Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Karate Kid
Sutradara: Harald Zwart
Skenario: Christopher Murphey
Pemain: Jackie Chan, Jaden Smith, Taraji
Di atas bukit yang menyentuh langit seluruh negeri Cina, Dre Parker (Jaden Smith) menyaksikan sebuah pemandangan yang menakjubkan. Seorang perempuan yang berdiri di atas satu kaki berhadapan dengan seekor ular piton. Sang perempuan, seorang master kungfu, menaklukkan sang ular dengan sorot an matanya yang tajam. Ular piton itu menggerakkan kepalanya meniru gerak-gerik sang perempuan. Dre menahan napas. Takjub. Tersedot.
Untuk beberapa saat, Dre merasa dirinya tenang. Air yang diperolehnya dari mata air di puncak bukit itu membuat dia lebih percaya diri: dia bisa melawan para pengganggu, para berandal di sekolahnya yang dipimpin Cheng (Zhenwei Wang) yang sungguh mahir kungfu.
Ide membuat ulang film klasik The Karate Kid (John G. Avildsen, 1984), yang kemudian mengibarkan nama Pat Morita dan Ralph Macchio, semula tak terlalu disambut dengan antusias, baik oleh kritikus maupun masyarakat Amerika yang sudah melalui periode 1980-an. Mereka ingin menyimpan adegan Pat Morita yang mengajarkan ”wax-on wax-off” mengelap mobil sebagai bagian dari pelatihan gerakan karate dalam lemari kenangan periode 1980-an dan tidak mengobrak-abriknya dengan sebuah ”renovasi”.
Tapi ternyata apa yang dilakukan sutradara Harald Zwart dan penulis skenario Christopher Murphey adalah sebuah renovasi yang menyegarkan. Karena sukses film The Karate Kid (1984), versi renovasi tetap menggunakan judul yang sama meski ilmu bela diri yang dipelajari Dre Parker adalah kungfu.
Plot tetap dipertahankan. Dre dan ibunya, Sherry Parker (Taraji P. Henson), pindah dari Detroit, Amerika Serikat, karena sang ibu ditugaskan per usahaan mobil tempatnya bekerja menjadi manajer di kantor Beijing. Sang ibu mencoba beradaptasi dengan baha sa yang begitu sulit, serta menikmati suasana pasar tradisional dan segala ekso tisme yang ditawarkan Dre melalui penderitaan khas remaja. Sementara itu, dia dihajar dan dipelonco oleh geng Cheng yang jago kungfu; bahasa Cina yang tak mudah dipelajari; dan rasa tertariknya pada Meiying (Wenwen Han), seorang prodigi biola yang juga membalas perasaan Dre, harus ditahan-tahan karena Cheng yang galak dan orang tua Meiying yang sungguh ketat.
Jackie Chan berperan sebagai Mr Han, tukang reparasi di apartemen mereka. Sementara Pat Morita digambarkan sebagai sang bijaksana yang tak banyak bicara dan berwibawa, Mr Han adalah seorang penyendiri yang me nyimpan sebuah mobil bobrok di tengah rumahnya. Kecenderungan Mr Han yang ekonomis dengan kata dan gerak lebih karena masa lalu yang su ram yang akan diungkap pada paruh akhir film ini. Tapi, melihat Dre yang baru berusia 12 tahun dan disiksa habis-habisan (percayalah, kungfu yang ditampilkan oleh para berandal ini cukup keras untuk anak-anak seusia mereka), Mr Han akhirnya bersedia maju menjadi guru Dre.
Tentu saja, seperti Miyagi yang mengajari Daniel karate dan kehidupan; Mr Han mendidik Dre dengan cara yang tidak ortodoks. Dia membe rikan gerakan keseharian sebagai bagian dari gerak dan bahasa tubuh kungfu; karena baginya seni bela diri itu seharusnya membawa perdamaian. Pada saat inilah baru penonton diajak bertamasya ke bagian-bagian yang eksotis dari Cina, ke pucuk bukit tempat mata air keberuntungan ketika Dre melihat sang master dengan seekor ular yang saling tegur sapa; ke Tembok Cina yang meliuk tempat kita bisa melihat si kecil Dre yang bermandikan keringat berlatih dengan ketat dan penuh semangat.
Adegan pertandingan mulai tahap seleksi hingga final adalah adegan yang jauh lebih meriah dan terkoreografi dengan megah dibanding versi lama. Setiap pertandingan yang melibatkan Dre dan Cheng selalu memacu jantung dan adrenalin penonton. Bahkan, saat Dre harus jatuh dan patah kakinya; penonton ikut ”patah hati”, meski kita tahu ini sebuah formula khas film laga yang mewajibkan sang jagoan kalah sementara untuk kemudian menang di akhir cerita.
Bintang dari film ini adalah Jackie Chan yang berhasil menyulap dirinya menjadi tokoh yang sangat berbeda dari sosok lucu yang sering tampil dalam film-film silatnya (The Drunken Master dan seluruh keturunannya) serta film-film Hollywoodnya. Jaden Smith, putra Will Smith dan Jada Pinkett, yang sudah menunjukkan bakatnya sejak film The Pursuit of Happyness, tampak akan menyaingi keberhasilan box office ayahnya.
Film ini ternyata menjungkirbalikkan teori bahwa film remake (pembuat an ulang) adalah penghinaan terhadap film asli. Film ini justru sebuah tribute bagi Pat Morita, almarhum aktor yang telah membuat The Karate Kid sebagai film klasik periode 1980-an yang tak terlupakan.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo