Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Periode Biru Ugo

Bertajuk “Runaway Passenger”, Ugo Untoro menyajikan pameran di Can’s Gallery, Tanah Abang, Jakarta. Visual-visualnya simpel, penuh perasaan puitis.

2 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran tunggal Ugo Untoro di Can's Gallery, Jakarta, bertajuk Runaway Passenger.

  • Menyajikan karya-karya lukisan yang visual-visualnya simpel, penuh perasaan puitis.

  • Dalam pamerannya kali ini, karya-karyanya didominasi warna biru.

SEORANG jangkung duduk di kursi kayu. Kita hanya melihat punggungnya. Ia membelakangi kita. Ia seakan menatap sudut tembok berlama-lama. Ia seolah tercenung merenungi nasibnya. Ia mungkin terlibat masalah berat dan menemui jalan buntu sehingga berjam-jam memandang tembok mengembus-embuskan asap rokoknya. Dinding itu berwarna biru. Lantai berwarna biru. Dan sosok itu juga berwarna biru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warna biru mendominasi kanvas-kanvas Ugo Untoro. Ugo menamakan lukisan tersebut The Parking Man. Ini kisah seorang tetangganya yang berprofesi juru parkir kehilangan pekerjaan. Kesedihan tukang parkir itu diutarakan Ugo dengan warna biru. Ugo cenderung tak ingin memanggungkan sebuah sosok. Ia memiliki cara tersendiri untuk menampilkan kepedihan, kecemasan, dan hasrat. Sebagai perupa, Ugo lebih menekankan “the way of seeing”, cara melihat dunia yang berbeda yang lebih personal. Dan kali ini “the way of seeing” Ugo dipenuhi dengan visual-visual sederhana dengan dominasi biru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok biru juga kita dapati dalam lukisan His Story. Di situ kita melihat sebentuk deformasi: sosok nyaris pipih tinggi membawa kemudi. “Saya memiliki tetangga lain, seorang sopir yang saat pandemi menganggur dan sering mengalami halusinasi seolah-olah menyetir,” tutur Ugo. Tubuh sosok itu, dinding, dan lantai, semua dibalut warna biru. Hanya rautnya yang seolah mengenakan topeng cokelat. Lukisan lain yang kuat adalah Potret Diri. Lukisan ini seolah mewakili dunia dalam atau mungkin dunia introver Ugo. Lukisan ini menampilkan sosok manusia (diri Ugo sendiri) dalam kegelapan biru. Ia tak tampak. Tubuhnya tersuruk ke belakang. Hanya bagian betisnya yang ditonjolkan. Seberkas cahaya menerangi betis itu, selebihnya wajah pun samar, ditelan biru pekat.

“Saya dari dulu sudah menyukai warna biru. Namun baru saat pandemi ini saya intens dengan biru,” kata Ugo. Ugo menceritakan lukisan-lukisan birunya tercipta secara mengalir. “Selama pandemi ini saya bangun pukul 2-3 pagi. Udara terasa segar dan saya terus melukis. Saya tidak punya keinginan macam-macam. Apa yang kita punyai kita jalani saja,” tuturnya. Dan dari titik tolak “tanpa rencana” itu ia mengaku banyak menemukan ketidakterdugaan.

Demikianlah kita melihat intimasi ala Ugo. Kanvasnya kadang menampilkan hal-hal kecil yang tidak diperhatikan orang. Sebuah lukisannya misalnya menampilkan seorang perempuan duduk di dalam mobil. Ia menunduk. Wajahnya sedikit terang. Sekilas lukisan itu biasa saja. Simpel. Tak menyajikan daya gugah apa pun. Tapi bila kita amati, yang ingin ditonjolkan Ugo adalah sesuatu yang tak kita pikirkan. Ugo menyodorkan terang di wajah perempuan karena tempias cahaya telepon seluler. Lihatlah juga lukisan Kabar dari Lorong. Ada sebuah bangku panjang cokelat kosong di sebuah sudut dinding biru. Di bangku itu merayap sebuah tangan biru. Puitis.

Rata-rata tubuh sosok kanvas Ugo jangkung tinggi seperti dirinya sendiri serta memiliki kaki panjang. Dalam Father and Son kita melihat pemiuhan seperti ini. Dua lelaki jangkung berhadapan. Yang lebih tinggi berwarna biru. Satu putih. Di tengah mereka buah khuldi. Ugo terinspirasi kisah Adam. Akan halnya lukisan yang menjadi judul pameran, Runaway Passenger, menampilkan seorang lelaki membawa tongkat menunggang kuda-kudaan putih, sebuah carousel atau komedi putar. Tapi gambar ini dilukis dengan ganjil. Kaki lelaki itu demikian menjulur panjang sampai menapak tanah, sehingga langkah kakinya yang sepertinya menggerakkan kuda-kudaan itu. Ugo ingin berbicara tentang segala hal kini yang serba tunggang langgang.

Alia Swastika, kurator pameran ini, melihat Ugo kali ini kembali seperti masa-masa awal periode keseniannya—menghindari intelektualitas, wacana, atau teori. “Saya ingin menghindari beban-beban konseptual,” kata Ugo. Pameran terakhirnya di Galeri Nasional Jakarta sebelum masa pandemi, “Rindu Lukisan Merasuk di Badan” pada Desember 2019, memang penuh conceptual art. Kita ingat ada judul Painting Series tapi sama sekali tidak menyajikan gambar. Karyanya berupa kanvas yang digantung di dinding atau tumpukan kerangka belakang frame kanvas yang dicemplungkan ke boks kayu. Lalu pada Oktober 2020 ia mengadakan suatu live painting yang dapat diikuti pubik lewat Zoom. Berjudul “Homage to the Blackboards”, selama sepuluh jam ia menggambar di papan tulis dengan kapur, menghapusnya lagi, menggambar lagi, demikian berulang-ulang.

Dan kini dengan warn biru ia seakan “menebus” pandemi. “Picasso pernah mengalami blue period. Menggambar dengan warna-warna biru. “Saat itu masa-masa Picasso mengalami situasi berat,” tutur Ugo. Ugo meyakini bahwa biru merupakan warna penyembuhan. “Warna biru warna healing. Bisa menghentikan rasa sakit,” ujar Ugo. Lihatlah lukisannya, Pulangnya Burung-burung, yang hampir monokrom biru. “ Saat dinihari bangun itu saya sering melihat burung-burung datang menetas di halaman rumah saya. Saya tiba-tiba melihat warna biru adalah warna harapan ke depan,” katanya. Inilah periode biru Ugo Untoro.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus