Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Kunarto dan Manusia Perahu

Bekas Kepala Polri Jenderal (Purnawirawan) Kunarto tutup usia karena kanker prostat. Kariernya mulai menanjak setelah menangani pengungsi Vietnam di Pulau Galang.

3 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah tak lagi menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Kunarto menghabiskan masa pensiun di Bojonegoro, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Di rumah, dia sering terlihat hanya mengenakan kain sarung dan berkaus oblong. Kunarto pun tak sungkan ikut menyapu teras.

Manusia sederhana tapi tegas dalam prinsip itu pada Rabu pekan lalu—28 September 2011—tutup usia di Rumah Sakit Internasional Surabaya. Jenazahnya dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sejumlah jenderal polisi yang melayat mengatakan, "Beliau figur idola dalam integritas setelah Pak Hoegeng."

Kendati menderita kanker prostat, Kunarto tidak mau dibawa ke RS Dr Soetomo di Surabaya. Dia hanya bersedia dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Bojonegoro. Akhirnya Kunarto dipaksa berobat ke RS Internasional Surabaya dengan biaya patungan sejumlah sobat.

Kunarto lahir di Yogyakarta, 8 Juni 1940. Dia lulus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 1970. Setelah menduduki sejumlah jabatan penting di jajaran kepolisian, pada 27 Februari 1991 ia dilantik menjadi Kepala Polri. Semasa menjadi Kepala Polri, dia menolak tukar guling Markas Besar Polri dengan gedung PTIK, seperti diusulkan seorang putra Presiden Soeharto.

Kunarto pernah menjadi ajudan Soeharto setelah diusulkan oleh Kepala Polri Jenderal Awaloedin Djamin. Namun Awaloedin meminta maaf kepada Soeharto karena belakangan ketahuan salah satu jari kanan Kunarto putus.

Ada satu posisi Kunarto yang cemerlang di kepolisian yang jarang disebutkan sepanjang kariernya, yakni sebagai Komandan Satuan Pengamanan Pengungsi Vietnam di Pulau Galang pada 1979-1980. Dia menulis laporan setebal lebih dari 200 halaman tentang penu­gasan di sana.

Pada 11 September 1979, terbit Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1979. Beleid itu menetapkan Menteri Pertahanan dan Keamanan sebagai Koordinator Pelaksanaan Penanganan dan Penyelesaian Pengungsi Vietnam dibantu Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri serta menteri lainnya.

Sebagai realisasi dari keputusan presiden, dibentuk Tim Penanggulangan dan Pengelolaan Pengungsi Vietnam, yang diketuai Asisten Intel Hankam Mayjen L.B. Moerdani. Kolonel (L) Soedibyo Rahardjo (terakhir menjabat Kepala Staf Umum ABRI) menjadi anggota staf khusus ketua.

Setelah Pulau Galang ditetapkan sebagai tempat pemrosesan pengungsi, dibentuk Satuan Pengamanan dan Perawatan Pulau Galang, yang dipimpin Letnan Kolonel Kunarto. Pemimpin pengamanan di Pulau Galang memang selalu diserahkan ke kepolisian untuk memperlihatkan bahwa penanganan pengungsi Vietnam itu merupakan bagian dari keamanan dan ketertiban masyarakat.

Untuk menerima arahan tentang penanganan pengungsi ini, Mayjen L.B. Moerdani mengajak Kolonel (L) Soedibyo Rahardjo ikut bermain golf bersama Presiden di Rawamangun. Setelah hole ketiga, mereka mendapat arahan dari Soeharto. "Tujuan program ini mewujudkan sila kedua Pancasila, tapi bisa juga meng-counter kritik (Kongres AS) terhadap kebijakan Indonesia di Timor Timur," ujar Soeharto. "Pengungsi Vietnam itu hanya ditampung sementara. Indonesia tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun."

Setelah Amerika kalah dalam perang Vietnam pada 1975, terjadi eksodus besar-besaran dari Vietnam melalui darat dan laut. Sekitar 800 ribu orang mempertaruhkan nyawa di atas kapal tanpa tujuan. Puluhan ribu manusia perahu ini mendarat pulau-pulau di Kepulauan Riau pada 1978. Untuk memudahkan proses pencarian suaka, mereka ditampung di Pulau Galang.

Pengungsi terus mengalir, sementara mereka yang diterima di negara ketiga terus diberangkatkan. Sejak 1985, kebijakan penanganan pengungsi ini berubah. Pengungsi akan diseleksi ketat. Bila tidak layak, mereka akan dikembalikan ke negara asalnya (repatriasi). Pada Minggu, 8 September 1996, Pulau Galang ditutup sebagai kamp pengungsi. Infrastruktur dan peralatan lain yang dimiliki UNHCR diserahkan ke pemerintah Indonesia.

Berbagai lembaga internasional, termasuk pengungsi Vietnam yang sudah ditampung di Amerika Serikat dan Eropa, memuji prestasi Indonesia. Penanganan pengungsi Vietnam selama dua dekade itu dinilai lebih baik ketimbang yang dilakukan Malaysia, Singapura, Filipina, dan Hong Kong.

Asvi Warman Adam (Sejarawan LIPI)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus