Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -- Penulis Indonesia pemenang penghargaan sastra Jerman LiBeraturpreis, Laksmi Pamuntjak, mendukung pengunduran diri delegasi Indonesia dari keikutsertaannya di Frankfurt Book Fair 2023. Pernyataan Laksmi Pamuntjak ini diungkapkan melakukan surat yang dikirimkan ke redaksi Tempo pada Senin malam, 16 Oktober 2023 untuk merespons sikap Frankfurt Book Fair atau FBF 2023 yang proIsrael.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Berdasarkan info terbaru ini saya mendukung pengunduran diri delegasi Indonesia dari Frankfurt Book Fair tahun ini. Saya juga mendukung teman-teman penulis seluruh dunia yang telah menandatangani surat terbuka yang mengecam keputusan FBF,” tulis Laksmi dalam pernyataan resminya atas sikap FBF yang membela Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan Indonesia tidak akan berpartisipasi dalam penyelenggaraan pameran perdagangan buku internasional terbesar di dunia itu lantaran menyatakan keberpihakannya ke Israel. Padahal sebelumnya, Indonesia sudah menyatakan akan mengirimkan delegasi untuk mengikuti Pameran Frankfurt Book Fair 2023 di Jerman pada 18-22 Oktober 2023.
Sikap Laksmi Pamuntjak Bermula dari Penundaan LiBeraturpreis
Sikap Laksmi Pamuntjak dipicu artikel New York Times berjudul "Award Ceremony for Palestinian Author at Frankfurt Book Fair is Canceled" yang tayang pada 13 Oktober 2023 dan beberapa media Jerman lainnya soal keputusan LitProm (organisasi pengelola LiBeraturpreis). Dalam artikel tersebut, LitProm mengatakan bahwa keputusan menunda penyelenggaraan upacara penghargaan dilakukan dengan persetujuan pemenang penghargaan, yaitu novelis Palestina, Adania Shibli atas karyanya berjudul Minor Detail.
Ada pula media Jerman yang mengutip pernyataan LitProm bahwa upacara penghargaan tetap diselenggarakan, namun masih menunggu setting dan format yang tepat, sesuai pameran buku. Dua pernyataan dari organisasi penyelenggara pameran perdagangan buku internasional terbesar di dunia ini semakin membuat Laksmi curiga dan menelisik fakta di balik penghargaan tersebut menyangkut penulis Palestina.
“Tapi, hari ini, saya membaca dalam artikel The Guardian bertajuk “Palestinian Voices ‘Shut Down’ at Frankfurt Book Fair, says Author” 15 Oktober 2023, agen sastra Adania Shibli mengatakan pada The Guardian bahwa keputusan penundaan upacara itu tidak dilakukan dengan persetujuan sang pemenang,” tulis Laksmi Pamuntjak.
Dukung Novelis Palestina Adania Shibli
Padahal menurut Laksmi, bila upacara tersebut diselenggarakan bisa menjadi ajang bagi sang novelis (Adania Shibli) untuk merenungkan peran sastra dalam masa yang kejam dan penuh penderitaan ini di balik perang yang tengah berlangsung. Laksmi melanjutkan, Adania Shibli tak pernah punya keinginan untuk tidak merayakan kemenangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh LitProm dalam siaran persnya. Hal ini berkaitan dengan tujuan penghargaan ini yaitu untuk memberi apresiasi terhadap peran penulis dan sastra dalam masyarakat.
Penulis novel Amba itu mengaku dia tetap berkukuh pada pendiriannya bahwa loyalitas tertinggi sebuah pameran buku adalah pada kemanusiaan, dan ketakmampuan FBF untuk membela dan mempertahankan keputusan sastrawinya. "Meski keputusan ini disebabkan oleh luka sejarah yang dalam, dan bukan kapasitas kita untuk menimbang nilai dan keabsahannya," tulisnya.
Apalagi, kata Laksmi, keberpihakan FBF pada Israel agak aneh lantaran dalam kasus ini, kedua belah pihak sama-sama mengalami penderitaan hebat. Hal ini menunjukkan bahwa pameran buku ini tak lagi mewakili suara dunia, saat semua bangsa dan negara berhak dan layak mendapat panggung untuk menyuarakan kebenaran mereka masing-masing. "Sebagaimana FBF ingin menambah 'panggung untuk para penulis Israel' seharusnya mereka juga menambah panggung untuk para penulis Palestina, bukan malah membungkam mereka," tulisnya.
Novelis dwibahasa itu pun menyoroti keberpihakan FBF pada Israel. Padahal, Israel dan Palestina sama-sama mengalami penderitaan hebat. Hal ini menurutnya semakin menunjukkan bahwa pameran buku tak lagi mewakili suara dunia. Padahal pada saat yang sama, semua bangsa dan negara berhak dan layak mendapat panggung untuk menyuarakan kebenaran masing-masing.
Pilihan Editor: Indonesia Kembali Ramaikan Frankfurt Book Fair Tahun Ini