Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tatkala pemenang Bandung Contemporary Art Awards 2015 (BaCAA#4) pada malam, 25 September lalu, diumumkan Lawangwangi Creative Space, Bandung, wajah Harits Rasyid terlihat linglung. Dia tidak menyangka malam itu diganjar anugerah tertinggi yang akan mengantarkannya ke program residensi seniman di Center Intermondes, La Rochelle, Prancis, selama dua-tiga bulan. Harits masih belia dan baru saja lulus dari Studio Intermedia Institut Teknologi Bandung. Tapi tim juri—Asmudjo J. Irianto, Carla Bianpoen, Edouard Mornaud, Michael Janssen, dan Wiyu Wahono—menilai karyanya, Mengenang Khem, cukup pantas.
Ditata layaknya museum, Mengenang Khem (2015) adalah fiksi tentang aktivis gay bernama Khem yang gigih memperjuangkan hak-hak kaumnya. Sepotong kamera, buku, catatan harian, baju, dan dokumen foto tampil sedemikian rupa layaknya museum perjuangan si Khem. Mengenang Khem, dalam beberapa hal, menawarkan sejarah mikroskopis, yaitu sejarah dengan topik khusus, spesifik, yang berbeda dengan penulisan sejarah makroskopis, yang bersifat total dan struktural. Dari arah lain, museum Mengenang Khem itu mengingatkan kita bahwa seni rupa kontemporer saat ini bertolak dari simulasi.
Peraih anugerah lainnya, Muhammad Vilhamy, terkesima ketika namanya disebut. Seniman muda ini menggondol uang tunai Rp 50 juta. Karyanya, Belum Ada Judul (2015), menampilkan 45 guntingan sejarah seni rupa Barat: karya dan para tokohnya terbungkus plastik layaknya obat; digantung satu per satu menjadi satu rangkaian. Secara "estetis" dan dari segi media, karya rampak ini sebenarnya tidak terlalu istimewa.
Boleh jadi karya ini memang bukan untuk melayani kepuasan khalayak akan "keindahan". Ini semacam karya seni yang didorong agar bisa berfungsi sebagai kritik, pembingkaian ulang, pendefinisian ulang, untuk mengganggu ide-ide tradisional dan harapan tentang seni atau masyarakat, seperti kecantikan, orisinalitas, representasi, dan otoritas.
Senyum dari bibir Aliansyah Chaniago malam itu juga merekah. Dia cukup percaya diri menerima anugerah dalam kategori yang sama dengan Muhammad Vilhamy. Karyanya, Proyek Titik Balik, adalah perahu tergantung dilengkapi dokumen-dokumen hasil partisipasinya dengan warga Desa Situ Ciburuy. Dalam prosesnya, Aliansyah menyeret perahu itu ke titik nol Bandung sembari mengumbar isu lingkungan di sekitar Situ. Kita akan memahami karya ini sebagai seni yang berbasis proses (performatif, kolaboratif, spontan), pengalaman, atau interaktif yang bisa terlibat secara sosial atau merespons lingkungannya. Terhadap karya Harits Rasyid, Muhammad Vilhamy, dan Aliansyah Chaniago, malam itu khalayak tidak serta-merta mengerti: lalu di mana "letak" seninya? Bagaimana kita memahami seni rupa kontemporer?
Di luar para pemenang, karya-karya finalis lain pantas disimak. Rangkaian foto studio fiktif yang menampilkan orang Belanda berbusana etnis Nusantara dalam karya Agan Harahap mengeksplorasi ide-ide, konsep, pertanyaan, dan praktek-praktek yang meneliti masa lalu, menjelaskan saat ini, dan membayangkan masa depan. Kesadaran pascakolonial ini juga mengemuka ketika kita berdiri di hadapan karya Maharani Mancanegara.
Dan instalasi Doni Maulistya turut memancing nostalgia kolonial yang memeras kekayaan gula bangsa ini. Seni obyek disfungsional Faisal Habibie mengganggu keyakinan sistem obyek keseharian kita. Di dalam ruang sumpek galeri, mata kita tiba-tiba disegarkan oleh tujuh gambar karya Jabbar Muhammad dengan teknik guas (gouache) di atas kertas—satu-satunya yang "konvensional". Wajah-wajah terbelah di situ menyorongkan identitas yang gamang di tengah arus perubahan budaya kontemporer. Masih dengan teknik gambar, Kara Andarini bergerak lebih jauh menata gambar-gambarnya. Instalasinya mempersoalkan tata ruang Kota Jakarta yang amburadul.
Sejumlah karya lain menawarkan kenyataan seni mutakhir yang meminjam referensi atau mencomot elemen dari berbagai disiplin ilmu dan sumber: budaya populer (film, televisi, musik), media massa (iklan, berita, komunikasi, desain grafis, media digital), humaniora (sastra, sejarah, sejarah intelektual, sejarah alam), dan sejarah seni (seni rupa, arsitektur, craft). Karena itu, BaCAA tidak sedang berbasa-basi ketika menggunakan term "seni rupa kontemporer".
Pamerannya selalu mengakomodasi keragaman eksperimen dan eksplorasi bahan, media, dan teknologi serta kesempatan luas bagi siapa saja untuk mempertimbangkan apa itu seni dan bagaimana ia didefinisikan. BaCAA juga sungguh-sungguh menilai konsepsi seniman. "Nilai karya seni rupa kontemporer tidak hanya pada tampilannya, tapi juga bergantung pada sejauh mana tampilan tersebut berhubungan dengan gagasannya," ujar Asmudjo J. Irianto.
Seperti award lainnya, BaCAA merupakan ajang kompetisi atau lomba, bukan pemberian anugerah atas pencapaian seniman di medan seni rupa setelah bekerja sekian waktu. Sebab, bagaimana mungkin pada usia sebelia itu mereka layak menerima anugerah? Memang, istilah award di sini jadi cukup salah kaprah. Mungkin istilah prize lebih relevan. Terlepas dari itu, diinisiasi Andonowati dari ArtSociates, BaCAA, sejak debutnya pada 2011, segera mengimbangi popularitas kompetisi-kompetisi seni rupa yang lebih dulu ada.
Hal lain, kekontemporeran BaCAA yang rumit dan atraktif bakal mengernyitkan dahi. Khalayak mengalami kebingungan atau (terpaksa) harus pura-pura mengerti. Tapi bukankah itu cukup produktif untuk memberikan pembelajaran kepada mereka tentang seni rupa kontemporer yang memang semakin tidak akrab kendati membicarakan perihal keseharian kita?
Aminudin T.H. Siregar, dosen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo