Lucifer memandang Paris. Patung malaikat pembangkang di tingkat dua gedung Notre Dame itu—yang mengilhami Victor Hugo untuk membuat novelnya, Si Bongkok dari Notre Dame—dipotret dari belakang. Kita tak tahu wajahnya. Foto hanya menyajikan bagian tengkuk dan gundul belakang kepalanya. Teksturnya kasar dan bergeronjal. Satu tanduknya lancip ke atas, satunya lagi patah. Sementara itu, di bawah sana tampak Paris yang senyap.
Sebuah foto lain dipajang persis di samping foto Lucifer. Itulah foto topeng Hannya, salah satu karakter paling menakutkan dalam drama tradisional Jepang, Noh. Hannya adalah seorang wanita yang cemburu, disusupi oleh setan, marah, dan hendak membalas dendam. Ekspresi topengnya jelas: mulut terbuka dan bertaring, dahinya bertanduk dua. Mau tak mau kita mengasosiasikan wajah sang Lucifer yang tak terlihat itu seperti karakter demit dari Jepang tersebut.
Oscar tak menjelaskan mengapa ia menampilkan Lucifer. Mungkin ia tercekat oleh buruk rupa setan di Notre Dame itu, lalu merasa sayang apabila sosok itu tak ikut dipamerkan, atau sedari awal itu sudah menjadi bagian dari keseluruhan tema yang direncanakan. Tema utama pameran ini adalah minoritas di Prancis. Oscar melakukan perjalanan kurang lebih seminggu menyusuri Paris-Chalon Sur Saone-Arles-Camarque-Marseille-Strasbourg. Naik kereta api, disambung dengan mobil. Dengan diantar seorang antropolog Prancis, Bernadette de Rayer, ia bak seorang trubador dari Jakarta yang bukan menenteng gitar, tapi kamera.
Seperti sekarang, November tahun lalu itu Oscar ke sana, pas Ramadan. Itu dua bulan setelah peristiwa tragedi World Trade Center. Oscar menyusup ke komunitas muslim, ke perkampungan Arab. Warga muslim di Prancis termasuk paling besar jumlahnya dibandingkan dengan negara Eropa lainnya. Maklum, mayoritas warga bekas koloni Prancis seperti Aljazair adalah muslim. Di Paris Oscar bertemu dengan Dalil Bouker, imam masjid Paris. Ia seorang moderat, dan berkali-kali di depan Oscar mengutuk radikalisme. Sebuah jepretan, saat sang imam rileks, ditampilkan Oscar. Tapi Oscar merasakan hal berlainan saat berjumpa dengan komunitas muslim di luar Paris. Mereka cenderung menutup diri. Seolah takut, enggan karena stigmatisasi, setelah peristiwa September itu.
Oscar juga menyusup ke kafe tempat para pelarian Kamboja Selatan yang menentang Polpot. Kali ini obyeknya sebuah kafe Cina, langit-langitnya dihiasi gambar besar dewa langit dan dewi welas asih yang dipandang melindungi para pelarian itu. Yang menarik, dada sang dewi dilukiskan terbuka. Sampai di Arles, Oscar masuk ke komunitas Gypsy. Sampai kini warga Prancis masih menganggap Gypsy sebagai warga negara kelas dua, penyakit di masyarakat. Pengemis yang bersimpuh di emper-emper stasiun kebanyakan orang Gypsy. Itu tampak dari foto seorang ibu-anak menanti sedekah di Metro Chatelet Paris.
Gypsy memiliki sejarah nomaden yang panjang. Dan di kamp itu Oscar melihat karavan-karavan dalam bentuk tradisional maupun bus. Rumah-rumah knock down yang bisa diangkut setiap saat. Ia menjepret: kotak-kotak surat sebuah keluarga Gypsy yang dicantel centang-perenang di gerbang masuk perkampungan. Pertanyaannya: bagaimana orang bisa pasti mengirim surat bila mereka selalu berpindah tempat? Apakah arti alamat bagi mereka? Apakah arti perjalanan? Deretan bus surat itu mendadak memiliki bobot refleksi yang dalam.
Tiba-tiba, tutur Oscar, anak-anak mengikutinya. Termasuk seorang perempuan kecil yang ternyata merupakan keluarga salah seorang anggota Gypsy King, grup musik tersohor. Langsung ia mengambil foto Gypsy King yang tertempel di karavan. Tapi anak-anak berteriak, "Potret kami, potret kami." Gypsy King memang kini menjadi kebanggaan kaum Gypsy Prancis. Terutama di Prancis Selatan, poster mereka terpampang di mana-mana. "Populer kayak Rhoma Irama," kata Oscar.
Oscar kemudian masuk ke dalam sebuah karavan keluarga Gypsy. Dalam ruang yang sempit, terdapat patung Maria versi Gypsy. Di Prancis, salah satu gereja yang dianggap bersejarah bagi kaum Gypsy adalah Gereja Saintes-Maries de la Mer di Camarque. Di situlah terdapat patung Black Sarah, Madonna hitam, patung yang dipercaya dibawa oleh kaum Gypsy ketika pertama masuk Prancis ratusan tahun lalu. Tiap tahun, berlangsung festival Gypsy di Arles. Biasanya setelah berdoa di gereja itu, barulah semua Gypsy dari berbagai penjuru Prancis berfestival ria. Melewati gereja itu, Oscar mengabadikan dinding-dinding bata tuanya. Sisi tembok yang tinggi menjulang, bak artifak kudus, saat tiga orang tua, bertopi pet, melintasi kedinginan sehabis misa.
Oscar tertarik mengabadikan lukisan-lukisan Kristus di Louvre. Ia menjepret kerumunan pengunjung di depan lukisan: Perjamuan Makan karya Polo Veronesse (1528-1588). Para pengunjung seolah menekuri detail-detail lukisan yang besar itu. Ia juga menjepret restorasi lukisan Via Dolorosa, karya Gustave Dore di museum seni kontemporer di Strasbourg. "Pada zamannya Kristus juga orang marginal," kata Oscar. Seperti para minoritas itu, "sang domba" ini juga seorang yang tersisih.
Melihat Kristus dalam Via Dolorosa seolah melihat pergulatan hidup para minoritas yang penuh hambatan. Seperti kefanaan bayang-bayang Menara Eiffel di pasir yang diaduk-aduk oleh seorang anak kecil, seperti Penjara Bastille yang reruntuhannya tak ada lagi. Tekanan rasial bisa menghampiri mereka setiap hari. Dan entah kenapa, membayangkan itu semua, tiba-tiba foto Lucifer yang tadinya seperti tidak ada hubungannya dengan pameran menjadi bagian yang paling inti dari pameran ini. Seolah Lucifer, yang diam-diam mengawasi seluruh gerak-gerik kehidupan kota, menyeringai setiap menyaksikan "diskriminasi" itu….
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini