Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mata Najwa on Stage yang digelar di Pendapa Institut Seni Indonesia atau ISI Solo, Rabu malam, 10 Juli 2024 menghadirkan sejumlah tokoh pegiat seni dan budaya Kota Solo dan nasional. Najwa Shihab, host program itu, memandu narasumber yakni Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid, Pimpinan Pura Mangkunegaran Solo KGPAA Mangkunegara X, seniman Woro Mustiko dan Eko Supriyanto, hingga Maestro Tari Indonesia, Didik Nini Thowok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mangkunegara X atau Bhre Sudjiwo, salah satu narasumber yang mewakili kalangan muda mendapat pertanyaan dari Najwa Shihab seputar pengalaman dalam upaya melestarikan kebudayaan, khususnya dari Pura Mangkunegaran. "Sesuatu yang dirawat, dibesarkan itu harus dilakukan atas landasan cinta, kesukaan. Demikian halnya Pura Mangkunegaran, agar terus berkembang dan berdampak positif terhadap lingkungan sekitarnya, maka awalnya harus dicintai dulu. Dan untuk menumbuhkan kecintaan itu simpel, yaitu harus mudah dicintai," ujarnya.
Mangkunegara X Libatkan Anak Muda di Acara Pura Mangkunegaran
Ia memberikan contoh dengan melihat kepada anak-anak muda. Menurut dia, upaya untuk menumbuhkan kecintaan anak-anak muda kepada budaya adalah melibatkan atau mengadakan berbagai kegiatan yang relevan dengan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Kami mencoba lebih banyak memancarkan keindahan dari kebudayaan kita. Mungkin teman-teman secara stigma ada juga yang memandang kebudayaan Jawa itu ada mistis, seram, dan sebagainya. Di Mangkunegaran yang kami coba tampilkan adalah kebudayaan Jawa itu menyenangkan, indah, dan keterbukaan itu menjadi kunci untuk kita," katanya menguraikan.
Dalam sejumlah kegiatan di Pura Mangkunegaran, Bhre Sudjiwo mengusahakan untuk melibatkan masyarakat. "Kami buat kegiatan-kegiatan bukan hanya untuk ditonton tapi masyarakat juga menjadi bagian dari kebudayaan itu, dari workshop-workshop yang kita lakukan, berbagai kegiatan yang mungkin kesannya kegiatan hari ini tapi sebetulnya esensinya itu adalah nilai-nilai luhur dari zaman dulu," katanya.
Ario Bayu Pelajari Tokoh yang Diperankan
Aktor Ario Bayu juga membagikan pengalamannya saat memerankan tokoh Bung Karno dalam film Soekarno dan Sultan Agung dalam film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta. Dua film itu memiliki latar belakang tentang sejarah termasuk budaya Indonesia.
"Sebagai aktor itu kami berusaha mengartikan, kemanusiaan itu apa sih? Irisan-irisannya, kita punya sejarah seperti apa sih atau kita punya mimpi untuk apa. Sebagai aktor, kami harus memiliki reseptor yang tajam untuk memahami hal-hal seperti itu," ujar Ketua Komite Festival Film Indonesia periode 2024-2026 ini.
Maestro Tari Indonesia, Didik Nini Thowok berbagi pengalaman selama hampir 50 tahun ini dalam menekuni seni tari. "Kuncinya ndableg. Mindset-nya 'I don't care' karena kalau dipikirin nggak akan kejadian sampai bisa bertahan 50 tahun," kata Didik.
Ia pun menceritakan kiprahnya di dunia seni tari karena berawal dari menjadi korban perundungan atau bullying. "Saya itu kan awalnya dari hasil bullying. Tapi tidak seperti anak-anak di social media yang di-bully terus membalas mem-bully, tapi itu saya balas dengan belajar untuk menunjukkan kualitas," tutur dia.
Ia pun mengaku hingga saat ini masih getol belajar dan kunci dari keberhasilan dalam belajar itu adalah kerendahan hati. "Ilmunya ilmu ngosong atau emptyness. Kalau kita mau belajar kan ibaratnya kita bawa gelas kosong jadi kita bisa memenuhi dengan full. Tapi kalau kita datang nanti sudah punya label macam-macam, 'Oh saya artis, saya terkenal', dan lain-lain misalnya gitu, ya udah nggak bisa nanti, karena kita sudah terlalu banyak beban kan ibaratnya cangkirnya udah penuh. Kalau saya mau nambah, mau ngasih tempat di mana lagi?" kata dia.