Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Persetubuhan di Padang Bunga dan Potret Diri

Di usia 85 tahun, Djoko Pekik menggelar pameran tunggal bertajuk "Gelombang Masker" di Bentara Budaya Yogyakarta. Ia menyajikan 23 lukisan yang dibuat selama pandemi.

2 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran tunggal Djoko Pekik di Bentara Budaya Yogyakarta berjudul Gelombang Masker.

  • Djoko Pekik menyajikan 23 lukisan yang semuanya dibuat selama masa pandemi.

  • Sebagian besar karya dalam pameran ini adalah lukisan potret diri.

SEORANG lelaki tua bersetubuh di sebuah sabana. Tubuhnya yang cokelat bersama pasangannya berselimut kain putih. Kain itu terlihat tipis, lebih seperti bahan kelambu. Kain putih itu juga menjadi alas tubuh mereka. Hanya kaki-kaki mereka yang terlihat. Lelaki tua tersebut tampak setengah menindih partnernya. Mata perempuan itu terpejam, mukanya tengadah. Seluruh leher dan sedikit pundaknya terlihat. Rambut panjang hitamnya terurai lurus ke bawah. Salah satu kakinya terangkat, seolah-olah ia menikmati entakan si lelaki tua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka bersanggama di sebuah padang yang luas. Tampak di kejauhan tiga gunung berjejer. Sabana itu, jika kita perhatikan, bukan sabana yang kering kerontang. Pun bukan sabana yang ditumbuhi ilalang liar. Sabana itu penuh bunga merah yang bermekaran di antara rerumputan hijau. Bunga-bunga yang tertata di lajur-lajur rapi. Sabana itu lebih mirip sebuah padang oasis yang tenang. Dan pasangan itu satu-satunya yang ada di sana. Dalam kelengangan, di bawah tatapan alam, dalam situasi surgawi seperti alam mimpi, mereka bersetubuh.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Imaji lukisan berjudul Megatruh tersebut berbeda sekali dengan semua lukisan Djoko Pekik yang disajikan di Bentara Budaya Yogyakarta dalam pameran pada 26-31 Maret 2022. Bahkan juga mungkin dengan karya-karya Pekik terdahulu. Tak pernah sebelumnya Pekik menampilkan adegan bersanggama. Apalagi dalam pameran bersama sahabat-sahabatnya eks anggota Sanggar Bumi Tarung. Di usianya yang 85 tahun, tiba-tiba dia memunculkan lukisan yang “erotik” itu.

Potret Diri (2) karya Djoko Pekik.

Itu cukup mengejutkan. Apalagi sosok lelaki tua dalam lukisan tersebut mirip dengan Djoko Pekik sendiri. Lelaki itu berjanggut dan berkumis putih. Lukisan tersebut seperti sebuah alegori diri Pekik di usia senja yang kini ketika berjalan harus mengenakan tongkat tapi tetap memiliki daya hidup. Judul yang dipilih, Megatruh, memberikan asosiasi dan metafora makna tersendiri. Megatruh berarti megat (lepas) ruh (roh). Dalam tahap tembang macapat Jawa, megatruh menggambarkan momen-momen menjelang akhir perjalanan hidup.    

Dalam pengantarnya pada pembukaan pameran, Romo Sindhunata mengatakan ada kaitan lukisan itu dengan kekaguman Djoko Pekik terhadap sebuah kisah ketoprak. “Tatkala kecil di Purwodadi, Djoko Pekik pernah terpukau menonton sebuah pertunjukan ketoprak. Ketoprak itu bercerita tentang seorang putri yang menyatakan cintanya kepada seorang kesatria yang memperjuangkan masyarakat Samin di Pati. Kesatria itu akhirnya luka parah, tapi putri tersebut tetap mau berkasih-kasihan (bersetubuh) dengannya,” kata Sindhunata.

Kesatria yang tengah dalam kondisi sakratulmaut tersebut secara mengharukan pamit kepada perempuan yang mengasihinya dengan cara bercinta. Itulah mengapa lukisan tersebut diberi judul Megatruh. Tapi siapa pun yang melihat lukisan tanpa mengetahui latar belakang kisah percintaan pejuang Samin itu pasti mengarahkan pandangan pertamanya kepada sosok Pekik di kanvas. Adakah Pekik mengidentifikasikan diri sebagai pejuang rakyat Samin itu? Tak ada luka sama sekali pada tubuh sosok di kanvas tersebut. Romo G. Budi Subanar yang menulis di katalog mengatakan lukisan Megatruh mencerminkan energi Pekik. “Saya kira pesan utamanya adalah vitalitas. Libido merupakan dorongan hidup. Pak Pekik pernah bercerita kepada saya di Purwodadi, daerah asalnya, persetubuhan diistilahkan dengan kata sidin. Lukisan ini bagi saya memetaforakan bahwa, di usia senjanya, Pak Pekik tak menyerah. Ia masih terus berusaha berbuat sesuatu,” ujarnya.  

Potret Diri (8) karya Djoko Pekik

Menarik bahwa, di samping menghadirkan lukisan tersebut, dalam pameran ini Pekik banyak menampilkan potret diri atau self-portrait. Hampir setiap pelukis memiliki karya potret diri, dari Affandi, Sudjojono, Hariadi Selobinangun, sampai Sunarto Pr. Bahkan ada pelukis ternama di luar negeri yang secara intens menggambar perubahan raut mukanya dari waktu ke waktu, termasuk pada masa-masa ketika dirinya mengalami ketidakstabilan atau gangguan psikologis hebat. Potret-potret diri Egon Schiele, misalnya, seolah-olah membagikan masa saat ia mengalami kesakitan psikis. Adapun Van Gogh membuat potret diri setelah keluar dari rumah sakit. Dalam sejarah seni rupa kita, Affandi, misalnya, melukis potret diri dari yang sederhana—memegang cangklong—sampai yang menampilkan dirinya telanjang. Namun potret diri di usia 85 tahun jarang dibuat seorang perupa, apalagi ditampilkan dalam jumlah banyak pada sebuah pameran.

Sekitar sepuluh potret diri disajikan Djoko Pekik. Beberapa potret menampilkan dirinya berkaus merah atau berkaus putih lengan panjang dalam suasana santai dari posisi depan. Wajah Pekik tampak rileks. Tak satu pun ekspresi mukanya memperlihatkan kemuraman. Pekik seperti ingin menunjukkan bahwa di usia 85 tahun ia masih segar. Bahkan dalam beberapa potret ia melukiskan dirinya tengah merokok. Kacamata, kumis, dan jenggot putih menjadi trademark-nya. Lihatlah Potret Diri 8. Wajah Pekik tampak bersahaja dan cerah. Duduk di sebuah kursi merah, dengan rokok mengepul di tangan, kaus putih lengan panjang, dan janggut melambai, ia menyunggingkan senyum.   

Empat lukisan diri menampilkan Pekik bertelanjang dada melakukan olah gerak. Bercelana panjang biru (Potret Diri 2 dan Potret Diri 5), dengan tetap mengenakan kacamata dan bertelanjang dada, Pekik seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dia masih sanggup melakukan gerakan-gerakan tertentu—dengan tangan di atas serta posisi tubuh miring. Mungkin sebuah gerakan taici atau senam untuk kalangan lanjut usia. Dalam lukisan berjudul Kolor, Pekik sekali lagi menyuguhkan posisi tubuh bergerak miring dengan tangan kanan diangkat. Dalam lukisan itu, Pekik mengenakan celana kolor panjang cokelat.

Tapal Batas karya Djoko Pekik.

Namun, setelah menyajikan serangkaian ekspresi olah tubuh dalam lukisan Tapal Batas, Pekik menampilkan dirinya bertelanjang dada, berjalan setengah terbungkuk dengan mengenakan sandal jepit dan membawa tongkat. Berbeda dengan potret diri lain yang menampilkan ekspresi berseri, dalam lukisan ini Pekik seolah-olah menunjukkan kerentaan tubuhnya apa adanya. Ia seolah-olah jujur menampilkan kondisi fisik tubuhnya yang sudah rapuh. Ringkih. Ia seperti terbungkuk, terlunta-lunta, sulit melangkah. 

Pameran seni ini juga menyajikan sembilan lukisan Pekik mengenai Pantai Parangtritis. Dari ketinggian, Pekik menghadirkan laut dari berbagai sudut. Laut kadang ditampilkan seperti elips dengan ujung berbentuk huruf U, kadang horizon datar. Pekik tampak tidak bosan memandang Parangtritis berulang kali dari atas. Ia terlihat berpindah-pindah tempat untuk menyajikan lanskap pantai dari ketinggian. Dalam sebuah lukisan tampak banyak titik kecil di pantai membawa umbul-umbul, mungkin sejumlah orang tengah berlatih parade atau mengikuti upacara. Dalam lukisan lain, di sebuah jalan aspal sepi, dua-tiga embok-embok gendong berjalan dengan jarak berjauhan.   

Di tangan Pekik, Parangtritis tidak ditampilkan molek. Laut disajikan dengan sapuan warna hijau tua—serta leret hitam dan putih untuk mengesankan ombak. Adapun pantai, bukit, sawah, dan pepohonan, termasuk nyiur yang biasanya menyejukkan mata dalam tatapan pelukis lain, semua ditampilkan dengan gradasi cokelat suram. Di tangan Pekik, Parangtritis seolah-olah dipotret tidak dalam kondisi pagi hari yang menawan, tapi pada sore memasuki gelap. Sebuah rembang petang, tapi bukan rembang dengan senja merahnya yang terkenal. Sore Pekik adalah sore menjelang petang yang kelam. Bahkan seolah-olah angin kencang ganas berembus, mendesau, menderu, hingga pohon-pohon kelapa doyong. Tatapan Pekik seperti ingin mengatakan bahwa alam—laut—itu keras. Ia tenang tapi tak bisa diduga tabiatnya—apalagi menjelang malam.

Djoko Pekik (kanan) saat menghadiri pembukaan pamerannya Gelombang Masker, 26 Maret 2022, di Yogyakarta. Dok. Bentara Budaya

Di luar potret diri dan panorama pantai, Pekik menyajikan lukisan tayuban. Tayuban adalah tema yang sering ia angkat. Pekik dekat dengan kesenian rakyat. Bila menggambarkan kesenian rakyat, ia kita lihat mampu mengetengahkan kespontanan, gairah, kegembiraan, dan kejelataan. Ia menghayati betul suasana batin seni pertunjukan jalanan. Dalam lukisannya kali ini, tiga penari tayub menjamu dua lelaki bersurjan. Semua bertelanjang kaki. Di belakang mereka, ada puluhan pengrawit. Tampak ini sebuah pesta di halaman keresidenan yang melibatkan birokrat-birokrat lokal. Lukisan ini masih cukup detail dan terasa ada geraknya. Di umur 85 tahun, Pekik menyajikan lukisan kesenian rakyat yang sama baiknya dengan karyanya 20 tahun sebelumnya.

Lukisan lain di luar potret diri menunjukkan anjing-anjing hitam (semuanya sembilan ekor) mengelilingi seseorang yang berseragam sekolah dasar. Orang itu tengah merentangkan bendera merah-putih kertas dengan kedua tangannya. Kita mencoba memahami makna lukisan ini. Anjing-anjing itu seolah-olah siap menerkam. Moncong-moncongnya tajam, lidahnya menjulur, salakannya haus darah. Seolah-olah sedikit saja lelaki berseragam SD itu salah mengayunkan bendera merah-putih, anjing-anjing beringas tersebut akan menerkam, menerjangnya. Pekik seolah-olah menyatakan, jika pada hari-hari ini terjadi miskalkulasi pengelolaan negara, akan terjadi kekacauan. Serigala-serigala akan mencabik-cabik. Menurut saya, lukisan serigala atau anjing-anjing hitam ini kuat.

Akan halnya satu-satunya lukisan yang secara visual berkaitan langsung dengan pandemi Covid-19 adalah lukisan tentang pembagian masker. Sebuah mobil bak bertulisan “Corona” tampak mengangkut gunungan masker. Dua orang di atas bak mobil tengah bersiap-siap menyebarkan masker kepada kerumunan orang. Massa rakyat yang kebanyakan laki-laki mengacungkan tangan kanan meminta jatah masker. Separuh dari mereka menggunakan ikat kepala merah-putih. Terlihat pula ibu-ibu menggendong anak mereka.

Salah satu kepiawaian Pekik adalah menggambarkan kerumunan massa. Kadang anatominya tidak sepenuhnya realistis, tapi mampu mengesankan jumlah orang yang banyak, sehati, dan bergerak bak gelombang. Lukisan lama Pekik, Keretaku Tak Berhenti Lama (1989), misalnya. Pekik menampilkan sebuah kereta kelas ekonomi yang tengah melintas. Meski cara menggambarnya tak realistis betul, kereta itu bisa tampak sedemikian penuh di semua gerbong. Penumpang berimpitan, berjubel, muntah-muntah hingga atap kereta. Kesan adanya lautan massa penumpang kereta bertambah tatkala Pekik menampilkan ratusan sosok kepala berimpitan di luar gambar kereta mengisi bidang. Hanya dengan menampilkan kepala-kepala, Pekik mampu membuat kita membayangkan adanya antrean ribuan orang—rakyat jelata menunggu kereta yang tak berhenti lama.     

Lukisan “Corona” memberi kesan yang sama. Pekik berhasil menyuguhkan kerumunan orang yang membeludak, antara tertib atau berebut menunggu jatah masker. Lukisan berjudul Gelombang Masker ini oleh kurator Bentara diangkat menjadi tema pameran. Sebetulnya menurut saya yang lebih cocok diangkat menjadi tema pameran adalah potret diri karena lukisan “Corona” sesungguhnya bagian dari semiotika potret diri Pekik. Kita tahu riwayat keras Pekik. Ia pernah ditahan pada 1965 dan kemudian menjalani hidup sengsara. Tapi ia selamat. Dan kini, di tengah wabah yang melanda, Djoko Pekik, pada usianya yang sepuh, melalui potret-potret dirinya seolah-olah ingin mengatakan bahwa ia selamat dan tetap berkarya. Ia penyintas dalam banyak kondisi mematikan.

SENO JOKO SUYONO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus