Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADANG sabana menghampar di telapak kakinya. Kuda perkasa itu berdiri tegak menatap kawasan yang kelak disebut sebagai dunia Barat itu. Sungai jernih, udara bersih, dan rumput berlimpah. Sungguh suatu habitat hidup yang sempurna bagi kawanan hewan meringkik itu.
Keharmonisan itu terkoyak. Sekumpulan manusia yang menenteng senjata mengobrak-abrik kawasan itu. Mereka merampas Spirit (suara Matt Damon), sang kuda, dari dunianya. Merekalah tentara Amerika Serikat pada awal abad ke-19 yang mengajarkan bahasa kekerasan kepada binatang dan alam. Dari merekalah Spirit belajar: penindasan tak bisa didiamkan, harus dilawan.
Ia tak sendiri. Little Creek (suara Daniel Studi), seorang Indian yang juga ditahan oleh tentara itu, pun menjadi sahabat sejatinya. Keduanya bahu-membahu di sepanjang film. Aneka petualangan mereka lampaui. Sekali waktu Little Creek menyelamatkan Spirit. Begitu pula sebaliknya. Persahabatan yang melampaui batasan spesies inilah yang dirajut menjadi cerita film animasi ini.
Ini sebuah tema yang cenderung klise untuk sebuah film animasi, yakni tema yang memposisikan manusia pembawa peradaban Barat sebagai biang keladi aneka keangkaramurkaan di muka bumi yang damai ini. Selain itu, kartun klasik Bambi sejak dulu sudah menyuguhkan tema pertemanan antara hewan dan orang Indian dengan sangat baik. Apa boleh buat, film-film yang muncul belakangan dengan tema serupa tanpa sudut pandang baru menjadi hambar. Apalagi, beberapa tahun terakhir ini, penonton bagai diguyur aneka rupa film animasi dengan tema yang beragam, dari Lion King, Beauty and the Beast, hingga generasi Shrek atau Monster Inc.
Stallion of the Cimarron bertutur tentang pandangan "seorang" kuda liar yang menghadapi kejamnya para penjelajah Amerika pada masa itu. Yang menarik, tak seperti film animasi mutakhir lainnya yang memperlihatkan hewan fasih berbahasa Inggris, dalam Spirit tak ada satu pun dialog keluar dari mulut kuda. Mereka "berbicara" lewat ringkikan atau geraman plus bahasa tubuh. Penonton diantar ke alam pikiran Spirit lewat suara Matt Damon dalam bentuk narasi dan Bryan Adams dengan lagu-lagunya.
Sayang sekali, film ini terperangkap dalam pola-pola kuno yang menggambarkan seorang hero. Pertama, Indian menyelamatkan kuda. Berikutnya, Spirit si kuda ganti menolong Little Creek si Indian. Begitu terus model persahabatan ini bergerak, dari awal hingga akhir. Kalau sudah begini, tidak tertutup kemungkinan penonton merasa bosan dengan pengulangan tanpa kejutan. Apalagi sosok kuda tampaknya tak terlalu seksi sebagai obyek animasi. Mimik dan bahasa tubuh Spirit dan kawan-kawannya tak begitu ekspresif seperti tokoh-tokoh dalam Shrek atau Monster Inc., misalnya.
Dalam Shrek, penonton kanak-kanak terpesona oleh ekspresi, gerak, dan lagu tokoh-tokohnya yang kocak dan dinamis. Dalam Shrek pula para penonton dewasa gampang terpikat oleh perubahan revolusioner pada karakter-karakter dongeng yang diboyong sutradara ke dalam film animasinya. Hal serupa terjadi dalam Monster Inc., yang plot ceritanya bergulir melalui suatu proses imajinasi yang kaya tapi mudah dipahami oleh penonton dewasa dan kanak-kanak.
Tapi inilah Spirit. Lima belas menit pertama, film ini memang bisa menyita hati penonton. Sutradara Kelly Asbury dan Lorna Cook menyajikan gambar-gambar segar dan lagu Bryan Adams yang memikat, terutama saat Spirit dilahirkan dan berangsur dewasa. Tapi, di menit-menit selanjutnya, adegannya cenderung membosankan dan terlalu serius. Tema berat benturan antara peradaban Barat, yang eksploitatif terhadap alam, dan peradaban Indian, yang cenderung bersahabat, berkembang dan berlanjut dalam adegan-adegan berikutnya. Apa mau dikata, meski cukup menawan dan bernas, kalimat-kalimat yang meluncur lewat suara Matt Damon terkadang terlalu "berat" untuk dicerna penonton cilik.
Meski begitu, kekuatan film campuran drama, aksi, dan komedi ini adalah kemampuannya menggelitik relung emosi penonton. Di satu saat, sang hero bisa menjadi kocak lewat bahasa tubuhnya. Di bagian lain, ia tampil mengharukan dan menyentuh perasaan. Yang juga patut dipujikan adalah gambar-gambar yang seperti sungguhan. Inilah satu karya komputer grafis yang benar-benar aduhai. Di beberapa bagian, kita seperti menonton film dengan aktor betulan, bukan kartun. Juga penggambaran sungai, langit, dan padang rumput terasa begitu nyata. Ganasnya petualangan sang kuda pun terbungkus dengan indah dan bisa dinikmati penonton cilik dan dewasa.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo