Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Slamet Rahardjo, aktor senior Tanah Air mengingatkan agar masyarakat tidak membandingkan film yang diproduksi pada zaman dulu dengan buatan masa kini. Menurut Slamet, perbandingan semacam itu tidak adil karena ada perbedaan yang signifikan baik dari segi pendekatan hingga aspek artistik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyoroti bagaimana para sineas muda berhasil mengangkat cerita-cerita lokal yang terinspirasi dari kehidupan masyarakat di kampung halaman mereka, menjadikannya sebuah narasi yang segar dan menarik. “Zaman saya dulu itu lebih didramatisasi, stamboel,” ujarnya saat ditemui di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Kamis, 26 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktor kelahiran 1949 itu bercerita, di masa lampau, estetika film banyak dipengaruhi oleh konvensi teater, yakni penyajiannya langsung di hadapan penonton. Namun, kini para sineas mulai menjelajah dan menawarkan bentuk-bentuk artistik yang lebih beragam.
Kamera, Problem Baru dalam Sinema Modern
Slamet juga menyoroti perkembangan teknologi kamera yang sangat berbeda dengan era perfilman sebelumnya. “Dengan masa sekarang, berbeda. Kamera berbeda,” ungkapnya. Ia menilai, kamera bukan sekadar pengganti mata penonton. Perkembangan teknologi dalam produksi film, terutama kamera, menurut Slamet, telah membuka peluang baru sekaligus tantangan tersendiri bagi para pembuat film.
Aktor film Di Balik Kelambu (1983) itu bercerita, zaman dahulu, tanpa monitor dan seluloid yang harus didatangkan dari luar negeri, keterbatasan justru memunculkan kreativitas yang luar biasa. “Sekarang, dengan fasilitas yang luar biasa, saya tantang pembuat film generasi baru untuk membuat karya yang bagus. Jangan malas,” kata Slamet.
Festival Film sebagai Pencarian Narasi Kehidupan
Slamet juga menyampaikan pandangannya tentang peran penting festival film dalam dunia perfilman. Ia menyebut festival sebagai ajang yang dibuat oleh orang-orang cerdas untuk merayakan keramaian. Bagi Slamet, film merupakan medium yang efektif untuk memahami dan merepresentasikan kehidupan.
Adapun tema Festival Film Indonesia (FFI)2024, Merandai Cakrawala Sinema Indonesia, menurutnya, selaras dengan tujuan tersebut. “Merandai, istilahnya adalah mari kita memahami kehidupan, mendendangkannya, memfungsikan, dan memfilmkan kehidupan,” ujar Slamet.
Tahun ini, Slamet Rahardjo didapuk sebagai Duta FFI 2024 bersama Dian Sastrowardoyo, Kamila Andini, Lutesha, dan Bryan Domani. FFI 2024 kini memasuki tahap penjurian awal dengan 105 film yang diajukan. Setelah seleksi, terpilih 30 film yang akan bersaing memperebutkan Piala Citra. Nominasi akan diumumkan pada 17 Oktober 2024, sedangkan malam puncak penghargaan digelar 20 November 2024.