panggung. Sepuluh perempuan menggarap “Ruwatan Bumi”. Mereka adalah Melati Suryodarmo, Shinta Febriany, Hartati, Ida El Bahra, Nyak Ina Raseuki, Gema Swaratyagita, Septina Rosalina Layan, Isha Hening, Asha Smara Darra, dan Arlin Chondro.
Warga yang tak bisa hadir di kawasan Candi Borobudur diberi akses menonton melalui saluran YouTube dan Indonesiana.tv. Sebagian memberi apresiasi melalui kolom komentar karena mereka bisa mengenal beragam ritual meruwat bumi dari berbagai daerah.
Sehari sebelum “Ruwatan Bumi”, para delegasi disuguhi penampilan orkestra 70 musikus dari negara-negara anggota G20 dengan konduktor Eunice Tong dan pengarah artistik Ananda Sukarlan.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo