Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kisah Perempuan-Perempuan Perkasa

Protes sosial tidak harus selalu tampil menyeramkan. The Bremer Tanztheater membuktikannya dengan menyindir sekaligus menghibur.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Bremer Tanztheater
Gedung Kesenian Jakarta, 1-2 Oktober 1998
Komposisi: Frauenballet; Heisse Luft; Also Egmont, Bitte
Koreografer: Susanne Linke
Penata laku: Waltaut Korver
Penari: Ditta Miranda, Marion Amschwand, dll.

Ketika tirai terbuka, aroma Jerman itu tercium. Tujuh penari menyeberangi panggung. Gerakan ini seperti mencerminkan sifat khas bangsa Jerman yang determinatif: energetik sekaligus liat. Mereka, lima wanita dan dua pria yang semuanya berpakaian dalam wanita, menendang, memilin, membanting kain sepanjang pertunjukan dengan gerakan yang kukuh namun luwes.

Rangkaian adegan ini tampil dalam Frauenballet yang menjadi pembuka pertunjukan The Bremer Tanztheater dari Bremen, Jerman. Tanztheater adalah sebutan populer untuk bentuk tari Jerman kontemporer. Istilah ini diperkenalkan oleh Tom Schilling, koreografer utama di The Komischen Oper di Berlin pada 1930-an. Penerusnya adalah Kurt Joss, pendiri sekolah tari terkenal di Folkwang School, Essen. Bentuk yang dikembangkan Joss adalah perpaduan balet dan kaidah-kaidah tari baru. Fase-fase drama juga diekspresikan dalam bentuk karya ini.

The Bremer yang hadir di Jakarta sebagai wakil Jerman dalam Art Summit II kali ini adalah penerus tradisi ini. Selain Frauenballet, kelompok ini juga mengusung dua komposisi lain, yaitu Heisse Luft dan Also Egmont, Bitte.

Antusiasme publik tari di tanah air bisa dilihat dari lubernya penonton. Tiket ludes. Pada hari kedua, puluhan orang mengeluh kehabisan karcis. Ini memperlihatkan betapa besar daya tarik kelompok ini. Di situ ada Ditta Miranda, penari jelita asal Indonesia yang bergabung dalam The Bremer. Selain itu, sebagai tontonan, tampaknya Tanztheater memang lebih menghibur ketimbang program lainnya.

Namun, bukan berarti pertunjukan The Bremer kehilangan daya sengat. Susanne Linke, sebagai koreografer utama, mampu mengemas protes secara cair. Dalam Frauenballet, Linke menyodorkan fakta posisi perempuan pada umumnya yang kurang dihargai hanya karena lebih banyak melakukan pekerjaan rumah tangga. Dalam ekspresi seni, kondisi seperti ini biasanya muncul dengan nuansa kemarahan yang pekat. Linke melakukan hal yang sebaliknya. Ia menyajikannya dengan humor.

Walau kepahitan melilit, perempuan tetap terlihat perkasa sekaligus jenaka. Dominasi lelaki diejek dengan munculnya dua lelaki gaek yang usil tapi serba loyo. Sementara itu, pemilihan dua penari laki-laki yang mengenakan pakaian wanita barangkali adalah keinginan Linke untuk mengutarakan bahwa ketertindasan--tak peduli siapa pun yang mengalaminya--identik dengan nasib perempuan. Ide ini akan mengingatkan kita pada salah satu lagu John Lennon, Woman Is The Niger of the World. Dalam nomor ini, Ditta juga tampil menarik dengan menyajikan potongan-potongan gerakan yang mirip dengan idiom gerak dalam tari Jawa, seperti mendak dan rampokan.

Heisse Luft lebih kocak lagi karena ia menyajikan serangkaian sindiran sepanjang komposisi itu. Oleh Linke, orang-orang yang suka pamer digambarkan bagai badut-badut yang menyedihkan. Unsur pertunjukan yang menonjol dari Heisse Luft adalah eksplorasi kain secara maksimal.

Sayangnya, keceriaan itu membawa akibat yang serius. Stilisasi, yang seharusnya muncul cukup lama sebagai kelaziman dalam tari, tidak terjadi dalam Heisse. Dalam Frauen, pengulangan stilisasi itu justru terasa berlebihan. Kelemahan lain adalah musik yang kurang rapi digarap sehingga terkesan hanya tempelan.

Keceriaan yang menjadi gaya Linke sebenarnya agak bertolak belakang dengan tradisi Tanztheater pada era kebangkitannya kembali di akhir tahun 1960-an. Dengan latar belakang gerakan mahasiswa yang tengah marak, pesan-pesan politik muncul dalam karya koreografer muda saat itu. Realisme sosial terasa dicangkokkan dengan kental. Alasannya, bagi para koreografer, tari saja tidak cukup. Maka, publik tari Jerman pun heboh dengan tontonan yang tidak lazim ini.

Ketika Susanne Linke hadir pada 1970-an, bentuk kesenian seperti Tanztheater sudah tidak begitu mengejutkan lagi. Di sisi lain, kondisi sosial politik di negara panser tersebut relatif stabil. Barangkali kondisi seperti inilah yang membuat karya Linke tampil lebih riang dibandingkan dengan karya sejenis pada era sebelumnya. Itu belum tentu sebuah terobosan, tetapi bukan pula sebuah dosa.

Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus