Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Film

Kisah Pasang Surut Festival Film Indonesia dari 1955

Festival Film Indonesia telah melampaui berbagai kondisi yang menantang pada masanya. Mulai dari kuantitas film, juri, sampai unsur penilaiannya.

24 November 2019 | 19.22 WIB

Suasana Peluncuran Festival Film Indonesia 2019 di Jakarta, Senin malam, 23 September 2019. Penghargaan Piala Citra tahun  ini mengusung tema #FilmBagusCitraIndonesia. TEMPO/Nurdiansah
Perbesar
Suasana Peluncuran Festival Film Indonesia 2019 di Jakarta, Senin malam, 23 September 2019. Penghargaan Piala Citra tahun ini mengusung tema #FilmBagusCitraIndonesia. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Festival Film Indonesia akan berlangsung pada Minggu, 8 Desember 2019. Acara ini merupakan ajang penghargaan tertinggi bagi dunia perfilman di Indonesia. "FFI menjadi benchmark atau tolok ukur film Indonesia yang berkualitas," kata Totot Indrarto dari Komunikasi FFI 2019 saat berkunjung ke kantor Tempo pada Minggu, 24 November 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pada kesempatan itu, Totot menceritakan pasang surut Festival Film Indonesia yang bermula pada 1955. Dalam sejarahnya, Festival Film Indonesia dipelopori oleh Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik. Dalam perkembangannya, festival film ini sempat terrhenti beberapa tahun. Festival mulai dilaksanakan secara teratur mulai 1973.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemudian terhenti lagi di 1992 hingga 2004. "Pada saat itu geliat film Indonesia sedang turun, karena tidak banyak penonton yang ke bioskop lantaran kualitas film yang disajikan begitu-gitu saja," ujar Totot.

Pada masa keterpurukan film Indonesia, Totot mengatakan setidaknya hanya ada lima judul film Indonesia yang diputar di bioskop dalam setahun. Gebrakan di industri ini dimulai ketika hadirnya sineas yang memang belajar film di sebuah institusi, seperti Garin Nugroho, yang menawarkan hal baru.

Totot Indrarto (Komite Komunikasi). TEMPO/Nufus Nita Hidayati

Totot menjelaskan, tokoh perfilman lama Indonesia umumnya bermula dari seni teater. Sebagian besar mereka tidak mengenyam pendidikan khusus film secara formal. Mereka membuat film secara otodidak, seperti Teguh Karya yang memang memiliki bakat yang luar biasa. "Film itu bagaimana keterampilan membuat naratif. Kalau bahasa film, bagaimana sutradara menyampaikan pesan dari sinematografi yang ia arahkan," tutur Totot Indrarto.

Petualangan Sherina, kata Totot, termasuk salah satu penggebrak bangkitnya film Indonesia. Setelah film itu meledak, banyak sineas yang bersemangat untuk memproduksi film-film Indonesia. Terlebih di tahun 1990-an, jaringan bioskop 21 mulai berekspansi membuka layar.

Menggeliatnya industri film Indonesia, sejalan dengan transformasi yang dilakukan oleh FFI. Perubahan tersebut juga membuat ekspertis perfilman kian banyak. Totot mengatakan, di tahun 1970-an juri FFI kebanyakan diambil dari orang-orang yang dianggap mengerti budaya.

Wujud Piala Citra yang akan diberikan kepada para pemenang Festival Film Indonesia 2017/ foto: Humas FFI 2017

Padahal, Totot melanjutkan, dalam menilai sebuah film, ada banyak unsur yang harus dilihat, salah satunya teknik proses pembuatannya. Mereka yang menjadi juri pada masa 1970-an, ujar Totot, memang mengerti budaya, tapi tidak memahami pengetahuan film dari segi teknis dan estetika. "Tahun 2000-an jurinya mulai dicampur, muncul pelaku film yang menjadi juri," ucap dia.

Transformasi penilaian FFI sejalan dengan kualitas film yang dibuat oleh para sineas Indonesia. Totot menjelaskan, penilaian film di FFI memiliki dua fungsi, yaitu sebagai wadah untuk evaluasi dan menentukan tolok ukur kelayakan film Indonesia.

Penilaian FFI 2019 menambahkan unsur keberagaman untuk masuk dalam penilaian. Totot mengatakan, keberagaman menjadi penting karena sekarang banyak terjadi pergolakan di masyarakat, terutama perlakuan diskriminatif terhadap suatu kelompok. "Film-film yang tidak menjunjung tinggi kebergaman otomatis tidak akan lolos seleksi FFI," kata dia. "FFI bukan kontes kecantikan."

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus