Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENTING dawai guzheng itu pan-jang dan lirih. Kecapi Cina itu mengalun, temponya lambat. Di belakangnya, kecapi Sunda menyusul langkahnya, seraya menelusuri nada-nada yang sama. Di tengah lagu, suling Sunda ambil bagian, mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan dua instrumen petik itu.
Kolaborasi guzheng dan kecapi-suling yang mengalun dalam skala pentatonis itu menyuguhkan Ceurik Rah-wana. Sebuah lagu khas daerah Sun-da, Jawa Barat, yang berkisah tentang seorang pria yang ditolak cinta-nya. Nomor melankolis itu menjadi salah satu lagu nomor musik dalam kon-ser di gedung auditorium Goethe Haus, Jakarta, Ahad malam akhir April lalu.
Konser bertajuk ”The Inspiration of Guzheng” itu menampilkan seorang musisi guzheng yang berkolaborasi de-ngan pemain alat-alat musik tra-di-sional Indonesia. Selain dengan keca-pi-suling Sunda, Eni Agustien—musi-si guzheng Indonesia berkaliber in-ternasional—juga tampil bersama pemain siter dan gendang Jawa. Ada pula nomor-nomor kolaborasi dengan alat musik klasik Barat, seperti piano dan violin.
Penampilan Eni kali ini merupakan- konser kolaborasi keduanya. Pada a-khir November 2004, ia bermain ber-sa-ma pemain kecapi Vietnam, Nguyen Than Thuy, dan pemain harpa Indonesia, Maya Hasan. Saat itu, dalam konser bertajuk ”Melody of Guzheng”, Eni hadir bersama Panda Guzheng Group asuhannya (beranggota 50 orang) dan Artstratosphere Singapura.
Eni dan guzheng, dua sosok yang ber-beda. Semula perempuan kelahiran- Jakarta 29 tahun lalu itu adalah se-orang pemain piano. Kepergiannya ke Taiwan untuk menuntut ilmu bahasa Mandarin justru mengantarkannya pada guzheng, instrumen petik tradi-sional Cina yang menyerupai siter atau kecapi.
Guzheng lahir sejak sekitar 2.500 ta-hun silam. Versi pertama dari alat mu-sik ini terbuat dari bambu dan meng-gunakan senar dari sutra. Nadanya berskala pentatonis, dengan tangga nada mayor untuk setiap senarnya. Alat mu-sik itu pertama kali berkembang di wilayah Qin Quo, sehingga namanya menjadi Qin Zheng. Saat itu, guzheng sangat populer di kalangan kerajaan maupun rakyat biasa. Hou Jin, seorang guru pada zaman dinasti Han (25-220 Masehi), menulis, suara guzheng se-olah dapat menyentuh la-ngit, dewa, dan roh-roh di bumi.
Saat dinasti Tang (618-907), perkembangan guzheng kian pesat. Pada ma-sa inilah instrumen guzheng juga mengalami sejumlah modifikasi. Jumlah se-narnya ditambah, dari lima men-ja-di tiga belas. Lalu bambu diganti wu-tong atau kayu paulownia sebagai rangka instrumen.
Dan guzheng kian masyhur ketika- dinasti Qing (1644-1911) berkuasa. Pa-da akhir era kekuasaan Qing inilah pa-ra maestro guzheng di Negeri T-irai Bambu mencoba memadukannya de-ngan musik klasik dan populer. Dua di antara lagu yang cukup terkenal hasil perkawinan itu: High Mountain and Flowing Water dan Evening Song of the Fisherman. Dan sejak itu pula senar sutra digantikan dengan senar berbahan nilon, yang hingga kini masih digunakan.
Malam itu, guzheng yang dimainkan- Eni juga berdawai nilon. Guzheng bukan bagian dari instrumen Sunda, dan kecapi atau suling Sunda bukan bagi-an dari instrumen Cina. Tapi malam itu mereka mencoba berjalan bersama. ”Persaingan” sempat pecah ketika guzheng bermain bersama alat-alat klasik Barat seperti violin dan piano, dalam The Explotion.
Mungkin yang menarik tatkala guzheng berkolaborasi dengan siter dan gendang Jawa. Perpaduan nadanya cu-kup harmonis. Saat dawai siter mulai dipetik dan gendang memberikan aksen di sana-sini, guzheng mengalun lem-but membawakan Yen Ing Tawang Ana Lintang. Lagu yang biasanya berlanggam keroncong itu berkisah tentang sebuah penantian tiada berujung. Dan malam itu, lewat kolaborasi guzheng, siter, dan gendang, yang liris, lagu itu terasa kian menyayat.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo