Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERIUHAN perayaan Cap Go Meh di Jakarta tetap terasa spontan, karikatural, dan kocak. Secara teknis, karya cat -minyak Sudjojono ini, yang -warna-warnanya serasa warna pastel-, tak rapi benar dari sisi perspektif. -Namun, inilah karya yang menampilkan keriuhan banyak orang dan tak seinci pun bidang gambar menampilkan bentuk yang tak jelas atau sekadar sapuan warna. Bentuk-bentuk figur di situ, -ba-ik yang di depan maupun di te-ngah dan di belakang, tampak jelas. Di sana-sini ada kontur, meski tak penuh, yang memperjelas bentuk.
Lukisan ini terasa difokuskan pada figur berbaju hijau yang berjoget. Bila kemudian bidang-bidang lain pun men-dapat perhatian, itu karena figur hijau- diimbangi figur bertopeng. Kanvas pun memberikan gerak, mata kita tak hanya terpaku pada fokus, melainkan ”ber-edar”. Lukisan Sudjojono yang seperti ini, yang dilukis entah pada 1938 atau 1940, tak terjumpai lagi pada karya-kar-ya Sudjojono kemudian, terutama pa-da karya 1950-an hingga 1980-an, yang sebagian besar dipamerkan selama empat malam tiga hari di pekan pertama Mei ini, di Galeri Nasional, Jakarta.
Tak berarti karya-karyanya yang kemudian tak bermutu. Hanya, di Ga-leri Nasional itu Cap Go Meh jelas me-nun-juk-kan Sudjojono masih begitu berse-mangat menjelajahi seluruh kanvas de-ngan cukup ”mendetail”. Ini sebabnya saya cenderung menduga karya ini dibuat tahun 1938. Soalnya, karya lain yang dianggap tonggak, Di Balik Kelambu Terbuka, jelas tertera tahun 1939, dan lukisan ini sudah menunjukkan Sudjojono lebih ekspresionistis, cen-derung meninggalkan detail. Lihat saja latar belakang figur yang lebih merupakan sapuan-sapuan warna.
Ciri Sudjojono yang tampil di kala muda, kemudian, makin nyata. Semula, ketika masih belajar pada Yudhokusumo (bapak pelukis Kartono Yudhokusumo), ia mengeluh kenapa lukisan-lu-kisannya ter-lihat kotor. Untunglah ke-luhan ini di-sampaikan kepada guru yang baik, yang kala itu berpendirian sebaiknya se-niman mesti berkepribadian sendiri,- dan ”kotor-” bisa juga bernilai. Pun gaya menco-ret dan mewarnai yang tak rapi dan tak necis, ”seperti mencangkul”, ka-ta salah se-orang guru melukisnya, Pirn-ga-die, tak diubahnya, malah dilanjutkan.
Selain dua hal tersebut, satu lagi yang menjadi kekhasan Sudjojono: ia hanya- melukis bila memang ingin melu-kis dan tak memilih-milih pokok lu-kis-an—begitu ia ingin melukis suatu obyek atau mengekspresikan suatu gagasan, langsung saja ia menggarapnya. Konon suatu hari guru melukisnya, Pirngadie,- heran mengapa hanya sepatu bisa membuat Sudjojono tertarik melukisnya (lihat Ajip Rosidi, Pelukis S. Sudjojono, Pus-taka Jaya dan Dewan Kesenian Ja-karta, 1982). Ini membuat karya-karya-nya bak catatan harian: ia seperti ha-nya melukis hal-hal yang bersentuhan dengan hidup, cita-cita, dan pikirannya sehari-hari. Ada catatan tentang karangan bunga untuk ulang tahun anaknya, ada lukisan tentang anak-anak-nya, tentang teman-teman revolu-sinya, ten-tang ayam atau burung mati dan se-ba-gainya.
Tiga hal itulah menurut saya yang memben-tuk karya-kar-ya lukis bapak se-ni lukis ”baru” Indonesia itu. Kebiasa-annya melukis seperti menulis catat-an harian ini membuat lukisannya begitu- beragam dari sisi pokok lukisan dan tema. Seandainya sebuah pameran- retrospeksi Sudjojono di-selenggarakan dan lu-kisan dipasang secara kronologis,- pameran ini akan bercerita tentang riwayat hidup sang pelukis lewat gambar.
Setelah ia menuliskan ”kredo” seni lu-kis Indonesia pada 1939 (”Kesenian Melukis di Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang”, di majalah Keboe-dajaan dan Masjarakat, Oktober 1939), boleh jadi soal apa dan untuk apa melukis telah selesai dalam diri seniman ini. Yang kemudian ia lanjutkan, menerapkan prinsip-prinsipnya sesuai dengan perkembangan hidupnya.
Maka, suatu ketika ia mencanangkan- seni lukis sebagai alat perjuangan me-lawan kolonialis untuk meraih kemer-dekaan. Ketika inilah Sudjojono me-nge-cam lukisan-lukisan pemandangan nan damai yang indah permai yang dicapnya sebagai lukisan Mooi Indie, Hindia Molek. (Sekian tahun kemudian, dalam surat pembacanya di harian Sinar Ha-rapan, ia menjelaskan bahwa ia tak mencemooh obyek lukisan, melainkan sikap pelukisnya yang ”cari gampang”, tak mau melihat kenyataan ”ban kempes dan mbok jual tongseng”.)
Singkat kata, Sudjojono yang nama dari bapaknya adalah Sudjiojono ini memang konsisten dan konsekuen dalam seni lukisnya. Dilandasi penguasaan teknik yang tinggi, didorong adanya kebutuhan dari dalam diri, lahirlah karya-karya yang memang menyentuh. Seluruh kedirian Sudjojono-lah yang melahirkan karya-karyanya, dan bukan hanya perasaannya, bukan- hanya pikirannya, bukan hanya rasa simpati dan empatinya—melainkan se-muanya. Bukankah ia menekankan kejujuran dalam mencipta?
Dari jenis seniman seperti ini, kua-li-tas- karya rasanya bergantung pada per-kembangan dan kematangan pri-badi-nya. Bila ciri seorang berpribadi matang adalah berani melihat dan menertawakan dunia dan diri sen-diri, hal ini ada pada pelukis ini dan itu tampak pada karya-karyanya.
High Level, tingkat tinggi, adalah judul karya Sudjojono pada 1975. Pelukis ini seperti menertawakan para pe-ngunjung pameran, mungkin juga para kolektor karya seni rupa, yang bingung melihat karya patung abstrak. Lukisan ini mengundang senyum, antara lain karena enam figur yang mengelilingi karya patung itu dengan sikap yang lucu. Seorang menggaruk-garuk kepala, seorang yang lain menekuk lutut dan mencopot kacamatanya agar bisa memelototi patung abstrak itu. Seorang figur lain lagi, dilukis jongkok di depan patung, di hadapannya sebuah notes tergeletak—mungkin ini wartawan yang hendak meliput pameran ini.
Karya jenis ini banyak. Ada misalnya Becak Driver, 1983. Sudjojono tak melukiskan abang becak yang ber-juang susah payah untuk hidup. Yang ia tang-kap adalah ”kekurangajaran” si abang. Figur ini digambarkan berlengan dan bertungkai perkasa, dengan sikap seorang pembalap ketika mengayuh becaknya. Sebuah celetukan yang ditulis di kanvas itu (pelukis satu ini hampir selalu membubuhkan catatan atau komentar tentang dan seputar karyanya) berbunyi seperti ini: ”Rasain, gua geber ni!”
Atau Orang Indonesia Menilpon, 1976. Dengan cerutu mengepul di mulut, bagaimana suara bisa jelas? Inilah yang dilihat Sudjojono tentang orang Indonesia dan teknologi. Pada hemat saya ia bukan sinis, melainkan selalu menemukan hal-hal yang lucu, unik, karikatural dalam segala hal. Maka Ada Orkes, 1970, merupakan lukisan reportase biasa sebuah pertunjukan musik. Namun cara Sudjojono menggambarkan penyanyi berkacamata hitam yang bak bertopeng itu, dan sikap serta dandanan penonton, memang kocak, mungkin menyindir.
Tak berarti Sudjojono tak pernah ”se-rius”. Seko, 1947, yang menggambarkan seorang gerilyawan melakukan peng-intai-an, memberikan gambaran perjuangan yang berat dengan nyawa sebagai taruhan. Beberapa karya pun hemat saya bersuasana surealistis, misal-nya The Ruins and the Piano, 1956. Di si-ni saya tak menemukan kekocakan Sudjojono, melainkan sebuah puisi liris atau musik tentang dunia dalam mimpi, ketika sebuah piano teronggok di antara puing-puing dan sebuah sangkar perku-tut tetap bertengger di pucuk tiang bambu.
Tidakkah semua ini yang membuat Sudjojono besar? Ia mampu merumuskan idealnya seni lukis Indonesia menurut dia, dan dia konsisten serta konsekuen melakukannya. Itulah Sudjojono, satunya kata dan perbuatan, setuju atau tak setuju pada pemikirannya, karya lukisnya membawa kita ke petualangan estetika yang kaya, yang membuat hidup berharga dijalani.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo