Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di layar hitam-putih yang menjadi latar belakang panggung, dunia Odysseus tergelar. Tokoh klasik dalam mitologi Yunani, Odyssey, karya Homer itu tak kunjung pulang dari medan Perang Troya. Sedangkan keluarganya di rumah dikelilingi kawanan serigala berkulit manusia, yang siap mencaplok harta dan istrinya.
Di depan layar, Nicholas Rawling dan Imogen Charleston bergantian mendalang dengan memainkan wayang dari kertas di depan empat unit handycam yang diletakkan di tempat berbeda. Gambar yang ditangkap kamera kemudian ditembakkan oleh proyektor ke layar di tengah panggung, membentuk imaji dunia Odysseus.
Aksi Rawling-Charleston itu diiringi alunan musik yang dimainkan Christopher Reed (gitar), Hazell Mills (piano), dan Katherine Mann (violin). The Paper Cinema, yang menampilkan lakon Odyssey, menjadi pembuka Helateater Salihara, festival teater yang digelar setiap Jumat-Sabtu sepanjang Maret-April 2014. Kelompok yang didirikan trio Rawling, Charleston, dan Reed pada 2004 itu mengawinkan animasi, musik, dan teater wayang, yang dieksekusi secara langsung di atas panggung. Mereka menyebut pertunjukannya sebagai live cinema.
Selain tampil di Salihara, The Paper Cinema menggelar pentas di hadapan ratusan penonton di gedung Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta, Senin malam pekan lalu. Pertunjukan sepanjang 70 menit itu dibuka Rawling dengan menggambar wajah Odysseus, sang Raja Ithaca dari Yunani, pada selembar kertas. Gambar itu dipantulkan dengan proyektor dan lampu sorot pada langit-langit ruangan ke layar. Sesekali Rawling mencelupkan ujung penanya ke dalam gelas berisi air separuh untuk membuat efek gambar lain: menebalkan gambar atau memulasnya. Saat ia asyik menggambar, deretan huruf bertulisan "Odysseus King & Hero" tiba-tiba muncul membayangi lukisannya.
Hal yang sama terjadi saat Rawling menggambar wajah Penelope, istri Odysseus; Telemachus, anak Odysseus; dan serigala sebagai penggambaran orang-orang yang berlomba melamar Penelope saat ditinggal Odysseus ke medan Perang Troya. Sebuah sajian pembuka berupa pengenalan karakter para tokoh laiknya di film-film.
Aksi Rawling tak berhenti sebatas menggambar. Dia kemudian berpindah tempat duduk berdampingan dengan Charleston. Keduanya mulai mendalang. Mereka memainkan wayang-wayang kertas tanpa rangka itu dalam tiga babak: tentang keluarga bahagia Odysseus-Penelope hingga kepergiannya berperang, kisah pencarian Odysseus oleh Telemachus, dan kisah perjuangan Odysseus kembali ke pelukan istrinya.
Pertunjukan teater wayang kertas itu berlangsung tanpa dialog, tanpa sinopsis, dan mayoritas menyuguhkan gambar hitam-putih. Pergelaran hanya mengandalkan aneka bunyi, gerak gambar, dan ekspresi gambar itu sendiri.
Menurut Rawling, untuk mempersiapkan pertunjukan itu, mereka membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Yang paling banyak menyita waktu adalah proses pembuatan wayang, yang jumlahnya lebih dari 200 buah. Semuanya dilukis sendiri oleh Rawling di atas kertas secara manual. Wayang yang dibuat bermacam-macam, dari gambar para tokoh dalam berbagai ekspresi dan pose hingga wayang yang memperkuat setting lakon, seperti gambar kastil, hewan, petir, awan mendung, dan pepohonan di hutan.
"Saya membuatnya dalam bentuk hitam-putih karena lebih mudah pengerjaannya," ujar Rawling. "Gambar hitam-putih juga lebih mudah ditangkap bentuknya oleh penonton dalam berbagai kondisi pencahayaan apa pun." Meski wayang-wayang berbahan kertas itu berwujud dua dimensi, ilusi efek kedalaman pada gambar tiga dimensi pun bisa dihasilkan dengan menyesuaikan jatuhnya cahaya dan cara memainkan sang wayang.
Ratnaning Asih (Jakarta), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo