Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Amadeus Driando Ahnan-Winarno berambisi mempopulerkan tempe ke mancanegara.
Amadeus Driando mendirikan lembaga nirlaba Indonesian Tempe Movement bersama ibu dan kakeknya.
Amadeus Driando mendirikan perusahaan rintisan Better Nature di Inggris bersama tiga temannya.
RASA gemas tumbuh di dada Amadeus Driando Ahnan-Winarno setelah mendengar omongan teman-temannya di kampus perihal tempe. Mereka mengatakan tempe hanya makanan murah, makanan orang tidak mampu, dan lauk-pauk bagi orang yang tidak sanggup membeli daging sapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya sadar ada suatu paradigma bahwa tempe, walaupun secara ilmiah sehat dan ramah lingkungan, memiliki image negatif, makanan kuno, enggak keren,” kata Ando—sapaan akrab Amadeus Driando—kepada Tempo di rumahnya di Bogor, Jawa Barat, Kamis, 6 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bertolak dari kegemasan itulah doktor ahli pangan lulusan University of Massachusetts-Amherst, Amerika Serikat, ini tertarik mengangkat tempe agar tidak diremehkan. Lewat Indonesian Tempe Movement, lembaga nirlaba yang didirikannya bersama ibu dan kakeknya, Ando hendak mempopulerkan tempe sebagai makanan keren dan berkelas serta diakui dunia.
Ketertarikan pria yang lahir di Bogor, 4 November 1992, ini pada tempe terjadi pada sekitar 2014. Saat itu Ando yang tengah kuliah di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, terobsesi membuat tubuhnya lebih berotot. Dia mencoba berbagai makanan untuk menambah asupan protein. Dari daging sapi, ayam, telur, hingga susu rutin ia konsumsi. Termasuk susu untuk bodybuilding. “Waktu itu saya berpikir, kalau mengkonsumsi itu semua bisa bangkrut, karena mahal buat saya,” ujarnya.
Mahasiswa program studi bioteknologi ini pun menjelajahi berbagai literatur untuk mencari alternatif sumber protein. Ando terperangah ketika mengetahui ternyata tempe memiliki nilai gizi yang baik. Menurut dia, protein dan energi yang dihasilkan dari sapi dan tempe setara. Adapun serat dan kalsium yang dikandung tempe lebih tinggi dari daging sapi. Adapun kandungan lemak dan garam pada tempe lebih rendah dari daging sapi. Harga tempe juga lebih terjangkau.
Amadeus Driando, Founder Tempe Movement , di laboratoriumnya di Bogor, Jawa Barat, 6 April 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
Saat itulah Ando memutuskan membentuk ototnya dengan mengkonsumsi tempe. “Saya senang karena ototnya progres, lemaknya sedikit,” tutur pria 30 tahun yang bertubuh ramping ini.
Sejak saat itu, Ando pun kian tertarik pada tempe. Hingga suatu hari ia bersama ibu dan kakeknya, yang berlatar belakang pendidikan ilmu pangan, membahas tempe yang memiliki keunggulan gizi itu untuk diperkenalkan lebih luas lagi. Kemudian mereka pun menggelar konferensi bertajuk “International Conference on Tempe” dan “International Youth Conference on Tempe” di Yogyakarta pada 2014. Ilmuwan, pejabat pemerintahan, perajin tempe, dosen, dan pengusaha berkumpul. Peserta juga datang dari Jepang, Polandia, Belgia, Amerika Serikat, dan Australia. “Dari situ kita sadar, lho, ternyata orang-orang itu tertarik ya sama tempe,” tutur Ando.
Dari pertemuan itu kemudian lahir ide membuat organisasi nirlaba yang bertujuan mempopulerkan tempe di tingkat nasional hingga global. Maka Ando bersama ibunya, Wida Winarno, dan kakeknya, Florentinus Gregorius Winarno, berinisiatif mendirikan Indonesian Tempe Movement pada 15 Februari 2015.
Pada langkah awal, Indonesian Tempe Movement mengedukasi masyarakat melalui media sosial. Lalu mereka mengadakan pelatihan pembuatan tempe ramah lingkungan dengan mengurangi konsumsi air, waktu pemasakan, dan menggunakan hasil fermentasi lokal untuk mempersingkat waktu.
Selain itu, ada pembinaan produksi tempe kepada sejumlah kalangan masyarakat, termasuk pembinaan kepada anak-anak putus sekolah. Harapannya agar masyarakat bisa membuat makanan sendiri dan menjadi lahan bisnis. Lembaganya juga mendukung pemanfaatan bahan baku lokal untuk pembuatan tempe, contohnya dari petani lokal di Grobogan, Jawa Tengah.
Tempe Movement banyak melakukan diplomasi pangan ke sejumlah negara. Hingga kini lembaga tersebut telah berkolaborasi dengan 13 negara dan terdaftar sebagai Non-Profit Organization di Amerika Serikat.
LULUS dari Universitas Atma Jaya, jalan Ando untuk mendalami tempe kian terbuka ketika ia menempuh studi program doktor di University of Massachusetts-Amherst, Amerika Serikat, pada 2015. Awalnya, penelitian tempe yang dia ajukan untuk disertasi diragukan oleh pembimbingnya. Dia justru ditawarkan meneliti buah berry karena ada banyak karya ilmiah mengangkat obyek itu. Alasan pembimbingnya, bukti ilmiah dari penelitian buah berry sudah dilakukan puluhan tahun dan diteliti banyak ilmuwan.
Namun tawaran pembimbingnya itu tak menggoda Ando. Ia tetap berkeras ingin meneliti tempe. “Ngapain saya jauh-jauh ke Amerika meneliti makanan yang populer di Amerika?” katanya.
Aneka jenis kacang-kacangan yang bisa diolah menjadi tempe. Dok. Amedeus Driando
Saat itulah Ando menghabiskan waktunya di laboratorium untuk meneliti tempe. Untuk kajian disertasi, ia meneliti pengaruh tempe terhadap sel kanker dari hewan, tikus, dan manusia. Sel-sel tersebut di laboratorium dia bandingkan dengan diberi makan ekstrak kedelai dan ekstrak tempe. Hasilnya konsisten bahwa, setelah jadi tempe, ekstrak ini makin kuat menghambat pertumbuhan sel kanker.
Hasil uji laboratorium yang menyatakan tempe mengandung potensi antikanker membuat pembimbingnya tertarik. “Saya kasih lihat pembimbing, ternyata jauh lebih menarik daripada buah berry,” ucapnya.
Ando menjelaskan, potensi antikanker itu makin baik ketika bahan tempe difermentasi. Hasil penelitian itu pun membuat dia makin gigih berkeliling ke sejumlah negara untuk memperkenalkan tempe. Bagi dia, hasil penelitian tentang manfaat kesehatan tempe itu perlu diketahui orang banyak.
Maka, bersama konsulat dan kedutaan RI di berbagai negara, Ando pun meluaskan kampanye tentang tempe ke berbagai negara. “Waktu saya travelling di Amerika atau Eropa, itu kesempatan mempromosikan tempe,” tuturnya.
Saat di New York, Amerika Serikat, Ando menambahkan, kampanye dilakukan dengan memberikan penjelasan tentang manfaat tempe dari segi kesehatan serta keunggulannya yang ramah lingkungan dan harganya terjangkau. Kegiatan itu melibatkan komunitas seniman, bisnis makanan, dan fashion.
Ando menerangkan, selama di Amerika Serikat, kegiatan serupa juga berlangsung di San Francisco. Adapun di Chicago, kampanye tempe dilakukan dengan mengadakan workshop demo membuat dan memasak tempe. Kegiatan itu melibatkan masyarakat Chicago, seperti guru, mahasiswa, juru masak, dan petani.
Lain lagi di Oregon. Kegiatan memperkenalkan tempe itu melibatkan sejumlah mantan narapidana. Hasil dari kampanye tempe itu kemudian menghasilkan sebuah terobosan dengan berdirinya cabang Tempe Movement di Oregon. “Sudah menjadi lembaga nonprofit di Amerika,” kata Ando.
Selain berkampanye, Ando mempublikasi hasil riset ke jurnal dan kajian paper. “Kajian paper itu semacam kitabnya. Semua informasi penelitian tentang tempe saya rangkum jadi satu. Supaya orang mau cari tahu bukti nyata tempe benar-benar sehat, ramah lingkungan, terjangkau. Buktinya ada di satu kitab,” katanya.
Amadeus Driando, Founder Tempe Movement , saat mengadakan workshop pembuatan tempe di Chicago, Amerika Serikat. Dok. Amadeus Driando
Menurut dia, kandungan energi, protein, dan zat besi dalam daging sapi dan tempe setara. Namun serat dan kalsium tempe lebih tinggi dari daging sapi. Adapun lemak jenuh dan sodium tempe, dia mengimbuhkan, jauh lebih rendah dari daging sapi.
Dari sisi lingkungan, Ando menambahkan, tempe juga lebih ramah lingkungan. Misalnya, jika karbon dioksida dalam 1 kilogram daging sapi dilepaskan bisa menghasilkan 5 gram protein. Adapun tempe dapat menghasilkan sekitar 160 gram protein. “Jadi sebetulnya tempe 12 kali lipat lebih ramah lingkungan dari segi efek gas rumah kaca yang dikeluarkan,” ujarnya. “Harga tempe juga delapan kali lipat lebih murah dibanding daging sapi.”
Selain publikasi karya ilmiah, Ando berencana menulis buku rangkuman semua penelitian tentang tempe. Isinya, kata Ando, memuat sejarah tempe, manfaat kesehatan, efek lingkungan, keterjangkauan, potensi inovasi, serta regenerasi di seputar tempe. Tujuannya agar semua tentang hal tempe mudah diakses. “Saya ingin dengan membuat kitab tempe ini semua informasi jadi lebih mudah diakses. Semoga buku ini bisa dirilis akhir tahun.”
SELAIN Indonesian Tempe Movement, Ando mendirikan perusahaan rintisan Better Nature Ltd di Inggris pada 2018. Perusahaan rintisan itu menjual tempe sebagai makanan nabati atau vegan yang lezat dan keren. Better Nature telah menerima lebih dari lima penghargaan di tiga negara yang berbeda sebagai salah satu start-up unggulan dunia.
Ando menuturkan, Better Nature lahir dari sebuah kompetisi yang dia ikuti di Trinity College, Cambridge University, Inggris, pada 2018. Kompetisi itu menyeleksi 100 karya di bidang bioteknologi. Ide dari setiap karya itu yang dikompetisikan. Para pesertanya terdiri atas mahasiswa dan pekerja.
Presentasi Ando yang menjelaskan proses pembuatan tempe yang bisa dilakukan dengan mudah di negara empat musim langsung mendapat tanggapan baik dari para juri. “Idenya waktu itu saya ingin mendesentralisasi produksi protein,” katanya.
Ando keluar sebagai juara pertama. “Waktu itu saya lagi belajar 3D printing, percobaan membuat alat pembuat tempe menggunakan mesin cetak tiga dimensi. Jadi saya bereksperimen membuat alat yang bikin tempe jadi gampang,” tuturnya. “Gagasannya adalah alat yang diciptakan itu bisa digunakan untuk memudahkan orang membuat tempe di negara empat musim.”
Dari situ, Ando menambahkan, ia ditantang para juri untuk membuat perusahaan. Tantangan itu sempat membuatnya deg-degan. Alasannya, selama di Amerika ia hanya melakukan riset tentang tempe yang berpotensi mengurangi kanker. “Tapi saya pikir, ah, kapan lagi?” ujarnya.
Sejak memenangi kompetisi di Trinity College, Ando mulai berpikir memperkenalkan tempe lebih luas dengan citra tempe yang tampak keren di tengah gelombang veganisme yang meningkat di Inggris. “Tidak mau memakan daging, jadi tempe ini cocok banget,” ucapnya. Dengan bantuan dana sebagai hadiah kompetisi itu, berdirilah Better Nature untuk memasarkan produk tempe yang relevan.
Ando menggagas perusahaan rintisan itu bersama tiga rekannya dari berbagai negara. Better Nature didirikan oleh empat orang dari latar belakang negara dan keahlian berbeda. Mereka adalah Ando sebagai ilmuwan pangan dari Indonesia; Christopher Kong, ahli biokimia dan bisnis asal Hong Kong-Australia; Fabio Rinaldo, ahli sains dan nutrisi asal Italia; serta Elin Roberts, ahli psikologi asal Wales.
Di perusahaan rintisan ini keempatnya berbagi tugas dan peran. Ando sebagai pakar sains, Kong di bidang bisnis, Rinaldo untuk produk, dan Roberts di bidang pemasaran tempe. Nama “Better Nature” diambil dari pidato mantan presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, yang berarti hati nurani. “Jadi ini membuat sesuatu yang alami menjadi lebih baik lagi. Seperti fermentasi tempe,” kata Ando.
Menurut Ando, Better Nature boleh dibilang evolusi dari Indonesian Tempe Movement. Pendanaan edukasi tempe didapat dari penggalangan dana serta penjualan buku dan kaus. Di luar negeri pun workshop tentang tempe kerap mendapat dukungan dari kedutaan besar.
Ando menjelaskan, berbagai langkah mengenalkan tempe di pasar vegan di mancanegara belum ditangani dengan serius. “Saya melihat keterbatasan Tempe Movement di sini,” tuturnya.
Keterbatasan itu ada pada riset ilmu dan teknologi. Menurut dia, riset ilmu dan teknologi membutuhkan kolaborasi lintas bidang. Dari situ dia dan tiga rekan lainnya mendirikan Better Nature. “Kita tidak bisa melakukannya sendiri. Harus provokasi orang lain memasarkan tempe di pasar makanan global,” ujarnya. Maka, bagi Ando, mendirikan perusahaan retail seperti Better Nature merupakan jawaban atas cita-cita Tempe Movement mempopulerkan tempe ke seluruh dunia.
Tak hanya itu. Saat ini Ando masih memendam sejumlah keinginan yang belum tercapai. Salah satu target yang belum tercapai dari upaya mengenalkan tempe ke dunia global adalah mendapat pengakuan dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai Warisan Budaya Tak Benda. “Harapannya tahun depan tempe mendapat pengakuan UNESCO,” tuturnya.
Ando menambahkan, salah satu dukungan untuk mendapat pengakuan itu adalah pusat penelitian tempe. “Ini sedang digarap,” ucapnya. Dia berharap bisa mendirikan pusat penelitian tempe yang besar. Rencana itu bertujuan memajukan penelitian tempe di Indonesia.
Menurut dia, riset tentang tempe sangat potensial karena sudah dilakukan studi populasi, studi manusia, dan studi pada hewan. Tapi tingkat kedalaman riset masih kalah dibanding riset buah berry dan susu. “Jadi saya ingin kedalaman riset tempe bisa bersaing dengan makanan yang populer di seluruh dunia,” katanya.
Dengan begitu, cita-citanya membawa tempe dikenal secara global tak sia-sia. Nanti tempe bisa ditemukan di kota-kota besar di dunia. “Dan saya harap di setiap kota besar di dunia ada tempe. Mau perajin lokal, supermarket Asia, Eropa, atau Amerika, itu ada tempe,” tutur pria yang menggemari lari maraton ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo