Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah iklan drama Cina saat ini berseliweran tanpa henti menyuguhkan sepenggal konflik rumah tangga, pengkhianatan, hingga skenario balas dendam. Fragmen-fragmen semacam itu kini berseliweran di media sosial dalam format video pendek, membombardir pengguna dengan potongan kisah penuh konflik dan emosi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iklan-iklan ini menjadi strategi promosi utama bagi aplikasi layanan streaming atau Over The Top (OTT) seperti Dramabox, Flex TV, ReelShort, ShortMax, dan berbagai platform lain yang berlomba menarik perhatian penonton. Formatnya dibuat menggantung, menciptakan rasa penasaran yang berujung pada unduhan aplikasi atau langganan premium demi mengetahui kelanjutan cerita.
Dengan durasi belasan menit—jauh lebih panjang dari iklan konvensional—konten ini dirancang untuk menciptakan efek kecanduan. Namun, di balik strategi pemasaran tersebut, muncul pertanyaan mengenai isi tayangan yang mereka suguhkan. Banyak di antaranya menampilkan kekerasan, baik dalam bentuk fisik maupun verbal, yang sebagian besar melibatkan perempuan sebagai korban. Dalam drama Cina itu, kebanyakan perempuan menjadi korban KDRT.
Komnas Perempuan Soroti Normalisasi Kekerasan dalam Drama Cina
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, menilai gempuran konten ini bukan sekadar persoalan tren tontonan, tapi juga berkaitan dengan pembentukan wacana sosial. Ia menyoroti bagaimana penggambaran kekerasan dalam film dapat memperkuat diskriminasi terhadap perempuan.
“Film memiliki daya tarik yang besar bagi masyarakat sehingga memiliki potensi besar dalam penyebarluasan informasi dan juga pembentukan wacana,” ungkap Andy kepada Tempo, 9 Februari 2025. Ia merinci, dalam sejarah perkembangan film, banyak kritik telah diberikan mengenai penggambaran yang terus mengukuhkan subordinasi kelompok marginal, termasuk terhadap perempuan.
Menurut Andy, tayangan yang mengandung unsur kekerasan dapat berkontribusi pada meningkatnya intensitas kekerasan berbasis gender. “Platform digital mempermudah persebaran produk audio visual, seperti halnya iklan-iklan drama Cina yang dikabarkan bertebaran di media sosial,” ujarnya. Ia juga menyoroti kontradiksi dalam beberapa drama yang—meskipun mengusung tema kemandirian perempuan, tetap menampilkan adegan kekerasan dan objektifikasi terhadap perempuan.
Literasi Digital dan Alternatif Konten Berkualitas
Menanggapi isu ini, Andy menilai bahwa regulasi yang lebih ketat terhadap platform digital tidak akan cukup jika tidak diimbangi dengan peningkatan literasi digital masyarakat. “Pengaturan yang lebih ketat terhadap platform bisa jadi tidak efektif, kecuali jika juga diiringi dengan upaya serius meningkatkan pemikiran kritis dan literasi digital warga,” kata dia.
Selain literasi digital, Andy juga menekankan pentingnya menyediakan alternatif tontonan yang berkualitas agar publik memiliki pilihan lain di luar konten yang sarat kekerasan. “Perlu ada insentif agar Indonesia mampu menghasilkan drama atau film yang berkualitas sebagai alternatif opsi tontonan,” ungkapnya.
Namun, ia mengakui bahwa tantangan terbesar dalam menciptakan alternatif tontonan berkualitas adalah keterbatasan anggaran di tengah tren efisiensi belanja negara saat ini. “Susah ya di tengah efisiensi (pemangkasan anggaran) ini,” tuturnya menambahkan. Ia lalu membandingkan dengan kemajuan industri perfilman Tanah Air dengan Korea Selatan maupun Thailand. “Ada arah dan budget yang memang dialokasikan untuk itu dengan nilai yang juga optimal,” kata Andy.
Pilihan Editor: Terjerat Candu Drama Cina