Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini ada Michael Moore denganku. Kau tahu siapa Michael Moore kan? Sutradara film itu. Dia sedang mengambil gambarku.”
Michael Moore tidak sedang dira yakan dalam kalimat itu. Orang yang mengucapkannya, di salah satu bagian film ini, sedang mencari cara untuk menghindari lelaki tambun yang dikenal karena ”populisme sayap kirinya yang berapi-api” itu. Moore, berkat film-film dokumenternya, memang menjadi tokoh yang sulit untuk bisa di sukai kalangan mapan mana pun, khususnya di Amerika Serikat. Lihatlah, misalnya, ketika dia berusaha mencari orang di Wall Street, salah satu pusat keuangan dunia di New York, yang mau menjelaskan kepadanya ihwal derivatif. Seseorang yang dia cegat untuk dimintai saran menepis: ”Jangan bikin film lagi.”
Tapi respons serupa justru menjadi elemen yang ikut memperkuat film-filmnya. Dan di karya mutakhirnya ini, sebuah usaha ambisius untuk mene lanjangi apa yang digambarkan sebagai kebejatan-kebejatan kapitalisme, keberadaannya justru lebih dari sekadar cukup. Untungnya, seperti di film-filmnya yang lalu, Moore tetap jitu memanfaatkan formula khasnya: paduan gambar-gambar sensasional, aneka komentar peristiwa terbaru, wawancara dengan orang kebanyakan yang menjadi korban, dan adegan komedi yang berfungsi seperti coda—segmen yang menuntun ke bagian akhir—pada lagu. Dan di antara itu selalu ada sarkasme dan ironi.
Membidik kapitalisme memang lompatan yang jauh dari topik film-film Moore sebelumnya; dulu dia lebih memilih isu-isu sempit dan spesifik, seperti dampak pemecatan besar-besaran karyawan General Motors terhadap Flint, kampung halamannya (Roger & Me), atau senjata api (Bowling for Columbine), Perang Irak (Fahrenheit 9/11), dan jaminan kesehatan di Amerika (Sicko). Kapitalisme, sistem ekonomi yang sudah mendunia, tentu mengharuskan jangkauan perhatian dibentangkan jauh lebih luas. Wajar bila hasilnya terasa bagaikan sketsa, bukan sapuan kuas yang tegas.
Lihatlah bagaimana Moore sibuk berpindah-pindah dari duka keluarga yang terusir karena menunggak cicil an rumah ke remaja yang dikurung di penjara anak-anak semata demi keuntungan, lalu ke pilot maskapai penerbangan yang gajinya lebih kecil ketimbang gaji manajer resto cepat saji. Atau sorotan terhadap korporasi besar seperti Wal-Mart, yang membeli polis asuransi jiwa terhadap karyawannya dan mengambil untung saat karyawannya meninggal. Masih ada pula orang-orang yang harus tinggal berdesakan di dalam van, sedangkan para bos bank membagi-bagi bonus dari uang pajak yang disuntikkan pemerintah.
Begitu banyak tragedi, juga ironi. Begitu melimpah fakta yang tersebar di sana-sini, dengan faset dan bobot yang berbeda-beda. Semuanya bukan do ngeng. Hanya berkat kejernihan Moore dan para penyunting bisa juga disaji -kan presentasi dengan argumentasi yang kuat bahwa, seperti kata Moore dalam narasinya, ”Inilah kapitalisme. Sebuah sistem mengambil dan memberi… lebih sering mengambil.”
Tentu, riset harus sangat bisa diandalkan. Dan film ini bukan saja menjadikan bahan masif dari sumber-sumber sekunder yang dapat dikumpulkan sebagai tumpuan, melainkan, dari sana, juga ditunjukkan kait-mengait rumit antara imperium ke uangan dan kekuasa an. Informasi memadai digali dari wawancara dengan kalangan dalam Senat dan pakar keuang an. Bagian yang menggelitik adalah ketika Moore menanyai beberapa pendeta dan uskup yang yakin bahwa ka pitalisme memang jahat dan bukan model ekonomi yang dikehendaki Tuhan.
Film ini memang sudah terasa biasa dari sisi seni pembuatannya. Tapi pesannya jelas tak bisa diabaikan, dan barangkali juga perasaan bebas yang ditimbulkan pada siapa saja, khususnya para korban krisis ekonomi pada akhir 2008, yang dianggap terburuk sejak depresi besar pada 1930-an. Dengan kata lain, film ini boleh jadi akan lekas dilupakan, tapi sampai titik itu tercapai, ia sudah sangat berharga karena mampu menyadarkan, memicu perasaan dongkol, dan—pasti—meledakkan tawa.
Untuk itulah, paling tidak, Michael Moore selalu melakukannya.
Purwanto Setiadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo