BAGAIKAN di Hollywood, senja itu Gubernur Ali Sadikin serta
beberapa artis terkemuka -- Tanty Yosepha, Santy Sardi dan
Slamet Rahardjo menerakan telapak kaki mereka di plesteran yang
basah di studio dan laboratorium berwarna milik yoo Han Sing di
Ragunan Pasar Minggu. Dan hari Selasa 16 Maret itu, secara resmi
di Indonesia telah berdiri sebuah laboratorium untuk film
berwarna. Sebelumnya, sepanjang sejarahnya, film-film berwarna
Indonesia diproses di luar negeri. "Dengan laboratorium ini,
para pembuat film Indonesia bisa menghemat hingga 50%", kata
Nyoo kepada para wartawan.
Ternyata bukan cuma soal penghematan yang bisa diperoleh lewat
lab baru itu. Sebab "sambil mengulangi ketergantungan kita pada
lab di luar negeri, juga kreatifitas bisa diharapkan lebih
berkembang", kata Wim Umboh, sutradara dan penggagas lahirnya
laboratorium yang bernama Internasional Cine & Studio Centre
itu. Cerita Wim pula: "Dahulu bila kita opname di Manado lalu
diproses di Jepang, perlu waktu 4 bulan. Dan kalau ada cacat,
amat sulit melakukan pengambilan ulangan". Berbagai eksperimen
juga bisa dilakukan lewat studio ini. Sebab film yang diopname
hari ini, misalnya, kabarnya dua hari kemudian sudah bisa
dilihat hasilnya. Waktu singkat ini diharapkan bisa merangsang
para sutradara untuk berhuat macam-macam guna kemajuan perfilman
kita. Begitu, katanya, harapan Nyoo dan Wim yang sibuk dengan
lab berwarna itu sejak beberapa tahun silam.
Tapi harapan tentu akan tinggal impian jika kenyataan akan jadi
lain. Sembari semua orang film menaruh harapan amat lumayan pada
usaha Nyoo, berbagai komentar ada juga terlontar. "Paling tidak
lab itu bakal memungkinkan penghematan devisa negara", kata
Turino Junaidi dari Sarinande Film. Tapi apa bisa lebih murah
dari lab di Hongkong? Mutu, apa bisu lebih baik, atau paling
sedikit sama? "Kami akan usahakan agar lebih murah", kata Nyoo
yang lebih terkenal sebagai tokoh perbankan swasta itu. Soal
mutu, Nyoo buru-buru tidak menjanjikan apa-apa. "Silakan
buktikan sendiri", kata pengusaha ini sembari menunjuk 2 film --
Tantangan Kota Jakarta dan Taman Mini Indonesia -- yang baru
saja selesai diproses di Interstudio itu. Konon hasilnya tidak
mengecewakan, sehingga ada juga yang sempat ragu, apa betul itu
dikerjakan di Ragunan.
Dalam Perjalanan
Dengan biaya Rp 590 juta, di Ragunan Pasar Minggu kini telah
berdiri sebuah laboratorium film berwarna di atas tanah seluas
8,5 hektar, yang konon segera diluaskan jadi 10 hektar. Pada lab
yang sebenarnya baru bisa bekerja sempurna dalam beberapa bulan
mendatang ("sebagian peralatan masih di Priok, lainnya masih
dalam perjalanan", kata Wim Umboh), bekerja sejumlah 50 karyawan
yang 15 di antaranya adalah tenaga ahli yang dipimpin oleh K.H.
Liu, orang yang juga memimpin Universal Color Lab di Hongkong.
Para pembuat film di Indonesia kini memang menanti dengan harap
saat mereka bisa bekerja kembali di Jakarta, seperti yang mereka
lakukan dulu pada zaman film hitam putih. "Tidak perlu lagi
mundar-mandir ke Tokyo menghabiskan uang", kata sutradara Nyak
Abbas Akub yang konon sudah lupa berapa kali saja ia pernah
mundar-mandir ke Jepang memproses film-filmnya. Dalam pesta
meriah pembukaan lab baru yang bersamaan dengan ulang tahun
Persatuan Artis film (Parfi) -- hadir nyaris semua orang film,
termasuk artis top dari Hongkong dan artis baru dari Malaysia
yang didatangkan oleh Des Alwi.
Kelihatannya semua orang bergembira di malam sejuta bintang itu,
meskipun beberapa orang yang kritis ada pula mengaku prihatin,
sebab "kalau produksi film kita masih rendah seperti ini,
bagaimana modal yang ditanam Nyoo itu bisa berputar", kata salah
seorang di antara mereka. Keraguan ini dibantah Nyoo yang
mengaku bersahabat dengan Wim Umboh sejak tahun 1959. "Saya kan
pengusaha", kata Nyoo dengan yakin. Dan sebagai pengusaha,
kabarnya Nyoo sudah bisa meraba bahwa meskipun produksi film
nasional sekarang ini sedikit, adanya Lab itu nantinya bakal
menaikkan film nasional, terutama dengan rencana Interstudio
memberi kredit kepada para pembuat film. Asal selektif saja
memberi kredit. 'Kan layak diingat mandeknya sejumlah uang
kredit SK 71 di tangan sejumlah produser film Indonesia sejak
beberapa tahun terakhir ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini