Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Perfilman, Musik, dan Media serta Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Ristek telah melangsungkan Konser Rakyat Leo Kristi pada Sabtu, 27 Juli 2024 pukul 14.00 WIB. Konser bertajuk Aku Tak Kan Pernah Mati ini diselenggarakan untuk mengenang kepergian musisi Leo Kristi pada 21 Mei 2017. Konser ini dilakukan di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Konser Rakyat Leo Kristi menampilkan pameran tentang perjalanan Leo Kristi. Sebelum konser, diadakan pula Sarasehan bersama Romo Mudji Sutrisno dan pengamat musik Franki Raden yang dimulai pukul 15.30 sampai 17.30. Barulah, pada pukul 19.00, puncak acara Konser Rakyat Leo Kristi dimulai. Konser yang akan menyanyikan lagu-lagu Leo Kristi ini juga dimeriahkan beberapa pemusik Tanah Air, seperti Ote Abadi, Nona van der Kley, Liliek Jasqee, dan tim musik dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Pemerhati Kebijakan Pendidikan dan Transportasi, Darmaningtyas menonton Konser Rakyat Leo Kristi itu. Meskipun baru mengetahui satu hari sebelum acara, tetapi ia langsung mengagendakan untuk menonton dan tidak kecewa dengab pertunjukan itu.
"Sebab, penampilan penyanyi dalam konser tersebut mirip dengan Leo Kristi dan pasangannya. Sebagai penikmat karya Leo, saya berharap konser bisa dilaksanakan satu tahun sekali dan tidak keberatan jika harus bayar," kata dia kepada Tempo.co, di sela pertunjukan Sabtu malam lalu.
Musisi Ote Abadi (kedua kanan), Nona van der Kley (kedua kiri), Liliek Jasqee (kanan) dan tim musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ) membawakan lagu karya Leo Kristi dalam acara Konser Rakyat Leo Kristi bertajuk Ku Takkan Pernah Mati di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Sabtu, 27 Juli 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Darmaningtyas mengaku sudah mengenal Leo Kristi sejak menjadi mahasiswa sekitar 1980-an. Kesukaannya bermula dari membaca tulisan Romo Sindhunata yang mengutip syair lagu Leo. Selain itu, ia juga membuat liputan konser Leo di Jakarta. Namun, saat itu, ia tidak memiliki radio, televisi, dan kaset untuk mendengar karya Leo.
Pada 1980-an, Darmaningtyas menonton Leo Kristi tampil di Gelanggang Mahasiswa UGM. Lalu, pada 1990-1993, ia bekerja bersama Dr. Emmanuel Subangun di Surabaya yang membawanya bertemu Leo secara langsung. Saat kembali ke Jakarta, ia selalu mengusahakan untuk menonton konser Leo. Penampilan terakhir Leo Kristi yang ditonton Darmaningtyas pada 2014 ketika masih sering diadakan Amir Daulay.
Menurut Darmaningtyas, lagu Leo Kristi memiliki makna masing-masing. Namun, ia kerap mendengarkan lagu Gulagalugu Suara Nelayan, Memorial Sudirman, Mutiara Pertiwi, Nyanyian Fajar, Hati Muda Ley Ley, Salam dari Desa, dan Tepi Surabaya.
Bagi Darmaningtyas, Gulagalugu Suara Nelayan menggambarkan perjuangan nelayan mencari nafkah yang belum tentu dapat kembali pulang. Sementara itu, Memorial Sudirman dan Tepi Surabaya menggambarkan perkembangan paradoksal Surabaya yang gemerlap, tetapi memiliki persoalan sosial. Di sisi lain, Hati Muda Ley Ley menjadi lagu tentang kehidupan di terminal.
"Nyanyian Fajar menjadi lagu yang mendorong gairah bangsa untuk berkarya dengan memanfaatkan kekayaan alam. Semangat membangun bangsa ini juga ditampilkan dalam Mutiara Pertiwi yang mendorong hidup rukun dan gotong royong. Sementara itu, Salam dari Desa menggambarkan kapitalisasi yang merasuk ke desa," katanya.
Darmaningtyas mengenang Leo Kristi sebagai sosok yang cuek karena tidak peduli dengan hierarki. "Leo juga konsisten menciptkan syair dengan pola hidup yang sederhana," kata dia. Meskipun saat ini Darmaningtyas tidak bergabung dengan Group Komunitas Pecinta Musik Konser Rakyat Leo Kristi atau LKers, tetapi ia masih sering memutar lagu-lagu Leo Kristi. Darmaningtyas masih setia menjadi penikmat karya penyanyi ini.
Pilihan Editor: Konser Para Penggemar Leo Kristi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini