Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Legenda Jawa Berlatar Cina

Rumah Wayang mementaskan wayang potehi dengan lakon Damarwulan dan Sun Go Kong. Menggali cerita klasik Cina dan legenda Nusantara.

4 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pementasan wayang potehi di Galeri Salihara, Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kencana Wungu, Ratu Majapahit, resah karena pasukannya kocar-kacir oleh pasukan Raja Blambangan, Menak Jingga. Ia kehabisan akal untuk mempertahankan kerajaan dari serangan raja yang buruk rupa tersebut. Patih Logender mengusulkan agar sang ratu membuat sayembara lagi untuk mengalahkan Menak Jingga. Semula, Kencana Wungu berkeberatan. "Mengapa harus sayembara lagi?" Ratu mempertanyakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, ia membuat sayembara ketika Kerajaan Majapahit terancam oleh amukan Kebo Marcuet. Menak Jingga berhasil menaklukkan Kebo Marcuet. Namun Ratu Kencana Wungu menolak Menak Jingga karena wujudnya buruk rupa. Kini ia cemas tak ada yang bisa mengalahkan Menak Jingga dan ia harus menuruti permintaannya, yakni menyerahkan kerajaan sekaligus menjadi istrinya. Ia dihadapkan pada situasi yang sangat sulit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya, ia tidak punya pilihan selain kembali mengadakan sayembara: siapa pun yang berhasil mengalahkan Menak Jingga, orang itu berhak atas takhta Majapahit sekaligus menjadi suaminya. Muncullah Damarwulan yang semula berada jauh di pertapaan. Menantu Patih Logender itu adalah pencari rumput dan tukang rawat kuda. Namun Patih Logender ragu akan kemampuan menantunya.

Adegan wayang potehi dengan lakon Damarwulan Satria Majapahit yang dipentaskan pada Sabtu, 1 Februari lalu, di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, ini cukup mempesona para penonton. Beberapa kali penonton tertawa oleh percakapan para tokoh. Dialog yang dimunculkan sangat ringan, kocak, serta kekinian dengan gaya bahasa dan istilah anak muda. Kisah ini memang sangat populer, sering dipentaskan untuk drama tari, langendrian, wayang klitik, ketoprak, dan sebagainya.

Pementasan wayang yang merupakan bagian dari Festival Wayang Potehi ini cukup unik. Meski ceritanya tentang Jawa, boneka yang dimainkan di atas panggung bernuansa Cina, berwarna merah dan ornamen berwarna emas. Di kiri-kanan panggung juga terdapat beberapa boneka Cina. Yang lebih unik lagi, pentas ini diiringi gamelan Jawa yang lumayan lengkap, bukan alat musik Cina, seperti toa lo, erhu, dong ko, piakko, siaw pak, dizi, dan sebagainya.

Sebelumnya, pada hari yang sama, Rumah Cinta Wayang juga mementaskan wayang potehi dengan cerita klasik Cina, yakni Sun Go Kong Melawan Putri Kipas. Kisah Sun Go Kong (Journey to The West atau Xi You Ji) berlatar belakang masa Dinasti Tang yang kondang di Cina dan populer pula di Indonesia. Dalam pentas ini, Sun Go Kong bersama Tie Pat Kay dan guru Tom Sam Chong mengembara mencari kitab suci. Perjalanan yang berat dan penuh godaan.

Dalam perjalanan, mereka harus berhadapan dengan Siluman Kerbau yang membela istrinya, Putri Kipas. Mereka berduel karena Sun Go Kong terpaksa mencuri kipas milik Putri Kipas lantaran sebelumnya sang putri meminjamkan kipas palsu. Boneka cukup unik dan musiknya sangat kental dengan nuansa Cina.

Dwi Woro Retno Mastuti, pendiri Rumah Cinta Wayang, menjelaskan bahwa pentas wayang potehi ini sebagai bentuk kecintaannya pada wayang. Ia mengajar tentang wayang di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Ia mengajak para mahasiswa serta anak muda untuk mencintai wayang. "Jadi, tidak melulu teori, tapi mereka juga bisa mempraktikkan di lapangan. Mereka pun kemudian tertarik mendalami," ujar Woro kepada Tempo seusai pementasan.

Tak mudah mengembangkan wayang potehi. Selain harus punya konsep matang dan berbeda, tantangan terbesar ada pada busana, boneka, serta musik pengiring dalam pertunjukan. Dulu, Woro memainkan wayang dengan kisah drama kontemporer, dengan dibantu muridnya menarasikan cerita. Namun kemudian anak-anak didik dalam komunitas Rumah Cinta Wayang mulai ikut ambil peran. Ada yang menjadi dalang, ada pula yang membantu narasi wayang.

Dalam mengembangkan wayang potehi, Woro tidak hanya mengacu pada cerita-cerita klasik Cina. Ia juga mengembangkannya melalui cerita-cerita legenda. Woro bercerita, pada mulanya ia mencari bentuk pertunjukan yang cocok. Ia pernah menampilkan wayang dengan Punakawan, tapi ternyata tidak cocok. Ia pun bereksperimen memadukan musik Cina dan Jawa, dengan gamelan agak lengkap.

Eksperimen ini dinilai cukup cocok. Panggung pun tetap dilengkapi dengan boneka-boneka Cina dengan kostum yang lebih kontemporer. "Ontowocono (dialog tokoh) pun kami bikin lebih greget," ujar Woro. Selain tentang cerita klasik Cina (Sun Go Kong Melawan Putri Kipas) dan Jawa (Damarwulan Satria Majapahit), mereka menggarap cerita Jayapangus dari Bali.

Pentas Sun Go Kong Melawan Putri Kipas dimainkan tiga dalang. Adapun kisah Damarwulan dimainkan dua dalang. Dalam kisah itu, Damarwulan berhasil mengalahkan Menak Jingga. Ia menemukan pusaka yang mampu melumpuhkan Menak Jingga berkat bantuan dua istri Menak Jingga, Wahita dan Puyengan. DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus