Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Saya Menulis dalam Bahasa Inggris Sebagai Perlawanan

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN deras pada pengujung musim panas Berlin membuat semua sastrawan dari berbagai negara berlindung dalam author's tent (tenda para sastrawan). Mereka saling mendekat karena udara dingin menusuk tulang sembari berbincang dan mengisi gelas dengan anggur merah untuk menghangatkan tubuh. Bulan September, Internationales Literaturfestival Berlin menyajikan banyak nama besar yang biasa ada di rak buku Anda. Ada Elif Shafak, Kazuo Ishiguro, Roddy Doyle, Michael Cunningham, Wole Soyinka dan Martin Amis, serta Ha Jin, sastrawan Cina yang kini menjadi eksil di Amerika Serikat, yang banyak dikerubungi wartawan sepanjang hari.

Di antara lebih dari 100 sastrawan internasional, Ha Jin mungkin yang paling tidak menyadari bahwa dia juga salah seorang bintang di antara bintang besar lain. Sastrawan yang telah menghasilkan beberapa kumpulan cerita pendek dan tujuh novel ini sudah diganjar berbagai penghargaan prestisius, seperti Flannery O'Connor Award for Short dan FictionPEN/Hemingway Award. Novelnya, War Trash, memenangi PEN/Faulkner Award, yang membuat dia dibandingkan dengan penulis Amerika, Philip Roth dan E.L. Doctorow.

Mengenakan topi, kemeja, dan celana panjang yang selalu berwarna gelap, Ha Jin tampak selalu rendah hati dan ramah berbincang dengan siapa pun yang menghampiri dan meminta berfoto dengannya. Ha Jin lahir dengan nama Jîn Xufçi—yang berarti salju yang beterbangan—di Provinsi Lianing, Cina, pada 1956. Mao Tse Tung meluncurkan Revolusi Kebudayaan ketika Ha Jin berusia 10 tahun. Dan, menurut dia kepada Tempo, ingatannya samar-samar tentang semua peristiwa itu. "Saya cuma ingat ibu saya pernah dihukum bekerja keras karena dia melakukan suatu kesalahan, dan saya tak tahu apa salahnya." Ha Jin juga mengaku bingung dan tak paham ketika semua remaja harus mendaftar jadi tentara merah. "Saya belum mencapai usia 14 tahun saat menjadi tentara merah," katanya.

Seperti tokoh-tokohnya, Ha Jin terbang ke Amerika bukan karena sebuah rancangan besar. "Saya mendapat beasiswa di Brandeis University, Amerika, setelah menyelesaikan studi sastra Inggris di Heilongjiang University dan S-2 di Shandong University," ujarnya dalam sebuah sarapan pagi bersama Tempo di Hotel Hecker's, Berlin, dua pekan lalu. Pada saat itulah peristiwa Tiananmen meledak, yang menyebabkan kemarahan Ha Jin. Ini semua dalam waktu yang cepat mempercepat keputusannya untuk menetap di Amerika bersama keluarganya. Ha Jin mengajar di Boston University, Amerika, dan hingga kini tak pernah bisa pulang ke tanah airnya karena, "Visa saya selalu ditolak." Berikut ini perbincangan Ha Jin dengan Leila S. Chudori dari Tempo.

* * * *
Inginkah Anda kembali ke tanah air meski Anda pernah mengatakan Cina adalah police-state?
Tentu saja. Saya sering mengajukan visa untuk masuk ke Cina, tapi selalu ditolak. Biasanya, kalau sudah ditolak, saya sedih dan kecewa, dan proses menghilangkan kesedihan itu cukup lama. Jadi saya belum mau mencoba mengajukan visa dulu.
Mengapa Anda menulis novel dan kumpulan cerpen dalam bahasa Inggris, bahasa kedua Anda?
Saya sedang menyelesaikan S-2 di Amerika dan peristiwa Tiananmen pecah. Saya bersuara keras terhadap pemerintah atas peristiwa berdarah itu. Akibatnya, saya tidak bisa pulang. Paspor saya tidak diperbarui oleh kedutaan. Sementara itu, anak saya yang saat itu berusia enam tahun sudah bergabung bersama saya dengan istri saya. Kami memutuskan bahwa anak kami tidak boleh terjebak dalam siklus kekejaman ini. Itu salah satu reaksi awal kami setelah peristiwa Tiananmen. Tapi, terus terang, saya tidak siap untuk bermigrasi ke Amerika. Tujuan awal saya kan untuk belajar, dan saya tahu tak mudah buat mencari pekerjaan di Amerika. Apalagi studi saya adalah sastra Amerika. Ini pilihan yang jarang untuk mahasiswa Asia. Saya tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang ada hubungannya dengan bahasa Mandarin. Saya mulai memperbaiki bahasa Inggris saya. Saya ingin menulis dalam bahasa Inggris. Penyebab lain saya menulis dalam bahasa Inggris adalah karena saya merasa banyak ekspresi dan kata dalam bahasa Mandarin yang mulai terdistorsi untuk tujuan propaganda. Terpolusi dan membentuk delusi. Ini membuat saya memutuskan menggunakan bahasa Inggris sebagai perlawanan.
Apa pendapat Anda terhadap karya-karya Mo Yan yang ditulis dalam bahasa Mandarin dan berhasil meraih Penghargaan Nobel itu?
Para penulis Cina yang menulis dalam bahasa Mandarin mengalami kesulitan yang sama karena bahasa itu sudah terdistorsi. Sangat sulit untuk keluar dari distorsi itu. Contohnya begini: misalnya kata "melaporkan" dalam bahasa Cina itu ada beberapa arti. Jika kita menggunakan kata "melaporkan" (to report dalam bahasa Inggris—red), itu bisa jadi terdistorsi dan keluar dari konteks.
Semula Anda berekspresi melalui puisi. Mengapa memutuskan menulis fiksi?
Saya tak merasa persoalan sosial dan politik tokoh saya bisa terekspresi sepenuhnya dalam puisi. Itulah sebabnya saya mulai menulis cerita pendek, dan barulah belakangan saya menulis novel. Saya masih menulis puisi dalam bahasa Mandarin, lalu saya menulis ulang dalam bahasa Inggris. Dalam puisi, saya merasa bisa memurnikan bahasa dari polusi. Karena itu, saya masih bisa menulis puisi dalam bahasa Mandarin. Dalam fiksi, fokusnya berbeda karena kita harus mengikuti karakternya, harus memikirkan bagaimana plotnya. Karena itu, saya harus menulisnya dalam bahasa Inggris.
Nama asli Anda adalah Jîn Xuefei. Apa artinya? Dan mengapa Anda ubah menjadi Ha Jin?
Arti nama asli saya adalah "Flying Snow". Bagi orang Barat, apalagi Amerika, sulit untuk mengucapkan huruf "X" dalam nama saya. "X" dalam Xufi seharusnya dibaca "Shuefei". Lalu soal lain, ketika pertama kali saya menulis puisi dalam bahasa Inggris tentang tentara merah, sebuah puisi bertema politik yang berjudul "The Dead Soldier's Talk".
Guru saya, penyair Frank Bidart, membacakannya kepada Jonathan Galassi, redaktur Paris Review, melalui telepon. Dan Paris Review menerimanya langsung saja. Lucunya, puisi itu belum saya beri nama saya. Jadi saya usulkan bagaimana jika diberi nama Ha Jin saja. Ha berasal dari nama kota favorit saya, Harbin, dan Jin adalah nama keluarga saya. Saya rasa nama ini akan lebih mudah diucapkan orang. Dosen saya setuju. Itulah pertama kali nama Ha Jin saya gunakan.
Apa yang Anda ingat tentang Revolusi Kebudayaan?
Saat itu saya masih 10 tahun, jadi saya tidak banyak ingat hal yang politis. Malah hal yang menyangkut keluarga saya yang melekat di kepala. Misalnya, saya teringat bagaimana ibu saya dihukum kerja keras oleh partai karena ibu saya anggota staf rendahan dan melakukan kesalahan entah apa.
Novel Anda, Nanjing Requiem, menggunakan peristiwa dan tokoh nyata Minnie Vautrin. Kebetulan novelis Iris Chang juga menggunakan peristiwa dan tokoh yang sama yang kemudian diangkat menjadi film berjudul The Flowers of War, yang disutradarai Zhang Yimou. Bagaimana saat Anda membaca atau menyaksikan film itu?
Saya menulis Requiem Nanjing sebelum novel Iris Chang keluar. Jadi kami sama-sama menulis tentang peristiwa Nanjing. Saya sengaja tak mau membacanya ketika novel Iris Chang terbit lebih dulu karena saya tak ingin punya pendapat apa pun. Setelah semuanya sudah keluar, baru saya membacanya. Fokus kami berbeda. Saya lebih pada siksaan psikologis yang dialami tokoh-tokohnya. Peristiwa kekejian itu hanya dua minggu di Nanjing, tapi akibat psikologis dan mentalnya melekat hingga bertahun-tahun sesudahnya.
Anda mempunyai kebiasaan mengejutkan pembaca pada alinea pertama novel Anda, seperti dalam Nanjing Requiem dan A Map of Betrayal, atau membuat pembaca penasaran karena sepertinya Anda memulai dari tengah plot. Mengapa?
(Tertawa) Saya belajar dari Anton Chekov, yang selalu mengatakan belah cerita kamu jadi dua. Buang dulu bagian pertama ceritamu dan mulailah dari tengah. Biasanya bagian tengah adalah bagian paling dramatis atau sudah mulai naik ke puncak. Setelah memulai dari sana, pembaca akan merasakan energi kita. Dan nantinya akan banyak kesempatan untuk kembali atau melakukan adegan kilas balik atau dialog tentang peristiwa masa lalu. Pesan Chekov itulah yang menjadi pegangan saya untuk hampir semua novel saya.
Siapakah penulis yang melekat di hati Anda?
Semuanya penulis Rusia klasik, Anton Chekov, Tolstoy, Nikolai Gogol. Penulis masa kini... (berpikir—red) karya awal Haruki Murakami bagus juga, memiliki kalimat yang indah. Dia orang yang mampu menyajikan dengan baik, tapi saya agak punya problem dengan cerita dan strukturnya. Saya memiliki empat volume karya Pramoedya Ananta Toer. Saya baru membaca yang pertama dan isinya penuh energi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus